Orang-orang Jakarta

Saya bukan anak baik-baik. Saya sering sekali pulang dini hari sendirian, menyusuri Jalan KH Ahmad Dahlan hingga Radiodalam. Saya kerap mendapati gembok pagar kost terkunci karena pulang lewat dari jam malam. Akhirnya, saya harus terdampar di restoran bubur ayam yang buka 24 jam, di seberang gang, menunggu pagi datang. Seperti saat ini. Meskipun uang yang saya punya hanya cukup membeli segelas teh tawar panas dan akan dimaklumi oleh mas-mas pelayan dengan senyum tulus.

Saya masih nakal. Saya tidak pernah menolak lintingan ganja yang ujungnya telah terbakar dan wanginya mengundang liur. Terkadang saya mencandu, menginginkan harum dedaunan kering itu menari-nari pada paru dan nostril, membuka cakrawala berpikir yang sepertinya tidak habis-habis.

Saya bandel. Terkadang saya pulang dengan kepala berat akibat iseng meladeni tantangan seorang sahabat yang berbekal sebotol Jack Daniels dan mengajak saya mabuk di pinggir trotoar. Saya selalu ingin mencicip tuak khas satu daerah yang berhasil membuat saya berjalan terhuyung dan muntah udara. Dan saya punya supplier tetap untuk hal ini.

Saya tidak suka kerumunan yang bergoyang seiring dentum musik yang menghentak lebih cepat dari denyut nadi ditingkah lampu kerlap-mengerlap dan membuat mata sakit. Namun saya pernah merasa nyaman dan segar setelah lelap di sofa tempat ajeb-ajeb seperti itu, karena punggung saya seperti dipijat. Dan teman saya mengomel tiada henti karena gagal membuat saya kesal.

Semua saya temukan di Jakarta, kota yang katanya individulis dan jahat.

Terlepas dari itu semua, saya tidak pernah mempersonifikasi sebuah kota. Bagi saya, semua tempat sama saja. Yang berbeda adalah siapa yang ada disana dan bagaimana seseorang membawa diri. Karena manusia pada dasarnya adalah baik.

Buktinya adalah apa yang akan saya ceritakan.

Ini lagi-lagi tentang pulang kemalaman. Teman saya yang asli Betawi pulang terlalu larut dari pertemuan dengan organisasinya, beberapa bulan lalu. Celakanya, saat itu waktunya taksi pulang ke pool. Jadi, berapa kali pun dia melambai pada taksi yang melintas, dia tidak beda dengan hantu: tak kasat mata. Padahal rumahnya masih teramat jauh dan kantuk terlalu cepat datang.

Saat kakinya tersaruk melangkah karena lelah, mendadak sebuah motor berhenti di sebelah dan pengendaranya menawarkan tumpangan. Kebetulan searah, begitu alasan bapak yang mengenakan helm sewajah penuh ketika teman saya ditanya tujuannya.

Pukul satu saat itu, dan mereka ngobrol di tengah deru angin menembus kulit. Ternyata si pengendara adalah pegawai sebuah restoran yang tutup tengah malam di bilangan Gajah Mada. Ketika teman saya terheran-heran mengapa si bapak percaya untuk menawarkan tumpangan, polos bapak itu berkata: “Yah… Saya sih niatnya baik, Mas. Saya pernah kemalaman dan pulang jalan kaki jauh sekali. Saya nggak pengen ada orang yang bernasib sial seperti saya saat itu. Tuhan juga nggak tidur. Dia tau saya hanya ingin membantu. Kalau Mas memang berniat untuk jahatin saya, itu urusan Mas.”

Saking takjubnya, teman saya lupa menanyakan siapa nama si bapak dan berapa nomer ponselnya. Apalagi setelah beliau tidak mengambil uang pengganti bensin yang diangsurkan ke hadapannya. Untuk seribusatu alasan yang dikemukakan teman saya, bapak itu punya penolakan ke-seribudua.

"Gila, Pit. Gue terlalu takjub bahkan hanya untuk nanya nama. Padahal gue pengen tau gimana latarbelakang bapak itu. Gue terbengong-bengong ada orang baik kayak gitu di Jakarta. Jakarta, Pit. Jam satu malem!" ujar teman saya bersemangat.

Hal yang sama pernah terjadi pada saya. Saya selalu membiasakan diri menumpang Bajaj atau taksi jika saya pulang lepas tengah malam. Atau, jika uang saya tiriiiiis sekali, saya lebih baik jalan kaki. Bukan apa-apa. Saya merasa risih menumpang ojek karena ukuran dada saya lumayan tidak standar (ehm!), meskipun tertutup kaos gombrong.

Sempat saya jalan kaki diantara apitan pepohonan rindang pukul tiga pagi, ditemani teriakan Ucok Homicide pada MP3 player dengan earphone tersumpal erat di telinga. Saya hanya mengandalkan mata yang sedikit rabun karena malas mengenakan alat bantu. Cahaya yang minim membuat saya waspada pada sorot lampu dari belakang yang searah dengan tujuan saya, berharap itu adalah taksi.

Tapi tanpa saya duga, seorang bapak bermotor berhenti di sebelah saya dan menawarkan tumpangan. Setelah melepas headset, saya tolak sambil tersenyum bingung. Jujur saya bilang, saya menunggu taksi. Ini adalah salah satu kelemahan saya. Jika berada dalam posisi tidak terduga seperti saat itu, saya terlalu bodoh untuk sekedar berbohong. Dan saya tidak bisa berkelit di cecar pernyataan: “Saya mau ke Ciputat. Adek ke Radiodalam. Kita searah. Lagipula, saya cuma inget anak perempuan saya yang seumuran Adek. Dia SPG yang juga sering kemalaman. Pasti Ayah si Adek juga bakal prihatin ngeliat anaknya jalan kaki sendirian malam-malam begini…”

Akhirnya sambil menggumamkan Bismillah banyak-banyak di dalam hati, saya naik ke boncengan. Dari obrolan singkat kami, ternyata beliau baru pulang mengojek, mengantar seseorang ke suatu tempat. Ketika saya sudah sampai di seberang gang menuju kost, bapak itu menolak uang sepuluh ribu yang sedianya untuk naik taksi. Beliau langsung tancap gas tanpa sempat mendengar terimakasih yang saya ucapkan.

Saya tidak tau apakah sumpah Ibu saya sedari kecil benar adanya (dhemit ora ndulit, menungsa ora doyan—diucapkan sambil meniup ubun-ubun saat saya harus bepergian jauh dan lama), atau Tuhan memang tidak pernah tidur seperti satpam penjaga malam. Sejak lahir dan besar di Jakarta, porsi saya diberi kebaikan oleh orang-orang yang tinggal di sini lebih besar ketimbang bangsat yang saya terima.

Jakarta itu kejam? Saya rasa itu tergantung apa yang dialami masing-masing jiwa.

Comments

  1. memang msh ada kok orang-orang yg berhati tulus asal kita mau membuka hati :D

    Tapi yah namanya juga JKT, begitu jargon orang orang kota :P

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?