20190105 - Perempuan Pemilik Jantung
Credit to the artist. I don't own the copyright. |
“Hey. Kau tahu bagaimana memerangkap rindu dan membuatnya jadi lagu?”
Perempuan bertanya pada Lelaki yang duduk terpekur di meja makan. Yang ditanya hanya diam dengan kepala tertunduk dan tangan terlipat di pangkuan. Yang bertanya, dengan jemari memegang jarum berekor benang dan bergerak lembut teratur seperti sedang menari, masih saja mengerjakan kruistik yang tak kunjung selesai sejak sebulan lalu. Matanya tak lepas menatap sehelai kain serupa jaring dengan banyak sekali kumpulan X warna-warni, membentuk rumah, membentuk rerumputan, membentuk gemawan, dan hampir membentuk kanak-kanak berayun di antara dua pokok pepohonan bertajuk rimbun menghijau.
Untuk beberapa saat udara dibuat pekak oleh keheningan paripurna. Perempuan menengadahkan kepala.
“Kau itu… Kenapa sih, tak pernah menjawab setiap aku bertanya?”
Air mukanya menyimpan sebal yang menggumpal. Hanya sesaat, untuk kemudian berganti dengan tatapan sayang ke Lelaki yang duduk di seberang.
"Aku sedih tak kau anggap. Aku rindu kau yang dulu, yang sering menungguku pulang di balik pintu. Aku rindu kau yang rela menyisihkan sedikit demi sedikit uangmu hanya untuk menghadiahiku gincu. Aku rindu kau yang kerap mencuri cium dari pipiku. Sungguh, aku sangat rindu kau yang dulu.”
Perempuan beranjak bangun. Kruistik dilipat rapi dan diletakkan pada meja bertaplak dekil penuh noda kecoklatan yang sebelumnya memerah darah. Dengan ujung bibir sedikit naik menyimpan senyum, ia berjalan perlahan ke arah Lelaki yang masih membeku. Tangannya mengelus kepala Lelaki yang rambut ikalnya lengket dan lekat. Wajahnya didekatkan ke wajah Lelaki yang masih bergeming.
“Dan aku benci pacarmu yang telah mengangkangi jantungmu yang seharusnya untukku. Untung saja sekarang semuanya utuh untukku…”
Perempuana mengalihkan pandangan ke onggokan yang sepertinya sumber semua noda di taplak meja. Diambilnya benda merah tua dan agak berlendir itu, menerobos kerumunan lalat yang berdengung dan berpesta di atasnya, dirabanya dengan seluruh rasa, dan dikecupnya mesra.
Dari balik jendela, cuaca sore itu cerah sekali dengan senja yang mengancam dengan kelamnya malam dan gelapnya benak manusia.
Untuk beberapa saat udara dibuat pekak oleh keheningan paripurna. Perempuan menengadahkan kepala.
“Kau itu… Kenapa sih, tak pernah menjawab setiap aku bertanya?”
Air mukanya menyimpan sebal yang menggumpal. Hanya sesaat, untuk kemudian berganti dengan tatapan sayang ke Lelaki yang duduk di seberang.
"Aku sedih tak kau anggap. Aku rindu kau yang dulu, yang sering menungguku pulang di balik pintu. Aku rindu kau yang rela menyisihkan sedikit demi sedikit uangmu hanya untuk menghadiahiku gincu. Aku rindu kau yang kerap mencuri cium dari pipiku. Sungguh, aku sangat rindu kau yang dulu.”
Perempuan beranjak bangun. Kruistik dilipat rapi dan diletakkan pada meja bertaplak dekil penuh noda kecoklatan yang sebelumnya memerah darah. Dengan ujung bibir sedikit naik menyimpan senyum, ia berjalan perlahan ke arah Lelaki yang masih membeku. Tangannya mengelus kepala Lelaki yang rambut ikalnya lengket dan lekat. Wajahnya didekatkan ke wajah Lelaki yang masih bergeming.
“Dan aku benci pacarmu yang telah mengangkangi jantungmu yang seharusnya untukku. Untung saja sekarang semuanya utuh untukku…”
Perempuana mengalihkan pandangan ke onggokan yang sepertinya sumber semua noda di taplak meja. Diambilnya benda merah tua dan agak berlendir itu, menerobos kerumunan lalat yang berdengung dan berpesta di atasnya, dirabanya dengan seluruh rasa, dan dikecupnya mesra.
Dari balik jendela, cuaca sore itu cerah sekali dengan senja yang mengancam dengan kelamnya malam dan gelapnya benak manusia.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?