The Aging Part
"Gue kangen brondong, Pit," keluhnya di jendela chatting suatu malam. Saya tau, yang dimaksud pasti lelaki muda yang fotonya dia kirimkan ke email saya. Beberapa bulan yang lalu memang dia sempat cerita ada 'brondong' yang sedang 'dilekatinya' dan ia kenal di Facebook.
"Ya udah. Telpon sana. Atau SMS. Jangan kayak orang susah gitu lah," jawab saya sekenanya.
Ada jeda lumayan lama sebelum akhirnya dia melanjutkan.
"Nggak bener nih. Dia masih SMS dan masih nelpon setelah ketemu gue. Nadanya juga masih mesra. Padahal umur gue udah 35. Menurut lo dia suka nggak ama gue?"
Saya hampir terjengkang dari kursi karena pertanyaannya lucu sekali bagi saya.
"Are you that blind?! Geez!"
"Ya... Gimana dong? Gue janda beranak empat, perut bergelambir, paha berselulit. Mosok dia masih bilang gue imut?"
Well, untuk urusan penamaan sebenarnya saya agak pilih-pilih. Buat saya, anjing gede bertampang sangar dan berbulu hitam gondrong bisa jadi imut jika sepasang matanya polos kekanakan. Namun perempuan tiga puluh lima tahun yang membesarkan empat anak pintar-lucu-sehat, lebih suka menghabiskan waktu membongkar ensiklopedia dan mengajari si sulung ngoprek komputer adalah... fantastis.
Saya nggak tau dari mana diksi 'imut' itu dia dapat. Mungkin dari perawakannya yang sama kuntet dengan saya (dengan daging jauuuh lebih sedikit, tentunya). Mungkin dari wajahnya yang tidak pernah lelah tersenyum. Mungkin dari caranya memperlakukan teman dengan penuh kasih. Atau mungkin she's just simply irresistible buat para lawan jenis.
"Itu masalahnya, bukan masalah lo. Lagian, apa lo tunjukin bekas operasi Caesar di perut bergelambir lo ke dia? Apa lo plorotin celana lo buat pamer selulit ke dia? Nggak kan? Lo cuma tinggal sit back and enjoy the ride. Hak dia untuk menuduh elu sesuai dengan persepsinya. Elu nyusahin diri sendiri aja."
"Tapi dia lebih muda dari gue sebelas taun, Pit! Se. Be. Las. How's that sound?"
Saya garuk-garuk kepala beneran.
"Terus kenapa? Dia suka, elu suka. Masalahnya ada dimana? " tanya saya.
"FYI: I'm aging, Pit. And an aging lady with three failed marriages somehow needs assurance for her future. She needs someone to share cups of tea in rainy afternoon on the porch. She needs strong shoulders to lean on when the going gets tough. She needs a pair of steel ears to listen to her nags. In short, she needs something solid underneath her feet."
"And this lady also needs a juicy, satisfyingly big and experienced dick to go with all of those, eh?" balas saya, mengetik sambil tertawa. Beberapa orang yang kebetulan satu meja dengan saya di angkringan malam itu sekilas menoleh, ingin tau.
"Dammit! Of course!"
Saya tertawa makin kencang.
Masalah penuaan ini memang seperti monster hidra berkepala tujuh bagi para mahluk bervagina. Ketakutan akan keriput yang nongol terlalu pagi, gurat cakar burung muncul di sudut mata dan kekenyalan wajah melenyap membuat perusahaan kosmetik berbondong-bondong membuat krim ajaib yang dapat memanipulasi waktu. Mereka janji dan mampu menghilangkan semuanya secara dramatis, katanya. Namun ada satu hal yang mereka--perusahaan kosmetik dan para perempuan itu--lupa: attitude. Somehow, semua krim di seluruh dunia tidak akan bisa menguapkan kebijaksanaan dan berbagai pelajaran yang didapat seiring dengan berdetaknya detik beralur maju.
Dan usia hanya deret angka yang tersusun dalam satuan ciptaan manusia karena mereka nyaman mengetahui segala sesuatu menggunakan ukuran. Dalam kasus ini, usia adalah benda usang yang patut dibuang ke tong sampah.
"Well, gue nggak bisa ngomong apa-apa sih. Have never been in your shoes before. Tapi gini aja, deh. Kalo pun lo nggak sreg ama dia karena umur, ya... dibikin asik aja kenapa? Setidaknya kalo ntar ada 'orang khilaf' yang mau jalan bareng elu beneran, lo ada selingan buat nunggu sampe masa itu dateng."
"Pit... Somehow gue heran gimana orang dengan pikiran seruwet elu bisa punya solusi yang amat sangat sederhana kayak gitu," jawabnya.
"Lha? Kenapa mesti dibikin ruwet kalo emang aslinya simpel?"
"Udah ah. Gue mau tidur. Makasih ya, Beib."
"Sama-sama, Ma. Sweet dream."
Yah... Usia. Lagi-lagi memang tidak bisa menipu.
"Ya udah. Telpon sana. Atau SMS. Jangan kayak orang susah gitu lah," jawab saya sekenanya.
Ada jeda lumayan lama sebelum akhirnya dia melanjutkan.
"Nggak bener nih. Dia masih SMS dan masih nelpon setelah ketemu gue. Nadanya juga masih mesra. Padahal umur gue udah 35. Menurut lo dia suka nggak ama gue?"
Saya hampir terjengkang dari kursi karena pertanyaannya lucu sekali bagi saya.
"Are you that blind?! Geez!"
"Ya... Gimana dong? Gue janda beranak empat, perut bergelambir, paha berselulit. Mosok dia masih bilang gue imut?"
Well, untuk urusan penamaan sebenarnya saya agak pilih-pilih. Buat saya, anjing gede bertampang sangar dan berbulu hitam gondrong bisa jadi imut jika sepasang matanya polos kekanakan. Namun perempuan tiga puluh lima tahun yang membesarkan empat anak pintar-lucu-sehat, lebih suka menghabiskan waktu membongkar ensiklopedia dan mengajari si sulung ngoprek komputer adalah... fantastis.
Saya nggak tau dari mana diksi 'imut' itu dia dapat. Mungkin dari perawakannya yang sama kuntet dengan saya (dengan daging jauuuh lebih sedikit, tentunya). Mungkin dari wajahnya yang tidak pernah lelah tersenyum. Mungkin dari caranya memperlakukan teman dengan penuh kasih. Atau mungkin she's just simply irresistible buat para lawan jenis.
"Itu masalahnya, bukan masalah lo. Lagian, apa lo tunjukin bekas operasi Caesar di perut bergelambir lo ke dia? Apa lo plorotin celana lo buat pamer selulit ke dia? Nggak kan? Lo cuma tinggal sit back and enjoy the ride. Hak dia untuk menuduh elu sesuai dengan persepsinya. Elu nyusahin diri sendiri aja."
"Tapi dia lebih muda dari gue sebelas taun, Pit! Se. Be. Las. How's that sound?"
Saya garuk-garuk kepala beneran.
"Terus kenapa? Dia suka, elu suka. Masalahnya ada dimana? " tanya saya.
"FYI: I'm aging, Pit. And an aging lady with three failed marriages somehow needs assurance for her future. She needs someone to share cups of tea in rainy afternoon on the porch. She needs strong shoulders to lean on when the going gets tough. She needs a pair of steel ears to listen to her nags. In short, she needs something solid underneath her feet."
"And this lady also needs a juicy, satisfyingly big and experienced dick to go with all of those, eh?" balas saya, mengetik sambil tertawa. Beberapa orang yang kebetulan satu meja dengan saya di angkringan malam itu sekilas menoleh, ingin tau.
"Dammit! Of course!"
Saya tertawa makin kencang.
Masalah penuaan ini memang seperti monster hidra berkepala tujuh bagi para mahluk bervagina. Ketakutan akan keriput yang nongol terlalu pagi, gurat cakar burung muncul di sudut mata dan kekenyalan wajah melenyap membuat perusahaan kosmetik berbondong-bondong membuat krim ajaib yang dapat memanipulasi waktu. Mereka janji dan mampu menghilangkan semuanya secara dramatis, katanya. Namun ada satu hal yang mereka--perusahaan kosmetik dan para perempuan itu--lupa: attitude. Somehow, semua krim di seluruh dunia tidak akan bisa menguapkan kebijaksanaan dan berbagai pelajaran yang didapat seiring dengan berdetaknya detik beralur maju.
Dan usia hanya deret angka yang tersusun dalam satuan ciptaan manusia karena mereka nyaman mengetahui segala sesuatu menggunakan ukuran. Dalam kasus ini, usia adalah benda usang yang patut dibuang ke tong sampah.
"Well, gue nggak bisa ngomong apa-apa sih. Have never been in your shoes before. Tapi gini aja, deh. Kalo pun lo nggak sreg ama dia karena umur, ya... dibikin asik aja kenapa? Setidaknya kalo ntar ada 'orang khilaf' yang mau jalan bareng elu beneran, lo ada selingan buat nunggu sampe masa itu dateng."
"Pit... Somehow gue heran gimana orang dengan pikiran seruwet elu bisa punya solusi yang amat sangat sederhana kayak gitu," jawabnya.
"Lha? Kenapa mesti dibikin ruwet kalo emang aslinya simpel?"
"Udah ah. Gue mau tidur. Makasih ya, Beib."
"Sama-sama, Ma. Sweet dream."
Yah... Usia. Lagi-lagi memang tidak bisa menipu.