Pada Dua Puluh Menit Terakhir

... yang sekarang beranjak sembilan belas: Indikator daya yang tersisa di baterai Pektay, menggeletak di meja pada sebuah kafe.

Malam melarut. Takbiran dengan bingar suara latar berirama lebih dari 200 beat per minute telah lama punah, terpadamkan oleh protes saya yang menginginkan lengang di malam 1 Syawal (yang saya rasa sama sepi dan kering di hati).

Kursi-kursi diangkat, membuat kafe ini bertambah luas. Namun kami, saya dan seorang lelaki yang duduk di sebelah saya, berwajah tirus seperti mengemban beban pada sepasang pundak kurus, masih terpaku di sini, di hadapan pendar layar tigabelas inci, meluapkan gelisah dalam diam. Hanya bunyi ketukan tuts keyboard dan hembusan asap tipis dari hidung dan mulut kami, mengambang ke atas untuk kemudian lenyap.

Dan beberapa pengunjung berdiri dari meja, menggeser bangku, mengangkat pantat, tertawa, bersalaman, berpelukan, mengucap selamat, dan berpisah di halaman parkir. Beberapa pelayan menatap gelisah pada kami yang masih menunduk, bahkan enggan untuk menoleh. Botol-botol teh dan milkshake setengah isi terlantar, mengembun, terlupakan.

Kosong. Sunyi.

Well, selamat Idul Fitri. Damai di hati, damai di bumi.

(... dan masih bersisa lima belas menit di pojok kanan atas. Ibu, saya pulang)

Comments

  1. mbake... selamat hari raya Idul Fitri ya... Mphpn maaf lahir dan batin...

    inih... kopi dan kripik yang tidak banyak ini harus kukirim ke mana kah?

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?