Pay Respect!
Penting gak sih nikah itu? Ya. Asal bukan pernikahan gwa karena gwa bahkan gak kepikiran sama sekali. Tapi menikah adalah satu level, siklus dan hal baru yang mengubah total kehidupan. Revolusi menuju evolusi bersama: menjadi individu baru yang (diharapkan) tumbuh dan berkembang menuju yang lebih baik.
Temen se-kos gwa menikah jam 8.30 nanti, sementara gwa, dua setengah jam sebelum perubahan status itu, masih ada disini. Belum tidur dan males pulang.
Ga ada niat dateng walaupun dia temen yang lumayan baik sekalipun. Alasannya mungkin sepele: respek. Not mine to her, but vice-versa.
Seminggu menjelang hari-H dia baru kasih tau gwa--itupun karena ada 'kecelakaan' sebelumnya--dengan embel-embel, "Sttt... jangan kasih tau yang lain ya. Aku gak mau heboh dulu." Dan semua berjalan seperti apa adanya dengan mobilitas tinggi dari mulai bikin izin nikah, cari kontrakan, cari hotel buat keluarganya, dan lain-lain. Yang dikeluhkannya beberapa jam setelah dia ngaku. Jam 9 malam tadi, dia baru bilang: "Besok dateng kan? Dateng ya..." waktu gwa dan temen yang lain lagi asik nonton tipi. Gwa males liat mukanya. Jadi gwa anggap undangan itu bukan ditujukan ke gwa. Lagian dia gak nyebut nama gwa.
Bukan hanya gwa yang diperlakukan seperti itu. Yang lain juga sama. Malah ada yang nyangka dia mau jualan ketika sekarung keripik kentang dimasukkan dalam plastik kecil-kecil sebagai pelengkap hidangan walimah. Padahal temen kami yang lain--yang sekarang tinggal di ujung gang terjauh--sempet berlama-lama ngomongin tentang hari ini di kamar tertutup. Dan yang lain lagi, yang tinggal ratusan kilometer jauhnya dari kami, malah dikirimi undangan dan SMS yang meminta kehadiran mereka.
Ketika gwa komentar kalo tindakannya itu wagu, alasannya adalah karena gak mau bikin ribut. Padahal standarnya orang yang akan menikah adalah menyampaikan kabar baik ke seluruh kerabat dan kenalan untuk jadi saksi ketika janji terucap. Itu bukan keributan. Kita juga gak akan ribut, kok. Malah mbantu sebisanya, karena kami tau pernikahan ini lain dari yang biasa. Dan gwa tau mana yang basa-basi dan mana yang nutup-nutupin. Gelagatnya selama ini adalah yang terakhir.
Banyaknya perbedaan yang kami miliki gak mengubah persahabatan. Menurut gwa. Friksi adalah bumbu dalam hubungan antar-manusia yang beda karakter dan latar belakang dan sebagainya, sekeras apapun benturannya. Sedrastis apapun dia berubah, dia tetep temen gwa yang gwa kenal lumayan deket selama beberapa tahun terakhir ini. Apalagi kalo kita tinggal serumah. Beberapa teman yang lain menganggapnya gak ada niat ngundang dengan sikapnya yang seperti itu. Apa karena ritual kamu beda dengan yang umum, Mbak? Padahal kami mau datang sesuai aturan main. Asal kamu juga mengundang kami sesuai aturan main.
Keinginan kondangan hilang merunut kejadian seminggu ini: gwa ga dianggap teman, ga dianggap orang yang pantes diundang, karena tawaran itu gak pernah eksplisit terucap dari mulutnya. Gak sama seperti ketika dia ngomong tentang beberapa temen gwa yang mirip penghuni Pasar Kembang hanya karena pake tank top yang bertujuan mencari isis di area kos yang tanpa mata lelaki sama sekali.
Sayang, sefasih apapun kamu merasa mengenal Tuhan dan aturanNya, kamu gak punya penghormatan sama sekali terhadap sesama mahlukNya. Padahal Tuhan kita sama. Dan gwa tau Dia Maha Adil dan gak membeda-bedakan kemurahan dan rasa sayangnya ke seluruh ciptaanNya. Atau karena kamu merasa lebih tau segalanya dan kami cuma noktah jadi kamu merasa lebih berhak memiliki Tuhan? Nanti ya, kalo kita ketemu lagi, setelah kamu menyandang nama Nyonya BlaBlaBla, gwa bakal tanya-tanya semuanya. Tunggu aja!
Temen se-kos gwa menikah jam 8.30 nanti, sementara gwa, dua setengah jam sebelum perubahan status itu, masih ada disini. Belum tidur dan males pulang.
Ga ada niat dateng walaupun dia temen yang lumayan baik sekalipun. Alasannya mungkin sepele: respek. Not mine to her, but vice-versa.
Seminggu menjelang hari-H dia baru kasih tau gwa--itupun karena ada 'kecelakaan' sebelumnya--dengan embel-embel, "Sttt... jangan kasih tau yang lain ya. Aku gak mau heboh dulu." Dan semua berjalan seperti apa adanya dengan mobilitas tinggi dari mulai bikin izin nikah, cari kontrakan, cari hotel buat keluarganya, dan lain-lain. Yang dikeluhkannya beberapa jam setelah dia ngaku. Jam 9 malam tadi, dia baru bilang: "Besok dateng kan? Dateng ya..." waktu gwa dan temen yang lain lagi asik nonton tipi. Gwa males liat mukanya. Jadi gwa anggap undangan itu bukan ditujukan ke gwa. Lagian dia gak nyebut nama gwa.
Bukan hanya gwa yang diperlakukan seperti itu. Yang lain juga sama. Malah ada yang nyangka dia mau jualan ketika sekarung keripik kentang dimasukkan dalam plastik kecil-kecil sebagai pelengkap hidangan walimah. Padahal temen kami yang lain--yang sekarang tinggal di ujung gang terjauh--sempet berlama-lama ngomongin tentang hari ini di kamar tertutup. Dan yang lain lagi, yang tinggal ratusan kilometer jauhnya dari kami, malah dikirimi undangan dan SMS yang meminta kehadiran mereka.
Ketika gwa komentar kalo tindakannya itu wagu, alasannya adalah karena gak mau bikin ribut. Padahal standarnya orang yang akan menikah adalah menyampaikan kabar baik ke seluruh kerabat dan kenalan untuk jadi saksi ketika janji terucap. Itu bukan keributan. Kita juga gak akan ribut, kok. Malah mbantu sebisanya, karena kami tau pernikahan ini lain dari yang biasa. Dan gwa tau mana yang basa-basi dan mana yang nutup-nutupin. Gelagatnya selama ini adalah yang terakhir.
Banyaknya perbedaan yang kami miliki gak mengubah persahabatan. Menurut gwa. Friksi adalah bumbu dalam hubungan antar-manusia yang beda karakter dan latar belakang dan sebagainya, sekeras apapun benturannya. Sedrastis apapun dia berubah, dia tetep temen gwa yang gwa kenal lumayan deket selama beberapa tahun terakhir ini. Apalagi kalo kita tinggal serumah. Beberapa teman yang lain menganggapnya gak ada niat ngundang dengan sikapnya yang seperti itu. Apa karena ritual kamu beda dengan yang umum, Mbak? Padahal kami mau datang sesuai aturan main. Asal kamu juga mengundang kami sesuai aturan main.
Keinginan kondangan hilang merunut kejadian seminggu ini: gwa ga dianggap teman, ga dianggap orang yang pantes diundang, karena tawaran itu gak pernah eksplisit terucap dari mulutnya. Gak sama seperti ketika dia ngomong tentang beberapa temen gwa yang mirip penghuni Pasar Kembang hanya karena pake tank top yang bertujuan mencari isis di area kos yang tanpa mata lelaki sama sekali.
Sayang, sefasih apapun kamu merasa mengenal Tuhan dan aturanNya, kamu gak punya penghormatan sama sekali terhadap sesama mahlukNya. Padahal Tuhan kita sama. Dan gwa tau Dia Maha Adil dan gak membeda-bedakan kemurahan dan rasa sayangnya ke seluruh ciptaanNya. Atau karena kamu merasa lebih tau segalanya dan kami cuma noktah jadi kamu merasa lebih berhak memiliki Tuhan? Nanti ya, kalo kita ketemu lagi, setelah kamu menyandang nama Nyonya BlaBlaBla, gwa bakal tanya-tanya semuanya. Tunggu aja!
uh konco ra mutu ancen!!! atiku entek pit...udahlah..sayang banget energi kalo cuman bwt ngurusin orang-orang fatalis kayak dia...true believer yg fatalis dan ngapling-ngapling surga seakan-akan surga hanya untuk dia...yoh kono, pek-peken...he he he
ReplyDeleteheheh...
ReplyDeleteorang emang adaada aja ya mbak...