Tentang Pasrah

Malam tadi saya dinner lagi bareng lelaki kurus berwajah tirus, orang yang sama dengan siapa saya berbagi malam takbiran. Sehabis libur Lebaran baru malam itu kami bertemu. Mendadak, setelah kami bertukar celaan (penanda keakraban yang aneh bagi orang-orang di sekeliling saya), ia mengajak saya makan sate padang.

Bukannya tanpa persiapan saya menuruti ajakannya. Dia adalah salah satu dari dua orang ‘berbahaya’. Makan atau nongkrong berdua saja bareng lelaki-lelaki usia tiga puluh tiga yang saya kenal dalam satu komunitas ini sebenarnya hanya ‘same shit different day’. Sebagai ‘adik’ mereka—saya yang mengaku-ngaku sementara mereka melepéh-lepéh—saya hanya akan ‘digampari’ dengan berbagai cerita sehari-hari yang sepertinya dipetik dari udara namun kental makna. Padahal saya sedang menunggu gamparan orang ’berbahaya’ satu lagi yang tak kunjung datang.

Sesudah beberapa kunyahan, awalnya adalah batik yang saya protes keberadaannya secara serempak dalam satu hari. Hanya untuk satu nasionalisme semu (padahal masih kalap terhadap diskon Zara dan Louis Vitton) maka orang bangga berbatik, beragam corak dan model. Dengan suara datar, ia mengatakan tanggal 2 Oktober kemarin adalah eforia kemenangan setelah—lagi-lagi—kami dicolong Malaysia. Mungkin jika orang-orang sini tidak memprotes negara tetangga yang mencaplok batik sebagai salah satu hasil budaya mereka, UNESCO tidak akan mengakui batik sebagai ‘made in Indonesia’. Yang tidak saya katakan keras-keras adalah kesimpulan bahwa keseragaman berbatik adalah salah satu bentuk persatuan atas kebanggaan. Dan ia setuju tentang esensi: rasa kebersamaan. Sama halnya dengan para pekerja kerah biru Jakarta bersatu dalam kedukaan ketika gedung perkantoran mereka terimbas ledakan bom Kuningan bab 2.

Lalu ia menyoal kepasrahan melepas apa yang dia miliki meskipun hanya dua minggu. Saya agak terkejut karena setau saya lelaki di depan saya itu adalah orang dengan perhitungan matang. Dia membongkar pemahaman saya tentang pasrah yang berarti berhenti berusaha ketika semua cara menubruk dinding; bahwa pasrah adalah kata sifat dan bukan kata kerja; bahwa pasrah adalah tidak berbuat apa-apa; dimana seluruh daya dan upaya terperas hingga tinggal tersisa tai kemudian lungkrah dan akhirnya luluh seluruh.

Rasanya dia sedang menampar saya ketika ia mengingatkan ada satu faktor yang tidak terduga, yaitu keajaiban. Bagi saya tidak ada satu pun yang tidak saya dapatkan tanpa berusaha dan bekerja, bahkan keajaiban sekalipun. Saya harus mengerahkan semua tenaga dan kemampuan saya untuk akhirnya mendapatkan keajaiban. Saya, yang merasa banyak orang bergantung pada keberadaan saya di pabrik dan di rumah; sebagai kakak, anak dan buruh; sebagai pendengar dan pencela; sebagai pembantai dan bahu untuk bersandar; sebagai apapun yang diperlukan orang lain. Namun ia mengingatkan saya untuk berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam kemudian membiarkan semua berjalan dengan sendirinya: menikmati kekosongan (yang berbunyi sangat nyaring beberapa hari belakangan).

Ia kembali mengingatkan saya untuk berpikir dengan hati.

Sangat sulit bagi saya sekarang untuk berlaku seperti itu. Sepanjang hidup, ada banyak hal yang terjadi dan saya simpan sebagai data statistik. Karena itu saya sering sok tau. Namun saat saya jumawa dan bersikeras membuktikan bahwa apa yang mereka stempel di jidat saya adalah salah, pada akhirnya saya tidak mendapatkan apa-apa kecuali beberapa mulut terbungkam dan dendam menghebat.

Sore sebelumnya seorang perempuan periang bertanya mengapa saya belum menulis juga. Mendadak pertanyaan itu mengemuka ketika saya sedang ‘dibantai’. Saya pikir saya sedang menikmati pasrah menjalankan hidup tanpa harus mendokumentasikannya ke dalam bentuk teks tak berarti seperti ini. Ternyata saya kelelahan. Saya capek berpikir dan penat bekerja. Beberapa tenggat teronggok tak tersentuh ketika seharusnya selesai beberapa waktu silam. Padahal ini demi hajat hidup orang banyak.

“Pasrah itu, Pit, adalah kondisi dimana kamu tidak takut dan tidak berani; adalah vertikal dan bukan horisontal; adalah menerima hidup tanpa penyangkalan. Bisakah kamu seperti itu?” tanyanya retoris.

Samar saya mengingat sore gerimis di bawah atap sebuah toko dengan titik hujan yang saya pandangi dari balik asap nikotin. Saat itu, setelah beberapa lokasi kos saya sambangi, saya berharap ada keajaiban untuk seekor anjing berbagi hidup bersama manusia tanpa dibatasi doktrin agama…


ps: Gambar di atas adalah dogtag milik Sasa semasa bayi, diberikan sang ayah karena komitmen yang saya buat sendiri. Saya membuatnya menjadi kalung sebagai pengingat bahwa keajaiban tidak akan berhenti sampai disini (=

Comments

  1. gw naksir kalungnya...

    ReplyDelete
  2. pit gw juga minta kalungnya yah

    *melu melu*

    ReplyDelete
  3. kalo cewenya yang pasrah, berarti memang cowoknya yang harus lebih agresif..

    *belom baca*

    ReplyDelete
  4. setuju ama budi chuby, jadi cowok itu harus agresif kalo ceweknya pasrah... *ora moco langsung komen*

    ReplyDelete
  5. Mbak Stey:
    you know the rule kan? (=

    Maz Didut:
    halah!

    OmBud:
    ati-ati kalo komeng. ntar patahati lagiii

    OmBudGendud:
    pengalaman pribadi tur ditolak?

    ReplyDelete
  6. Kenapa membaca 'pasrah' mengingatkan saya sama JAV, disanalah implementasi kepasrahan sebagai kata sifat :D

    But then, maybe we all need a moment to let it all go.

    ReplyDelete
  7. Eru:
    ah, dasyar kamyu terlalu hentai! =P

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women