About Sexuality

Teman perempuan saya punya phobia terhadap penis. Bentuknya menyeramkan, katanya. Bikin ngilu. Visualisasinya mengenai penembusan hymen adalah teror tiada akhir teriring sakit seperti disilet karena 'barang' seperti itu harus menerabas liangnya yang imut. Saya nggak tau penjabarannya tentang silet itu setelah dia sering mendengar Genjer-genjer yang sering saya setel di pabrik atau bukan. Saya hanya ketawa dan mengingatkan bahwa dari liang imut itulah lima anaknya nanti--ini adalah doa berkedok kutukan--akan lahir dengan diameter kepala sepuluh senti. Saya juga mencuci otaknya tentang bagaimana lelaki dan perempuan bersenggama melalui anime dan manga berkategori ecchi (Futari Ecchi rawks!). Dan menurut saya penyatuan dua tubuh menjadi satu jiwa melalui persebadanan yang didasari cinta adalah hal terindah dan paling alami. Entah itu lelaki-perempuan, lelaki-lelaki, maupun perempuan-perempuan (dan saya paling nggak terima dibilang indah jika yang berpasangan adalah perempuan-kuda/anjing, perempuan-bonggol jagung/wortel/terong/vibrator, maupun lelaki-tangannya sendiri).

Buat saya pribadi seksualitas bukan masalah tabu. Dan usaha saya mengkampanyekan hal ini malah sering jadi bumerang. Rekan mburuh saya selalu bilang saya saru, bahwa otak saya nggak jauh dari selangkangan, dan saya sering dicap binal dan jalang. Persetan. Menurut ibu saya pendidikan seks harus diajarkan dari kecil biar anak-anak nggak salah langkah ketika mereka remaja. Dan dari tiga orang perempuan, saya satu-satunya 'duta' dari kompleks perumahan saya yang pulang dari Jogja tidak dalam keadaan hamil diluar nikah. Padahal kedua teman saya itu termasuk anak baik-baik dan lurus dan saya yang paling sering dicibir tetangga karena sering nongkrong bareng teman-teman lelaki hingga hampir dinihari.

Saya selalu percaya responsible freedom of speech, karena itu blog ini ada. Dan yang harus dilenyapkan bukanlah mbak-mbak pemakai tanktop yang pamer kaki jenjang, tapi prasangka dan pikiran jorok. Shoot the message, not the messenger. Mbak-mbak juga nggak bisa menyalahkan para mas-mas yang tatapannya lapar menelanjangi ujung rambut hingga ujung kaki jika kalian berkeliaran di pasar atau terminal hanya dengan singlet ketat dan celana super mini. You carry out the message that the bare flesh is free for everybody to look at.

Namun, sejalang-jalangnya saya, saya risih melihat lelaki-perempuan berangkulan rapat di terminal Blok M sambil menunggu bis, karena bagi saya hal seperti itu terlalu pribadi untuk diumbar. Rasanya seperti mengambil hak orang untuk berprivasi. Mungkin lain halnya jika saya tinggal di luar negeri dimana tidak ada norma agama namun kemanusiaan dan etika entah kenapa tinggi sekali. Tragis.

Yah, sudahlah. Ini cuma ketikan iseng saya menanti kantuk yang tak kunjung datang pada Minggu pagi hari ke dua puluh empat pukul tujuh lewat lima. Shit!


ps. hey, kamu yang cacat jongkok! sekarang kamu tau kan kenapa saya ancur?

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?