Membunuh Murai, Anyone? (Pt. 2)

Ya, ya, ya. Saya lagi sentimentol. Membacanya seperti membawa saya kembali rebah hingga lelap di kursi kayu panjang bawah pohon beringin Soekarno (entah kenapa dinamakan begitu), sendiri, tengah hari, depan kantor BAAK, di belakang perpus kampus yang--menurut saya--paling teduh dan nyaman se-Negara Jogja Raya: UCLA. University of Catholic Lor-é Atmajaya. Iya, saya ngaku. Dulu saya pernah sekolah dan--dengan bangga--Dancing Out ketika harus memilih antara survive dalam hidup atau ngotot dikurung dalam empat sekat beratap rapat (tapi berjendela banyak) diantara saya dan pepohonan di luar.

Ya, ya, ya, saya kangen. Pada bapak-bapak pembawa wedhang yang rambutnya putih semua itu. Pak Parkir yang selalu ngotot mengira saya orang Batak. Mereka yang selalu ngumpul di Pantry tiap saya minta air pengisi gendul (dan dengan ramah menawarkan kopi dan penganan apapun yang ada di hadapan). Pak Pri penjual bakso di kantin yang mengira saya pecandu narkoba. Funky Miss Kat Pethan the Californian yang memuji tindikan saya di dagu. Bu Eny yang lembut, modest berkacamata namun besuara mantap. Mbak Lis laboran SAC dan simas wagu lan kemlinthi. The Twin Niks di Pengajaran yang selalu mendengus sebal tiap melihat saya merokok di pinggir lorong depan kelas. Gazebo belakang kamar mandi Sastra dan talok-talok merah nan menggoda, tempat saya bertapa atau sekedar tidur. Aro putranya Bu Luluk (yang ternyata keponakannya mandor saya di pabrik topeng sini) yang nakal tapi nggemesin. Bu Elisa bermata sendu dan bersuara selembut bantal bulu angsa. Mr. Gabriel the Lizard yang selalu membasahi bibir per kalimat Javling yang meluncur dari mulutnya. The Sweet and Patient Sister Claire bersepeda mini, helm, blus dan celana panjang serta rosario kayu menggantung di leher; Almarhum Pak Ar yang tiap Selasa pintu kantornya terbuka lebar untuk siapapun berkonsultasi apapun; Bu Dewi yang selalu berkeringat di depan kelas namun berasosiasi dengan A Street Car Named Desire (dan dari situ saya mengingatnya sebagai Stella tiap saya mendengar Sweatshop). The Sexy Novita "do-you-mind-to-move-over-darling" Dewi yang gelarnya lebih panjang dari namanya. Pak Sarwoto dan the Tyrannosaurus Sis yang could-you-do-something-to-that-Javling-accent-of-yours-since-you've-been-so-fuckin'-frequently-abroad-for-Christ's-sake. Pak Tatang sok ganteng dan gagal jadi Pi Ar. Jose the White Monkey: A senior turned Structure III teacher yang membolehkan saya membolos asalkan pamit. Mbak Rani pemenang Asia Bagus '96 yang honor nyanyinya selalu abis buat beli beha. Ngurah si Bali Ganteng (who kissed my forehead one afternoon for the sake of impulsive urge when I lied on my back on the grass reading--and shocked afterward. Huahahaha!!!). Ika "Krisdayanti Hamil" yang pernah diisukan jadi pasangan lesbian saya. Dan lain-lain, dan sebagainya.

Damn, it hurts. And yes, ad maiorem dei gloriam was the first Latin phrase that stuck in my head up to now. Blah!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women