The Tired Lover
Hi, Nduk!
Sedang apa? Sebentar. Biar kutebak. Kopi kental dan panas, rokok, serta Acoustic Alchemy di depan Si Dino. Ah, iya. Biasanya settingan kayak gitu itu di atas jam satu. Belum mengantuk atau terbangun tengah malam.
Seperti aku.
Sebulan ini aku lelah sekali. Dengan pekerjaan. Dengan kehidupan bersosialisasi. Dengan cinta. Lima huruf yang mengejewantah menjadi bangsat ketika tidak berbalas. Sebagaimana yang kubaca di Al Ghazali bahwa awalnya cinta akan membakar kemudian membunuh. Pernahkah kamu berpikir, Nduk, betapa romantisnya terbunuh cinta? Sayangnya kamu bukan mahluk romantis meski pernah mencoba mendengar Kerispatih dan Glenn.
Aku sedang mengasah pedang untuk kutusukkan sendiri pelan-pelan ke dada. Aku mengusahakan cinta yang tidak mungkin kudapat. Aku mengerti perbedaan 'kasta' kami. Dia amat sangat cerdas sementara aku kebalikannya. Dia amat sangat independen sementara aku bergantung pada keluarga, sahabat, tetangga, tukang bubur ayam yang setiap setengah tujuh lewat di depan rumah. Aku terbuka sementara bentengnya setinggi dan setebal sekolah Hogwarts.
Aku nggak bisa seperti kamu, Nduk, yang memendam cinta sendirian dan merasa cukup ketika dia hanya berbagi kecewa dan derita bersamamu. Aku ingin memberi dan diberi utuh seluruh, bulat-bulat. Aku ingin memiliki tawa renyahnya, binar di sepasang kejoranya, senyum hangatnya, sumpah serapahnya... dan ekspresi wajah ketika dia meregang nikmat bersamaku. Berdua. Hanya aku dan dia. Egoiskah?
Sudahlah, Nduk. Mungkin aku harus ganti target operasi sepertimu yang mudah sekali mencari jiwa untuk disayangi. Mungkin tarafku hanya sampai mengangankan dia dan aku berdua di dalam sebuah rumah mungil yang jadi dunia kami sendiri. Hingga kerutan di wajah kami membanyak dan osteoporosis mengancam kami jadi bungkuk. Tidak. Aku tidak bicara tentang pernikahan. Aku juga nggak percaya hal itu. Tapi aku percaya aku tetap perlu seseorang di sampingku dan menghabiskan waktu bersama hingga kami beranjak tua. Dan orang itu adalah dia: Perempuan penyimpan api yang kupuja setengah mampus dan hanya bisa kupandangi dari jauh. Seperti kamu. Sayang... kamu masih di bawah umur. Kalau saja kamu seusiaku, kuperkosa kamu dan kujadikan monumen kemenangan atas namanya. Mungkin nanti aku bisa takluk di bawah kakimu. Hehehe.
ps. hey, lagumu asyik juga. Aku mendengarkan Cryin' hingga menangis. Shit!
Sedang apa? Sebentar. Biar kutebak. Kopi kental dan panas, rokok, serta Acoustic Alchemy di depan Si Dino. Ah, iya. Biasanya settingan kayak gitu itu di atas jam satu. Belum mengantuk atau terbangun tengah malam.
Seperti aku.
Sebulan ini aku lelah sekali. Dengan pekerjaan. Dengan kehidupan bersosialisasi. Dengan cinta. Lima huruf yang mengejewantah menjadi bangsat ketika tidak berbalas. Sebagaimana yang kubaca di Al Ghazali bahwa awalnya cinta akan membakar kemudian membunuh. Pernahkah kamu berpikir, Nduk, betapa romantisnya terbunuh cinta? Sayangnya kamu bukan mahluk romantis meski pernah mencoba mendengar Kerispatih dan Glenn.
Aku sedang mengasah pedang untuk kutusukkan sendiri pelan-pelan ke dada. Aku mengusahakan cinta yang tidak mungkin kudapat. Aku mengerti perbedaan 'kasta' kami. Dia amat sangat cerdas sementara aku kebalikannya. Dia amat sangat independen sementara aku bergantung pada keluarga, sahabat, tetangga, tukang bubur ayam yang setiap setengah tujuh lewat di depan rumah. Aku terbuka sementara bentengnya setinggi dan setebal sekolah Hogwarts.
Aku nggak bisa seperti kamu, Nduk, yang memendam cinta sendirian dan merasa cukup ketika dia hanya berbagi kecewa dan derita bersamamu. Aku ingin memberi dan diberi utuh seluruh, bulat-bulat. Aku ingin memiliki tawa renyahnya, binar di sepasang kejoranya, senyum hangatnya, sumpah serapahnya... dan ekspresi wajah ketika dia meregang nikmat bersamaku. Berdua. Hanya aku dan dia. Egoiskah?
Sudahlah, Nduk. Mungkin aku harus ganti target operasi sepertimu yang mudah sekali mencari jiwa untuk disayangi. Mungkin tarafku hanya sampai mengangankan dia dan aku berdua di dalam sebuah rumah mungil yang jadi dunia kami sendiri. Hingga kerutan di wajah kami membanyak dan osteoporosis mengancam kami jadi bungkuk. Tidak. Aku tidak bicara tentang pernikahan. Aku juga nggak percaya hal itu. Tapi aku percaya aku tetap perlu seseorang di sampingku dan menghabiskan waktu bersama hingga kami beranjak tua. Dan orang itu adalah dia: Perempuan penyimpan api yang kupuja setengah mampus dan hanya bisa kupandangi dari jauh. Seperti kamu. Sayang... kamu masih di bawah umur. Kalau saja kamu seusiaku, kuperkosa kamu dan kujadikan monumen kemenangan atas namanya. Mungkin nanti aku bisa takluk di bawah kakimu. Hehehe.
ps. hey, lagumu asyik juga. Aku mendengarkan Cryin' hingga menangis. Shit!
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?