A Letter to Jon



Dear Jonathan Davis,

Sedang apa kamu saat ini? Pukul berapa disana? Bagaimana proyek-proyek sampingan setelah kelompokmu moksa? Bagaimana kabar istri cantikmu yang mantan bintang film porno itu? Masihkah kau pelihara dreadlock panjang hingga punggung? Di usiamu yang sekarang ini, apakah kau sempat merasakan getirnya asam urat? Apalagi kulihat perutmu membuncit dan gumpalan lemak bertebaran di sekujur tubuh.

Maaf, baru kali ini aku menyapa. Padahal suaramu menghantam telinga tiap aku kemana-mana. Maaf, aku tidak turut mengenalmu sejak masih SMA. Eric Martin dan Billy Sheehan membuat serak geramanmu menenggelam.

Did you know, Jon?

Karenamu aku belajar keindahan dari nada yang hampir selalu turun setengah. Melalui bait-baitmu aku belajar memahami perih-pedih penghianatan, dusta, penghinaan, putus asa dan gelisah. Lewat irama gegap namun muram, kau beberkan lungkrahnya menjalani hidup menunggu ujung.

Kamu memberi arti baru pada makian. Pada gumaman. Pada liris bagpipe yang membawaku ke pucuk-pucuk pinus pegunungan Irlandia. Pada negeri fantasia bernama Narnia—sebuah cerita yang berhasil membuat malam kanak-kanakku indah dengan mimpi bertemu Aslan dan satyr baik hati.

Menyimakmu adalah ritual, layaknya mandi dan gosok gigi yang kulakukan dengan takzim. Tidak seperti Bono dan The Edge yang membawa irama dengan tujuh nada dasar menjadi megah; atau Sting melagukan cinta secara agung; kau dan kawan-kawanmu tetap berada di bawah rata-rata air.

Ketika Metallica terpuruk akibat bassis baru yang salah tempat, kau memilih minggir dan menjadi sunyi. Saat de la Rocha habis semangat untuk menyengat, kau bawa orang-orang lain untuk bermusik secara gerilya. Waktu System of A Down bisu tak berkabar, kau masih meniti langkah. Dan aku tidak akan meninggikanmu sepuncak dengan Dream Theater. Mereka dewa.

Hey, Jon,

If I could only have one wish, it is to be with you all night long, with a bottle of Jack Daniels that we share together and hear you curse till dawn. But please, do it without unzipping your jeans. It’d made you look stupid.



[Damn! You’re hot!]

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women