20190111 - Make It Rain

via GIPHY


Seberapa penting sih uang dan benda-benda itu sebenarnya? Here's my little story.

Saya nggak dilahirkan di keluarga yang berpunya. Waktu SD perlu sepatu baru untuk ikut lomba upacara saja, sama Bu Anggi malah dikasih slip gaji Babab. Semua kebutuhan di-breakdown dari gaji Babab yang nggak seberapa dan ujung-ujungnya nggak ada yang tersisa untuk keperluan saya mengharumkan nama sekolah. Kan kampret.

Tapi sebagai anak Indonesia yang keras di(h)ajar (literally!) oleh Bu Anggi untuk bermental baja dan nggak boleh menyerah, gimana caranya ya saya kudu-harus-fardhu 'ain bisa beli sepatu. Kalo nggak, ya sia-sia saya pulang sekolah panas-panasan bau matahari dan nggak jadi tukang bawa preambule yang bisa teriak-teriak sementara orang-orang terdiam mendengarkan saya ngebacot. Yekan~

Terus kamu ngapain, Pit? Ya cari duit dong!

Dan apa yang bisa dilakukan anak cupu kelas 5 SD yang pengetahuannya soal pekerjaan cetek banget, gendut iya, kumel pasti, dijual jadi bintang shitnetron juga nggak laku, digentak dikit aja nangis? Untuk ini, saya harus peluk si Jabrik berjuta kali. 

Namanya Iwan. Dia teman saya sekelas dan anak paling nakal. Sebut saja kenakalan-kenakalan anak SD. Bolos? Tsk. Sepele. Dia pernah mangkir sekolah dua minggu full hanya karena malas bertemu guru-guru yang lidahnya selalu gatal nasihatin. Buku tipis dengan kertas buram bergambar perempuan-perempuan mengangkang dan telanjang saja saya tahu dari dia. Obat? Mau yang mana? Dia punya semua. Dan saat saya kenal dia, itu adalah tahun kedua dia di kelas lima. Rambutnya, mau sepanjang apapun, sepertinya berasal dari planet lain dan punya gravitasi sendiri. Tapi di antara semua teman saya, dia anak paling ramah, paling banyak teman, dan sepertinya paling bahagia karena wajahnya tidak pernah berhenti nyengir. Atau mungkin itu efek koplo yang sering dia tenggak, ya saya nggak tahu juga.

Jadi, beberapa kali saya dan Bu Anggi bertemu Iwan di halte bis Pancasila pada hari-hari berhujan sepulang bepergian. Kaos dan celana pendeknya basah dan lekat di badan, bibirnya hampir biru, namun jabriknya seperti tahan cuaca. Dia akan riang mendekati saya sambil menawarkan payungnya. Iya, dia ngojek payung. Dan akhirnya sejak episode slip gaji Babab itu saya jadi downline-nya Iwan, ikutan ngojek payung. Demi sepatu. Demi bisa teriak-teriak di lapangan dan didengar semua orang. Dan dari situ perkenalan saya dengan kerja dan duit dimulai. Sampai sekarang.

Ada masa-masa saya dengan gampang membeli apapun yang saya mau. Tapi rasanya nggak pernah sehebat dan semenyenangkan waktu saya beli sepatu hasil ngojek payung dulu. Padahal itu episode cari duit saya yang paling kacrut. Hasil nggak seberapa, beberapa kali digerayang mahasiswa kampret tampang otaku, dan "obat" anti-pilek saya waktu itu adalah sumringahnya Bu Anggi waktu saya bawakan mie ayam panas sebagai setoran, saya beli di mamang gerobak yang mangkal di ujung gang. Oh, beliau nggak minta. Saya aja yang pengen bawain. Uang hasil ngojek saya yang pegang semua. Waktu sudah terkumpul seharga sepatu, Bu Anggi yang mengantar ke toko. Saya yang berjalan sendiri ke kasir dengan dagu terangkat. Iya, saya bangga. Meskipun nggak sebangga Tante senang Tante bayar gitu deh.

Sampai sekarang, sebangkotan ini, saya masih susah juga cari duit meskipun ngabisinnya nggak berasa. Saya nggak mau ngabis-ngabisin resource dan memproduksi lebih banyak sampah. Nggak mau merasa melekat dengan benda. Apalagi minimal sampai dua tahun ke depan saya tinggal di lokasi rawan gempa padahal nggak ada gunung di radius puluhan kilometer. Jadi, kalau kenapa-kenapa (amit-amit jabang bayi sih ya~ *ketok meja ratusan kali*), sebisa mungkin saya kudu bisa evakuasi hanya dengan satu daypack yang isinya seluruh "hidup" saya.

Tapi ya bangsat sih, nahan-nahan nggak jadi konsumtif jaman sekarang mah. Godaan free ongkir atau cashback dari marketplace perwujudan dajal kapitalisme merayu-rayu seperti bencong di taman kota. Super-ultra-extra kampret. Bahkan untuk saya yang tinggal di tengah hutan, yang tadinya merasa bisa nabung karena nggak ada apapun yang saya pengen dan bisa saya beli. Bisa mendadak di inbox email ada tawaran endeswai endesbrai, atau teman yang punya pemanggangan kopi mendadak ada promo dua ratus rebu dapet tiga pouch (I'm looking at you, Rahayu Roastery! Looking at you dengan tatapan manja~).

Sekarang saya cuma pengen satu hal sih. Kalau saya tua nanti saya pengen bisa kayak penguin unyu di atas itu, nyawer dedek-dedek brondong sikspek dengan kulit berkilat-kilat dan pake boxer doang dengan duit yang banyak.



Comments

  1. Kirain nyawer duitnya a la Bu Dendy..

    ReplyDelete
  2. KYAAAAA! DIKOMENGIN GAGANG PINTU WARNA KUNING!!!
    😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women