Relativity, Anyone?

Kemarin saya terkapar tak berdaya di kamar kos, sejenak setelah membuka mata, pagi pukul delapan. Kepala rasanya seperti dihantam kontainer tiga biji sarat berisi muatan, lengkap dengan supir dan keneknya. Untuk mencetin keypad di ponsel dan mengabarkan saya absen saja rasanya susah sekali. Kelemahan saya memang di kepala dan perut. Antara sakit kepala dan mules, meskipun tampang berusaha dibuat sangar dan galak.

Hampir setahun yang lalu rekan seperburuhan saya yang cantik, manis, dan kalem pulang dari perawatan di Belanda. Dia bercerita tentang biopsi, ketika jarum diameter lima sentimeter menusuk tulang ekor tanpa anestesi. Sakitnya tidak tertahankan. Dan karena trauma hebat setelahnya, dia baru bisa bercerita beberapa bulan kemudian. Saya hanya terhentak tanpa bisa berkata apapun di hadapan perempuan dengan airmata leleh, di suatu sore.

Kami berdua punya ambang sakit berbeda. Baginya, mungkin biasa untuk merasakan sakit kepala berkepanjangan dan mimisan tak berkesudahan. Hampir tiap hari dia mengalaminya. Namun tidak bagi saya yang merasa sekuat banteng dengan waktu tidur tak beraturan berbahan bakar kopi kental hingga lima gelas tiap hari dan rokok berpuluh-puluh batang.

Pernah pada suatu kali saya mendapati hidup saya dan hidup seorang lajang lelaki usia tiga puluh tiga mendadak beririsan. Saya hanya bengong mendapatinya mengurus rumah, mencuci pakaian, membersihkan kotoran ketiga anjing-anjingnya, bermain dengan mereka, dan masih sempat ngobrol dengan nada riang. Padahal sudah dua hari ia melek tanpa tidur. Semua dilakukan sepulang bekerja, tanpa duduk dan tanpa sempat menghela napas. Enteng, dia berkata "Welcome to my world." Tanpa beban. Begitu saja.

Lalu saya tersasar di negara bernama Indonesia, mendapati suatu hari beberapa orang terpilih untuk memerintah, mewakili suara rakyat--katanya. Dan gaji mereka berpuluh-puluh juta, jauh melesat melebihi pendapatan seorang pemulung dengan pendapatan kurang dari sembilan ribu rupiah per hari. Saya marah-marah karena empati mendefisit di suatu tempat dengan hiasan megah serupa rumah keong terbelah. Sementara teman saya datar menanggapi: "If you were in their shoes, are you sure you won't do the same like they do?"

Saya terdiam. Mungkin hanya karena kesempatan yang tidak sampai ke muka saya maka saya tidak bisa berbuat seperti mereka. Kekuasaan dan harta adalah dua godaan yang kadang tidak tertahankan bagi manusia-manusia lemah seperti saya. Untung Gie mati muda. Jika tidak, maka ia akan sama dihujat sebagaimana rekan seperjuangannya yang beberapa tahun kemudian menjadi birokrat.

Semua memang relatif, karena sifat, latarbelakang, dan masing-masing pengalaman orang berbeda-beda. Saya juga belum tentu ingat akan orang-orang yang saya wakili jika saya berada dalam posisi mereka, menangguk uang berpuluh-puluh juta dengan tidur seharian mendengarkan orang berbusa-busa.

Tapi ya sudah lah. Toh saya tetap alive and kicking. Ergh. Saya mengantuk. Selamat malam semua. Semoga akhir pekan ini menyenangkan...

Comments

  1. info tentang sakit kepala kat sini - Migrain - Separuh Kepala.

    Update terkini isu-isu semasa kesihatan ada di infokesihatan@twitter.

    ReplyDelete
  2. Yah mungkin kita sering merusak kebahagiaan orang lain karena berusaha membahagiakannya dengan standard kebahagiaan kita. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?