Lebaran, Anyone?
Hari terakhir puasa Babab tidak bersama kami ketika Lebaran. Kami santai saja. Ibu masih mencetak adonan kue kering pada nampan ketika takbir berkumandang tanpa henti di mesjid, karena ini adalah saat yang tepat mencoba resep. Adik saya malah tidur karena flu. Dan saya baru pulang ke rumah pukul sebelas malam. Semua sama seperti biasa, kecuali bagian membuat kue. Sejak dulu keluarga saya memang tidak pernah mendewa-dewakan Idul Fitri karena itu hanya perayaan atas terbebasnya nafsu setelah terkungkung sebulan penuh. Setidaknya begitulah menurut saya.
Salahkan media yang mengangkat momen ketertundukan manusia atas nafsunya sendiri sebagai tambang iklan dan rating yang tak habis dikeruk. Silahkan berkernyit pada lawakan-lawakan konyol pengantar sahur (dan saya bertanya-tanya ada berapa korban tersedak hingga mati ketika mereka makan sambil tertawa). Bebaskan dirimu untuk memaki beberapa pendakwah—dadakan dan asli—pengisi waktu sebelum adzan magrib datang (dan tidak akan kamu lakukan karena beduk belum bertalu, bukan?). Setelah malam datang kita akan makan seperti babi lalu tergeletak kekenyangan. Sebelum muadzin selesai meneriakkan "Allah" pertama, kita sikat habis berbagai penganan—ringan, sedang dan berat—hingga ludes tak bersisa, melepasliarkan kembali keinginan yang tertahan seharian.
Benarkah kita telah menang?
Satu hal yang saya lakukan ketika 1 Syawal datang adalah mengirim SMS pada teman dan kenalan yang saya yakin tidak akan bertemu muka. Bukan meminta atau memberi maaf, karena saya terlalu megalomaniak untuk itu. Saya hanya menyuarakan keprihatinan terhadap pameran keserakahan yang ditampilkan mereka para ‘pemenang’. Padahal menang atau kalah selama Ramadhan sama pribadinya dengan apakah kamu cebok atau tidak sehabis buang air besar.
Berbual tentang nafsu, ada yang lucu pada halaman Facebook saya. Seorang om-om tall-dark-handsome beranak dua, mapan, dan merasa dunia ada dalam genggamannya memanjatkan doa untuk mendiang ibu pada statusnya. Sementara di pesan inbox, dia frontal mengatakan ingin bersetubuh dengan saya. Mungkin itu hanya guyonan basi khas om-om yang terseok mengejar tren, atau dia memang ingin nakal. Saya tidak pernah tau karena saya tidak pernah membalas ajakannya. Saya hanya mengingatkannya untuk tarawih sementara saya makan opor di warung dekat kos. Ketika saya mengadukannya pada seorang ‘angel in disguise’, dengan bijak dia berkata: Ada hal yang memang bukan konsumsi publik, toh?
Saya terlalu naif memaknai rangkaian Ramadhan lengkap dengan Idul Fitri, dimana manusia akan jadi lebih baik, setan-setan dirantai dan diikat, yang berpuasa selama sebulan seharusnya dapat menundukkan ego dan berbagi. Bukan membusungkan dada dan menyombongkan THR. Jiwa seharusnya tersegarkan kembali. Tidak bertambah ganas. Mungkin karena saya tinggal di kota dengan keluarga yang hanya sepeminuman kopi jaraknya hingga saya tidak memerlukan ponsel dan kendaraan baru untuk dipamerkan ke kerabat di kampung. Mungkin khusuknya suara takbir keliling desa dengan obor—seperti yang pernah saya lihat di iklan-iklan rokok—tergantikan gebyar audio system di kafe dengan irama 200 bpm. Mungkin kelelahan karena melihat begitu banyak orang berburu diskon menggantikan malam saat seharusnya kami berburu seribu bulan. Atau karena saya skeptis terhadap semua omongkosong orang-orang bergamis putih yang percaya bahwa sorban lebih bisa dijadikan pelindung kepala ketimbang helm ketika motor mereka melaju kencang di jalur cepat?
Dan saya muak.
Namun saya masih menunggu hadirnya Ramadhan tahun depan. Mungkin saya masih akan memaki.
ps: teriring salam dari semua petugas penyedia jaringan ponsel yang begadang berhari-hari; korban-korban mati dan luka karena mudik; mereka yang berjejalan di kereta dan kapal dan bis; bocah-bocah menangis kepanasan dan terhimpit; telur, ayam, kambing dan sapi yang berakhir menjadi kue kering, opor, kebuli dan rendang; polisi-polisi yang duduk-duduk di tenda bertuliskan ‘Operasi Ketupat’; dan kamitua yang menangis ketika kerabat datang dan pergi. Semoga tidak berakhir dalam kesia-siaan.
Salahkan media yang mengangkat momen ketertundukan manusia atas nafsunya sendiri sebagai tambang iklan dan rating yang tak habis dikeruk. Silahkan berkernyit pada lawakan-lawakan konyol pengantar sahur (dan saya bertanya-tanya ada berapa korban tersedak hingga mati ketika mereka makan sambil tertawa). Bebaskan dirimu untuk memaki beberapa pendakwah—dadakan dan asli—pengisi waktu sebelum adzan magrib datang (dan tidak akan kamu lakukan karena beduk belum bertalu, bukan?). Setelah malam datang kita akan makan seperti babi lalu tergeletak kekenyangan. Sebelum muadzin selesai meneriakkan "Allah" pertama, kita sikat habis berbagai penganan—ringan, sedang dan berat—hingga ludes tak bersisa, melepasliarkan kembali keinginan yang tertahan seharian.
Benarkah kita telah menang?
Satu hal yang saya lakukan ketika 1 Syawal datang adalah mengirim SMS pada teman dan kenalan yang saya yakin tidak akan bertemu muka. Bukan meminta atau memberi maaf, karena saya terlalu megalomaniak untuk itu. Saya hanya menyuarakan keprihatinan terhadap pameran keserakahan yang ditampilkan mereka para ‘pemenang’. Padahal menang atau kalah selama Ramadhan sama pribadinya dengan apakah kamu cebok atau tidak sehabis buang air besar.
Berbual tentang nafsu, ada yang lucu pada halaman Facebook saya. Seorang om-om tall-dark-handsome beranak dua, mapan, dan merasa dunia ada dalam genggamannya memanjatkan doa untuk mendiang ibu pada statusnya. Sementara di pesan inbox, dia frontal mengatakan ingin bersetubuh dengan saya. Mungkin itu hanya guyonan basi khas om-om yang terseok mengejar tren, atau dia memang ingin nakal. Saya tidak pernah tau karena saya tidak pernah membalas ajakannya. Saya hanya mengingatkannya untuk tarawih sementara saya makan opor di warung dekat kos. Ketika saya mengadukannya pada seorang ‘angel in disguise’, dengan bijak dia berkata: Ada hal yang memang bukan konsumsi publik, toh?
Saya terlalu naif memaknai rangkaian Ramadhan lengkap dengan Idul Fitri, dimana manusia akan jadi lebih baik, setan-setan dirantai dan diikat, yang berpuasa selama sebulan seharusnya dapat menundukkan ego dan berbagi. Bukan membusungkan dada dan menyombongkan THR. Jiwa seharusnya tersegarkan kembali. Tidak bertambah ganas. Mungkin karena saya tinggal di kota dengan keluarga yang hanya sepeminuman kopi jaraknya hingga saya tidak memerlukan ponsel dan kendaraan baru untuk dipamerkan ke kerabat di kampung. Mungkin khusuknya suara takbir keliling desa dengan obor—seperti yang pernah saya lihat di iklan-iklan rokok—tergantikan gebyar audio system di kafe dengan irama 200 bpm. Mungkin kelelahan karena melihat begitu banyak orang berburu diskon menggantikan malam saat seharusnya kami berburu seribu bulan. Atau karena saya skeptis terhadap semua omongkosong orang-orang bergamis putih yang percaya bahwa sorban lebih bisa dijadikan pelindung kepala ketimbang helm ketika motor mereka melaju kencang di jalur cepat?
Dan saya muak.
Namun saya masih menunggu hadirnya Ramadhan tahun depan. Mungkin saya masih akan memaki.
ps: teriring salam dari semua petugas penyedia jaringan ponsel yang begadang berhari-hari; korban-korban mati dan luka karena mudik; mereka yang berjejalan di kereta dan kapal dan bis; bocah-bocah menangis kepanasan dan terhimpit; telur, ayam, kambing dan sapi yang berakhir menjadi kue kering, opor, kebuli dan rendang; polisi-polisi yang duduk-duduk di tenda bertuliskan ‘Operasi Ketupat’; dan kamitua yang menangis ketika kerabat datang dan pergi. Semoga tidak berakhir dalam kesia-siaan.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?