The Iron Hearted Mid Maiden

Saya ngga bisa bergaul akrab dengan orang kaya, sebaik apapun mereka. Padahal saya percaya manusia adalah sama. Nggak, saya nggak benci mereka. Meskipun jumlah jari di sebelah tangan nggak genap mewakili teman-teman saya yang berpunya, mereka dekat dengan saya. Karena merekalah--setelah bertahun-tahun memendam murka pada yang hidup berkelimpahan--akhirnya saya sadar bahwa garis mereka yang mengharuskan seperti itu sementara yang lain miskin. As simple as that, yet, as hard to understand.

Memang saya serba nanggung. Untuk disebut miskin, saya cukup sandang-pangan-papan (dan tembakau). Malah sekali-sekali bisa belanja lebih dari yang saya butuhkan. Atau nongkrong di kafe sambil bengong meskipun saya lebih suka jadi amateur self-bariste di kos, menyeduh kopi jagung yang dibawanya untuk menemani malam yang sering tanpa tidur. Saya juga sering dolan ke mall berburu diskonan sepatu atau kutang bermerek, dua hal dari dunia kapitalis yang celakanya nggak bisa saya lepaskan. Namun dibilang kaya ya nggak juga, wong hampir dua atau tiga bulan sekali biasanya kas bon sama pabrik topeng cuma untuk menyambung nyawa hingga upah saya keluar seminggu kemudian. Hari Raya Kurban juga rumah saya masih dikasih jatah daging dan sering kena banjir. Idul Fitri ibu masih dapet bingkisan mi instan, beras, teh dan gula. Tabungan sama sekali nggak punya, apalagi deposito. Uang saya pun tingginya nggak meteran.

Mungkin kotak saya bukan di miskin-kaya. Saya sepertinya terklasifikasi dalam kategori beruntung: sesuatu yang nggak bisa diusahakan, datang sendiri, entah dengan bantuan Tuhan atau setan.

Tapi berteman dengan orang kaya adalah sisi lain dari keberuntungan. Sedekat apapun, sehebat apapun mereka minta bantuan saya dan sepayah apapun saya all out buat mereka, saya seperti selalu menabrak tembok tebal virtual. Ada batas antara saya dan mereka meski kami sekuat tenaga berusaha memahami satu sama lain. Mungkinkah deep down inside saya sebenarnya iri nggak bisa jalan-jalan ke luar negeri sepenak udele kayak mereka? Atau mental kere saya yang menolak disetarakan dengan jam tangan Fossil dan syal Burberry? Atau... sebenarnya saya hanya sombong dengan kemiskinan saya karena miskin identik dengan heroik?

Kos saya yang sangat dekat dengan PIM membuat saya bebas mengamati gaya mereka yang saya curiga halaman belakangnya ditumbuhi pohon berdaun uang kertas seratus ribu. Om, tante dan adek-adek abegeh wangi-wangi lalu-lalang dengan dagu terangkat, mantap berada di kerajaan mereka yang terang, mengkilap, indah. Di luar hujan berbadai dan anak-anak belasan menggigil di bawah payung demi beberapa uang ribuan yang beralih-tangan setelah mereka melindungi para tante yang takut sasakan rambutnya kebasahan dari mobil ke pintu mall. Pemandangan biasa. Sama biasanya dengan wajah datar para pekerja kerah putih yang sepasang telinganya tersumpal headset yang tersambung ke ponsel/MP3 player teranyar dan melintas di depan ibu-ibu lusuh yang tangannya menadah dan dada cekingnya dihisap bayi kurus-dekil di jembatan busway Sarinah di suatu malam. Biasa. Wajar. Anak-anak itu memang kerjanya jadi ojek payung dan ibu-berbayi itu sudah berbulan-bulan "ngepos" di situ. Dan di Jancukkarta ini jumlah mereka sak ndayak.

Ah, saya baru ngeh jika tembok antara saya dan 'teman kaya' sesungguhnya adalah perasaan senasib. Nasib saya tidak sama dengan mereka. Berdekat-dekat dengan mereka seperti penghianatan terhadap saudara seperkerean. Dan batas nyata antara saya dan para kere itu adalah saya masih belum bisa terguncang dari zona aman dan nyaman dimana kere adalah wacana.

Dan seperti biasa, saya selalu berada di tengah...

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women