The Plan

Dulu, seseorang pernah protes pada saya karena saya dianggap sangat mencintai tempat saya mburuh. Jika dia bertanya dimana saya lepas Isya, jawaban saya selalu sama: masih di pabrik topeng, garap lilis atau laporan. Jika saya iseng telpon dia lepas jam dua belas malam dan bertanya sedang apa saya, jawabannya hampir selalu sama: capek kerjain lemburan di kamar. Mbok kamu jalan-jalan sana, jangan depan komputer terus, sarannya sambil setengah menggerutu. Ya... mau gimana? Kerjaan saya bersepupu dengan tenggat dan event. Kadang harus digarap malam ini karena acaranya pagi jam sepuluh dan yang saya kerjakan adalah materi acara yang sak bajeg kirik. Piye, jal?

Respon saya selalu garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir, meski dia tidak pernah melihat saya seperti itu. Lha saya bingung, mau jalan-jalan kemana? Di Jancukarta ini yang thing telecek dimana-mana cuma mall. Ya paling bisanya cuma nongkrong di kafe. Wah, nggak bisa ngeragatinya kalo harus nongkrong terus. Lagian saya nggak bakat nongkrong di mall. Kalau mau nongkrong kere ya cari public space yang kira-kira enak. Dan yang paling aksesibel buat saya cuma Bunderan HI. Kebiasaan tiap minggu kesana, kumpul bareng balakurawa saru-saru, kemproh-kemproh, lucu-lucu, tur baik-baik.

Namun ada kejadian yang sangat menjungkirbalikkan ke-aku-an saya selama sebulan ini, dan saya pikir sarannya bagus juga. Saya perlu liburan. Harpitnas besok rencananya saya bakal safari Jogja-Surabaya. Menemui orang-orang yang betul-betul peduli dan menerima saya sebagaimana saya seutuhnya, bukan hanya my fucked-up mind, namun juga kegeblekan dan kejelekan saya seluruhnya. Melepas kangen pada My Phoenix Brotha #2 (dan kita bakal omongin panjang-lebar beda tipis antara 'istimewa' dan 'gila'), pada Sandal, pada Sukopet dan mbaknya, pada perempuan cantik-seksi-mungil-cerdas-tapi-galak (yang skripsinya masih ngendon di salah satu file mesin tik saya, hehe), pada pusara paman saya, pada warung kopi Manut, pada Beringharjo, pada Malioboro. Mungkin pada My Phoenix Brotha #1 (yang seperti Phoenix, selalu muncul saat saya sedang terluka) dan pasti 'My Satelite' yang selalu ada selama tujuh tahun ini (edan ya maz, tujuh taun dan aku selalu lupa ulangtaunmu!) di Surabaya. Serta satu mahasiswa 'bimbingan skripsi' saya yang ngotot pengen ketemu hanya karena saya pernah menerjemahkan artikel tentang ateisme.

Saya rindu ngobrol bareng bakul pecel yang di puncak tenongnya selalu ada kembang Kecombrang lepas stasiun Purwokerto. Kangen gojekan saru--dengan bahasa Jawa yang mereka pikir tidak saya pahami--antara penjual minum gerbong restorasi dan pedagang rokok asongan. Sudah lama saya nggak dengar dan lihat kecrekan sekenanya atau dentum bas kotak serta goyangan sok genit mas-mas berkebaya, berpupur dan bergincu tebal yang suaranya mengalahkan gemuruh kereta ekonomi. Pengen lagi duduk di bordes paling belakang gerbong, menatap pemandangan yang menjauh sementara saya mundur. Begitu banyak yang terekam dari satu perjalanan, begitu nihil namun ngangeni.

Kesimpulannya... saya bakal travelling kere lagi KALO DAPET CUTIIIIIIII!!!

ps: piye, ka? sido ketemu ora?

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women