Such A Joyful Birthday
Berawal dari pesan berantai di jendela ceting saya sehari sebelumnya yang berisi MATIKAN TIVIMU TANGGAL 15 DESEMBER JAM 3 SORE. Saya bertanya-tanya, ada apakah gerangan duhai penyampai pesan? Ternyata katanya bakal ada film menyambut Natal yang bikinnya pake puasa sebulan segala biar penonton non-Nasrani pada convert saking kuatnya 'backing' mereka. My opinion: TAI SAPI! Jika kamu masih percaya Tuhan dan melakukan ibadah agama sesuai dengan yang kamu imani, maka kamu nggak menunda panggilan sholat hanya karena sinetron atau program yang sedang kamu tonton. Jadi, sebenernya nggak cuma tanggal 15 Desember aja TV (atau yang lebih dikenal dengan 'an animated box that makes you stupid'--in my term) dimatikan, tapi selamanya! Jika mengaku orang beriman dan percaya sama apa yang diimani, kenapa paranoid hanya karena satu tayangan bodoh di televisi yang juga bodoh?! Kenapa sih selalu berprasangka buruk? Nggak sadar apa prasangka itu jadi komoditi yang paling laris dijual?! Sama halnya dengan majalah prasangka yang selalu menuduh agama lain berusaha keras mengajak umat mayoritas pindah agama dengan segala cara. Kamu tau petinggi majalah itu komentar apa ketika teman saya bertanya mengapa selalu membawa 'jihad' pada tiap tulisannya? "Karena itu yang paling layak jual. Iklannya banyak!" Sux! Islam nggak ngajarin itu! Kalian tau bagaimana 'masyarakat Madani' yang mirip Utopia-nya Plato atau siapapun-itu-lah-namanya? Disitu tempat berdiam Muslim, Yahudi, Nasrani, Majusi dan berbagai pemeluk agama gurem lainnya, dengan damai aman sentosa sejahtera tanpa saling tuduh saling sikut. Mbok kayak gitu kenapa sih?! Hiduplah dengan kasih, hilangkan prasangka, give love a chance and make this world a better place *Insert lagu 'Heal the World'-nya Michael Jackson disini*
Setelah pulang pagi sehabis nongkrong mingguan dan belum bisa tidur, saya baca buku yang sekenanya saya saut dari rak. Surat Kepada Tuhan, judulnya. Tulisan-tulisan Sobron Aidit yang mirip diary dan sungguh Opa-opa sekali--tapi getir. Mengapa? Karena salah satunya, di bagian akhir, begini bunyinya:
Lalu setelah capek mengurung diri di kamar sendirian, saya keluar cari udara segar jam sebelas malam. Di Bunderan Senayan saya liat beberapa orang berbaris dua-dua, dalam kelompok-kelompok kecil, berjalan kelelahan. Sebagian besar cepak-cepak. Oh, anak-anak PTIK kurang kerjaan, gumam saya membatin. Tapi hingga jam 5 pagi, ketika saya memutuskan pulang dari Bunderan yang lebih gede lagi, saya baru tau kalo mereka itu peserta gerak jalan Bogor-Jakarta dalam rangka HUT Marinir (atau-apa-lah-namanya-itu). Start dari Bogor? Jam setengah dua siang! My opinion: Ok... not-so TAI SAPI. Simbah-simbah umur 70-an itu mungkin terlalu sepuh atau terlalu bebal dilarang untuk ikut olahraga segini heboh, di bawah rinai yang mengguyur deras hampir tanpa henti sejak tengah malam, berjas hujan biru dan tertatih kadang terduduk di bawah atap shelter busway. Terlihat bodoh, memang. Tapi bertujuan jelas, dengan alasan masing-masing. Entah ngetes kekuatan kaki, kuat malu, kuat terlihat bodoh, atau ngejar hadiah motor. Meskipun hasil akhirnya sama: Pegel-pegel nggak udah-udah. Setelah acara itu selesai, mungkin tukang pijat dan tukang parem se-Jabotabek laku keras. Hey! Lumayan positif juga ternyata!
Pukul lima lebih sedikit dan akhirnya saya berada di Kopaja jurusan Blok M bareng Si Monyet yang heran kenapa saya jadi (sedikit) pendiam. Di luar masih hujan dan saya pandangi rintiknya dari balik jendela. Saya hanya menerawang, melihat pohon dan jalan raya serta mobil-mobil lain berkejaran disiram tetesan air, mencoba mencari tau ada apa dengan saya. Entah kenapa, menginjak usia dua puluh beberapa tahun lalu, saya selalu cranky tiap ulang tahun. Padahal sahabat-sahabat (dan fans *halah!*) saya selalu mengucap selamat. Ibu saya selalu bersikeras bikin bancakan urap yang akan dibagikan ke anak-anak (rame, lucu, gayeng, komentar beliau. Saya pun suka melihat mereka rebutan). Beberapa kali juga saya merayakannya dengan orang terkasih. But still, bawaannya pengen makan orang. Makanya saya lebih suka diam dalam pesta saya sendiri. Apa karena menurut saya merayakan bertambah dekatnya akhir daur hidup adalah bodoh? Dan ketika Kopaja mendadak berhenti agak lama, saya menoleh dan sadar bahwa dari Bunderan HI hingga Stasiun Juanda, bis melaju tanpa kenek. Guess what? Supirnya berenti dan menagih ongkos pada para penumpang! Pake bahasa Jawa, pulak! Damn! Saya seperti berada di bis Jalur 3 dulu! Waktu tangannya menadah di depan saya, sebuah pertanyaan bodoh hampir terlontar: Lewat Toko Merah mboten, Pak? Haha!
Akhirnya ada kejadian menghibur juga meskipun sudah tanggal 16. Wes to, Nduk. Rasah kakehan protes. Nggolek bojo kono ben onok sing ngrungokno, orak ngomyang neng blog terus.
Shit! Tidur jam lima lewat lagi?! ARGH!!!
Setelah pulang pagi sehabis nongkrong mingguan dan belum bisa tidur, saya baca buku yang sekenanya saya saut dari rak. Surat Kepada Tuhan, judulnya. Tulisan-tulisan Sobron Aidit yang mirip diary dan sungguh Opa-opa sekali--tapi getir. Mengapa? Karena salah satunya, di bagian akhir, begini bunyinya:
Banyak sekali orang berpakaian putih-putih, yang tampaknya siap berjihad membasmi kami kalau ada yang macam-macam. Sudah diizinkan pulang saja sudah untung, jangan macam-macamlah!Lha elu siapa emang?! Urusan amat ama ideologi orang?! Kalo adik atau kakaknya DITUDUH atau MEMANG anggota PKI, seluruh keluarganya juga PKI, gitu?! Apa salahnya sih PKI? Lagi-lagi, kalo elu percaya ama tuhan dan yakin ama pilihan lu, nggak bakal lah elu mak bedunduk ujug-ujug bisa masuk PKI meskipun propagandanya gila-gilaan sekalipun. Kakek gwa dulu tapol di Buru dan gwa suka Genjer-genjernya Lilis Suryani. Lalu gwa PKI, gitu?! (Tulisan itu diterbitkan tahun 2003, memang. Tapi masih amat sangat relevan dengan keadaan sekarang. Sayangnya.) My Opinion: Another TAI SAPI!
- Memoar Sobron Aidit, Surat Kepada Tuhan hal. 30-31, Grasindo 2003
(Udah mirip kutipan skripsi belum? *winks*)
Lalu setelah capek mengurung diri di kamar sendirian, saya keluar cari udara segar jam sebelas malam. Di Bunderan Senayan saya liat beberapa orang berbaris dua-dua, dalam kelompok-kelompok kecil, berjalan kelelahan. Sebagian besar cepak-cepak. Oh, anak-anak PTIK kurang kerjaan, gumam saya membatin. Tapi hingga jam 5 pagi, ketika saya memutuskan pulang dari Bunderan yang lebih gede lagi, saya baru tau kalo mereka itu peserta gerak jalan Bogor-Jakarta dalam rangka HUT Marinir (atau-apa-lah-namanya-itu). Start dari Bogor? Jam setengah dua siang! My opinion: Ok... not-so TAI SAPI. Simbah-simbah umur 70-an itu mungkin terlalu sepuh atau terlalu bebal dilarang untuk ikut olahraga segini heboh, di bawah rinai yang mengguyur deras hampir tanpa henti sejak tengah malam, berjas hujan biru dan tertatih kadang terduduk di bawah atap shelter busway. Terlihat bodoh, memang. Tapi bertujuan jelas, dengan alasan masing-masing. Entah ngetes kekuatan kaki, kuat malu, kuat terlihat bodoh, atau ngejar hadiah motor. Meskipun hasil akhirnya sama: Pegel-pegel nggak udah-udah. Setelah acara itu selesai, mungkin tukang pijat dan tukang parem se-Jabotabek laku keras. Hey! Lumayan positif juga ternyata!
Pukul lima lebih sedikit dan akhirnya saya berada di Kopaja jurusan Blok M bareng Si Monyet yang heran kenapa saya jadi (sedikit) pendiam. Di luar masih hujan dan saya pandangi rintiknya dari balik jendela. Saya hanya menerawang, melihat pohon dan jalan raya serta mobil-mobil lain berkejaran disiram tetesan air, mencoba mencari tau ada apa dengan saya. Entah kenapa, menginjak usia dua puluh beberapa tahun lalu, saya selalu cranky tiap ulang tahun. Padahal sahabat-sahabat (dan fans *halah!*) saya selalu mengucap selamat. Ibu saya selalu bersikeras bikin bancakan urap yang akan dibagikan ke anak-anak (rame, lucu, gayeng, komentar beliau. Saya pun suka melihat mereka rebutan). Beberapa kali juga saya merayakannya dengan orang terkasih. But still, bawaannya pengen makan orang. Makanya saya lebih suka diam dalam pesta saya sendiri. Apa karena menurut saya merayakan bertambah dekatnya akhir daur hidup adalah bodoh? Dan ketika Kopaja mendadak berhenti agak lama, saya menoleh dan sadar bahwa dari Bunderan HI hingga Stasiun Juanda, bis melaju tanpa kenek. Guess what? Supirnya berenti dan menagih ongkos pada para penumpang! Pake bahasa Jawa, pulak! Damn! Saya seperti berada di bis Jalur 3 dulu! Waktu tangannya menadah di depan saya, sebuah pertanyaan bodoh hampir terlontar: Lewat Toko Merah mboten, Pak? Haha!
Akhirnya ada kejadian menghibur juga meskipun sudah tanggal 16. Wes to, Nduk. Rasah kakehan protes. Nggolek bojo kono ben onok sing ngrungokno, orak ngomyang neng blog terus.
Shit! Tidur jam lima lewat lagi?! ARGH!!!