Cerita Akhir Pekan

Saya meninggalkan Bandung diiringi tatapan sedih seorang perempuan kecil menggendong anak kucing imut bernama Beibeh. Saya yang salah, tidak terburu-buru pergi ketika dia belum pulang. Saya kecup puncak kepalanya dan berjanji akan kembali jika akhir pekan saya luang. Sementara benak saya penuh terisi materi bahasa Inggris fucked up yang harus saya ajarkan di Boncang Headquarter pukul delapan nanti.

Langit gelap dan rintik hujan turun satu-satu ketika saya sampai di terminal Leuwipanjang. Mata saya nyalang mencari bis merah eksekutif yang akan membawa saya ke Lebak Bulus. Nggak ada. Damn! Terpaksa saya lompat ke bis lain dengan sandaran duduk warna ijo ngebet.

Nama Saya Merah’ pemenang Nobel 2006 tidak mampu membuat saya fokus membaca. Apalagi lengkingan Sebastian Bach melagukan ‘In A Darkened Room’ bersama Skid Row pada MP3 player portable membuat saya nyaman seperti sedang berada di kamar sendiri. Saya hampir tidak sadar ada bapak setengah baya menyandang tas kerja dengan jas coklat lusuh duduk di kursi sebelah yang masih kosong karena mata saya keburu terpejam.

Hampir setengah jalan tol Cipularang, saya jengah. Bapak di sebelah tertidur sambil mendesak saya hingga ke pinggir jendela. Saya putus asa ingin melanjutkan lelap, namun tidak bisa nyenyak. Jancuk! Akhirnya saya ganti playlist saya dengan Korn. Kantuk kembali menerjang tanpa bisa saya tahan.

Beberapa saat kemudian saya tersentak bangun mendapati paha kiri saya diremas. Sepersekian detik kemudian, bapak di sebelah saya berpura-pura batuk dan menarik tangannya dari paha saya. Saya melotot. Saat itu juga saya ingin menonjok dan menendang mukanya dengan sepatu bot tentara yang melekat di kaki. Tapi, seperti tidak terjadi apa-apa, dia masih pura-pura tidur dengan tubuh tetap condong di pundak saya. Dan saya tidak punya bukti kuat untuk membuat keributan.

Saya meraih ponsel di saku jins lalu menghubungi nomer telepon my partner in crime.

“Mas Epat? Kamu dimana?”

“Rumah. Nopo, Nduk?”

“Nggak. Mau nanya. Kira-kira bagian tubuh mana yang buat cowok paling menyakitkan untuk ditendang?”

Preman Malang yang saya ajak bicara tertawa keras sekali di seberang sana.

Kon nyapo je, Nduk? Kamu dimana ini?”

Dengan suara saya keras-keraskan, saya menyahut.

“Gue lagi di bis dari Bandung. Ini ada MONYET di sebelah gue pura-pura tidur tapi tangannya grepe-grepe paha gue. Enaknya diapain nih?”

Oknum monyet di sebelah saya beringsut menjauh ke bagian kursinya sendiri. Kedua tangannya erat memeluk tas. Mendadak suasana dalam bis senyap. Semua orang berhenti bicara. Dua orang yang sedang ngobrol tentang kehebatan iPhone 3G di kursi belakang mendadak terdiam. Mas Epat, karena dia preman, masih saja tertawa menggelegar menyakitkan telinga.

Oalah, Nduk… Nduk… Kamu kan ngerokok. Kamu bakar aja tangannya pake korek kalo dia iseng lagi.”

“Oh, gitu? Siram bensin terus bakar ya? Oke. Kalo gitu, siapin perabotannya. Kayaknya gue nyampe setengah jam lagi. Sebar anak-anak di sekitaran Cawang sampe terminal. Bawa parang yang kemaren buat menggal orang pas kita berantem itu, ya. Gue pengen tangan kirinya. Nggak tau malu tuh orang. Grepe-grepe orang sembarangan. Dia pikir gue bakal diem, apa?! Nanti gue SMS-in ciri-ciri orangnya.”

“Huahahaha!!! Cah edan! Iyo, wes. Kowe ati-ati, yo!”

“Iya. Makasih ya, Mas. Inget, bawa parang buat si MONYET. Gue udah nggak sabar pengen motong tangan MONYET itu pake tangan gue sendiri. Udah bau tanah nggak tau diri.”

Saya matikan ponsel dengan derai tawa masih terdengar di ujung ponsel yang lain. Tanpa menoleh, saya lantang berkata: “Lu tunggu aja. Jangan maen-maen ama gue,” lalu kembali melanjutkan tidur yang tidak terganggu hingga perempatan Giant Lebak Bulus.

Oh, sepertinya oknum monyet berjubah bapak setengah baya itu turun di UKI Cawang. Menunduk, bergegas, tanpa berani menoleh ke belakang. Semoga hidupnya berakhir tidak lama lagi. Secara menyedihkan. Well, itu doa paling tulus seumur hidup saya.

Comments

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women