Tentang Patah Hati

Saya lupa berapa kali saya kena sial seperti judul entri ini. Banyak hal penyebabnya. Cowok, pekerjaan, sekolah, keinginan tak tercapai. Sebut saja. Saya sudah pernah semuanya. Tapi toh dunia nggak berhenti berputar karena hati saya patah, kan? 

Sebuah studi yang entah dimana, entah siapa penggagasnya dan entah siapa penelitinya (blame my limited memory, don't blame those angelic scientists) pernah berkata bahwa orang dengan tinggi diatas rata-rata, berkulit lebih terang dan secara fisik enak dilihat akan selalu mendapatkan semua hal lebih mudah ketimbang orang yang tingginya standar cenderung kuntet, berkulit sawo busuk, dan AGAK sepet di mata. Sebagai salah satu mahluk tuhan dengan karakteristik terakhir saya sadar betul hal ini. Namun satu hal yang (mungkin) dilupakan para peneliti tersebut adalah daya juang para mahluk sepet yang tidak standar.

Saya juga tau cowok-cowok akan melirik ke teman-teman perempuan saya yang lebih kurus dan lebih bening. Itu wajar. Preferensi. Makanya saya males gaul dengan sesama perempuan dan lebih sering nongkrong bareng para lelaki. Namun sesering dan sedekat apapun saya akrab dengan mahluk berpenis dan berkaki dua, toh nggak punya-punya pacar juga. Ini bukan curcol! Harap diingat. Saya hanya menjaga kemurnian pertemanan dengan tidak menyeret mereka untuk check in di hotel transit murah setempat atau menodainya dengan kata-kata seperti "kita kan pacaran, kenapa kamu nggak mau anter aku beli gado-gado?" Maaf, saya tidak sepicik itu.

Teman saya terkuple-kuple mengenang bagaimana aroma tubuh perempuannya dulu, yang pelukannya menyembuhkan semua luka hati, wajahnya meredamkan amarah dan suaranya membuat seluruh dunia serasa bernyanyi. Iya. Sepertinya dia lebay. Tapi sudah lah. Untuk manusia sepet seperti dia, mendapatkan seseorang yang khilaf dan mau dibohongi, dielus-elus, dicium-cium dan ditiduri mungkin akan sangat teramat susah. Makanya patah hati yang dia derita mungkin akan sangat lama. Sudah hampir setengah tahun pun, meski kadang terlupakan, perasaan kehilangan itu kadang mengemuka. Seperti mendadak ditabok preman Ambon gede lagi mabok, padahal kita lagi sumpek nunggu bis di terminal Senen. Maaf. Saya nggak bermaksud rasis. Ini murni asosiatif. Kebetulan preman serem yang saya liat bertampang Ambon. Ada yang lebih serem dari preman Ambon, dan dia bertampang India-Arab. Sayangnya dia teman saya, bukan preman, dan tidak suka menabok. Jadi, dia tidak masuk dalam hitungan. 

Namun ada juga teman saya yang bermodal diehard. Mau berapa kali pun dia diputusin pacar, ditolak perempuan, atau bahkan diusir sebelum nembak, dia selalu berpikiran positif bakal dapet lagi. Padahal semua perempuan itu nggak asal bening, baik dan menyenangkan. Dia harus tau apakah debar-debar di dada setiap salah satu perempuan incarannya lewat itu pertanda sebelah sayap yang akan menemukan pasangan sayapnya untuk terbang tinggi atau dia hanya deg-degan takut ditagih utang. Dia juga banyak melakukan riset dan pendekatan. Mungkin sama seperti merak jantan memamerkan bulu ekornya pada merak betina. Untuk cowok dengan tampang ngepas seperti dia, saya nggak tau dia kelewat optimis atau kebangetan ngarep. Kadang perbedaan kedua hal itu hanya setipis jembut dibagi seribu, lebih tipis dibanding jembatan Sirathal Mustaqim (konon). Tapi saya suka gayanya. "Kalo yang ini nggak dapet, ya gue cari inceran baru lagi. Jangan dibikin susah, lah!" ujarnya.

Buat dia, siapapun yang pernah datang dan kemudian pergi berarti memang bukan untuknya. Tidak ada nada sendu disana. Saya hanya menangkap suara riang ketika ia bercerita tentang pacarnya yang selalu tidur tiap diajak nonton, atau salah satu perempuan incaran yang ia suka karena selalu berparfum kayu putih dan bedak bayi. 

"Buat gue, ini cuma gimana lo ngelepas tu cewek buat nyari perbandingan. Kalo suatu hari dia dapet cowok brengsek, setidaknya dia tau dulu ada cowok baik yang pernah macarin dia." Hanya itu kesimpulannya. Sederhana sekali.

Ketika saya bertanya apa yang membuatnya dapat berbesar hati seperti itu, ternyata dia terinspirasi lagu yang enak di kuping dan gampang diingat. Dan setelah bertahun-tahun lagu itu terus membuatnya semangat untuk tidak jatuh terlalu lama dalam kubangan dekil berjuluk patah hati. 

Saya tidak berharap siapapun yang membaca entri ini sedang dalam keadaan sial dan mengalami hati yang patah. Jika iya, mungkin sedikit penguatan dari lirik lagu ini akan membuat si hati sembuh. Enjoy! (=


Comments

  1. Trying to enjoy walo sepet :D

    Kepada semua pejuang! chaaarge! :D

    ReplyDelete
  2. eruuuu! you always know how to put a little light to my dark post ya!
    lineup, ladies! haha!

    ReplyDelete
  3. hahha keren abizzz tulisannya, syukurnya gw lagi gak patah hati, kalo gi patah hati bisa ketawa dah :P

    ReplyDelete
  4. Anonymous2:52 PM

    aih...buses and trains... *nyolokin earphone ke kuping* and it felt so good, i wanna do it, again.....
    so, patah hati means masochist kah ?

    ReplyDelete
  5. aku suka tulisannya mbak pitoe XDDD
    so strong and honest!

    pokoknya setubuh!!!

    ReplyDelete
  6. @Somebodywhogoesbythenamehaveyourads:
    justru... patah atau ga patah mah ketawa gada yg larang disini. sok atuh ketawa. ga bakal ditarik bayaran juga.

    @Nunu:
    YOU GOT IT RITE, GURL! haha! but aren't we all?!
    *tetep headbang pakek Stratovarius*

    @Macangadungan:
    ga bakal bisa se-honest itu kalo ga punya temen2 sableng macem Nunu...
    *menjura*

    ReplyDelete
  7. Just like stey said,
    I'm the Grey :-"

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women