Carpe Diem, Baby!
Pernah bertanya betapa kontradiktifnya jadi manusia? Saya pernah jadi pembenci diri sendiri karena merasa plin-plan dan nggak bisa berprinsip. Buat saya, apapun yang saya percaya untuk kemudian saya pegang teguh sebagai nilai adalah harga mati. Tapi seringnya saya harus jilat ludah sendiri karena belok dari konsistensi. Saat itu saya harus seperti itu. Dan saya benci itu.
Kemudian, sebangun sebentuk dengan peribahasa 'alah bisa karena biasa', maka saya mulai terbiasa jadi nggak konsisten di saat-saat tertentu. Demi kemaslahatan bersama, atau setidaknya demi menjaga agar saya tetap (terlihat) waras. Saya harus kompromi, misalnya saja untuk nggak ngotot mempertahankan pendapat saya di depan mandor pabrik tentang para mahluk tak kasat mata. Tante cantik itu baru selesai telepon keponakannya yang tiba-tiba tertimpa kutukan bisa 'melihat' mereka. 'Kalo kamu tenang, percaya Tuhan, bebacaan rosario dan Novena, pasti mereka pergi. Nggak usah takut,' saran tante mandor. Menurut saya, tai sapi sekali advis seperti itu. Ketakutan dan kaget adalah campuran bagus penghasil histeria sempurna penghilang kontrol pikiran dan logika. ABG manja kaya doyan dugem dan nggak pernah susah dan doyan belanja di mall ngabisin duit pacarnya? What do you expect?!
Baru kemarin saya jadi tong sampah via text message ponsel untuk mbak-mbak berjilbab lebar yang merasa bosan dengan hidup. Padahal dia aktif berkegiatan. Mulai dari ikut diskusi dan bedah buku, jadi sukarelawan di Animal Rescue, mengurusi para waria dan anak jalanan, ikut bela diri, macam-macam lah. Saya heran, dengan kegiatannya yang sepadat itu, mengapa dia bosan? Ternyata karena menurutnya hidup itu nggak ada apa-apanya selain menunggu mati.
Saya udah nggak sempat heran lagi, tapi AMAT SANGAT HERAN. Kalau pun hidup adalah untuk mati, kenapa nggak nikmatin yang tersaji di depan mata, sepuas-puasnya?! Atau beribadah sekenceng-kencengnya buat bikin kapling di surga. Atau... jalani saja. Go with the flow, enjoy the ride. Sama seperti yang dibilang seorang ateis disini. Kenapa susah?
Saya jadi ingat karya Robert Frost. Satu-satunya poem yang amat saya suka:
Hidup adalah semata menikmati sejenak dingin dan gulita malam bersalju di tengah hutan milik orang lain, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Entah kemana. Urip iku mung mampir ngombe, kata orang Jawa. Man can count on no one but himself; he is alone, abandoned on Earth in the midst of his infinite responsibilities, without help, with no other aim than the one he sets for himself, with no other destiny than the one he forges for himself on this Earth, kata Sartre.
Jika hidup adalah nasi yang sudah menjadi bubur, kenapa nggak bikin bubur ayam yang enak?
Kemudian, sebangun sebentuk dengan peribahasa 'alah bisa karena biasa', maka saya mulai terbiasa jadi nggak konsisten di saat-saat tertentu. Demi kemaslahatan bersama, atau setidaknya demi menjaga agar saya tetap (terlihat) waras. Saya harus kompromi, misalnya saja untuk nggak ngotot mempertahankan pendapat saya di depan mandor pabrik tentang para mahluk tak kasat mata. Tante cantik itu baru selesai telepon keponakannya yang tiba-tiba tertimpa kutukan bisa 'melihat' mereka. 'Kalo kamu tenang, percaya Tuhan, bebacaan rosario dan Novena, pasti mereka pergi. Nggak usah takut,' saran tante mandor. Menurut saya, tai sapi sekali advis seperti itu. Ketakutan dan kaget adalah campuran bagus penghasil histeria sempurna penghilang kontrol pikiran dan logika. ABG manja kaya doyan dugem dan nggak pernah susah dan doyan belanja di mall ngabisin duit pacarnya? What do you expect?!
Baru kemarin saya jadi tong sampah via text message ponsel untuk mbak-mbak berjilbab lebar yang merasa bosan dengan hidup. Padahal dia aktif berkegiatan. Mulai dari ikut diskusi dan bedah buku, jadi sukarelawan di Animal Rescue, mengurusi para waria dan anak jalanan, ikut bela diri, macam-macam lah. Saya heran, dengan kegiatannya yang sepadat itu, mengapa dia bosan? Ternyata karena menurutnya hidup itu nggak ada apa-apanya selain menunggu mati.
Saya udah nggak sempat heran lagi, tapi AMAT SANGAT HERAN. Kalau pun hidup adalah untuk mati, kenapa nggak nikmatin yang tersaji di depan mata, sepuas-puasnya?! Atau beribadah sekenceng-kencengnya buat bikin kapling di surga. Atau... jalani saja. Go with the flow, enjoy the ride. Sama seperti yang dibilang seorang ateis disini. Kenapa susah?
Saya jadi ingat karya Robert Frost. Satu-satunya poem yang amat saya suka:
Stopping by Woods on a Snowy Evening
Whose woods these are I think I know,
His house is in the village though.
He will not see me stopping here,
To watch his woods fill up with snow.
My little horse must think it queer,
To stop without a farmhouse near,
Between the woods and frozen lake,
The darkest evening of the year.
He gives his harness bells a shake,
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep,
Of easy wind and downy flake.
The woods are lovely, dark and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.
Hidup adalah semata menikmati sejenak dingin dan gulita malam bersalju di tengah hutan milik orang lain, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Entah kemana. Urip iku mung mampir ngombe, kata orang Jawa. Man can count on no one but himself; he is alone, abandoned on Earth in the midst of his infinite responsibilities, without help, with no other aim than the one he sets for himself, with no other destiny than the one he forges for himself on this Earth, kata Sartre.
Jika hidup adalah nasi yang sudah menjadi bubur, kenapa nggak bikin bubur ayam yang enak?
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?