Berhala

Saya gila baca tapi nggak suka beli buku. Jika harus membeli pun saya lebih suka buku bekas. Saya punya lapak langganan buku bekas tempat ensiklopedia Times dijual hanya dua puluh lima ribu rupiah per buah. Dalam kondisi sangat laik baca (dan pajang). Disini saya merasa hidup adalah humor satir yang terkadang kejam. Saat saya perlu buku referensi untuk tugas (waktu masih jadi bangkusekolahvora), sering saya hanya gigit jari dan pinjam sana-sini. Di perpus yang lumayan ngaujubilah gedenya, 10-20 buku rasanya nggak cukup untuk memenuhi keperluan anak-anak yang rata-rata berkondisi seperti saya. Nggak bisa ngopi, karena untuk berangkat ke sekolah pun saya kerap jalan kaki saking nggak punya duit. Di lapak dekil dan kumuh serta pengap ini, saya temukan buku-buku yang dulu saya perlu dengan harga sekali makan siang di warteg! Getir, kan?

Saya juga sering ditegur satpam penjaga toko buku di mall karena sering numpang baca dari buka sampai tutup. Itupun gayanya kayak di rumah sendiri: duduk bersila, kadang-kadang selonjoran sambil bersandar pada dinding kosong. Cuma kurang susu atau teh anget aja (waktu masih SMP dan SMA saya belum jadi pecandu sigaret dan kafein kayak sekarang). Ya gimana? Saya haus bacaan dan nggak bermodal, jadi saya robek bungkus buku dan saya resapi gambar dan kata yang ada disana. Dan itu memutus urat malu saya--jika memang punya--apalagi hanya untuk takut pada pentungan, kumis sekepal, seragam biru-putih komplit dengan lilitan tali di lengan dan topinya, serta wajah coklat-hitam berminyak yang diseram-seramkan. Jika lapar, saya keluar sebentar ambil tas dan buka kotak makan di salah satu meja foodcourt. Biasanya cuma roti tawar bermentega ditemani air mineral sebotol. Dan saya merasa dunia berputar baik-baik saja asalkan koleksi Trio Detektif dan STOP bisa saya lahap semua. Juga Asterix, Lucky Luke, Si Bob Napi Badung, Steven Sterk, Bul dan Bil, Spirou, Enid Blyton, Lima Sekawan, John Grisham, Sydney Sheldon...

Setelah jadi buruh dan punya uang sedikit, meskipun nggak rutin tiap bulan, saya selalu menganggarkan sepersedikit itu untuk buku. Rasanya nikmat, membuka dan membaca lembar demi lembar buku apak--dan sering bikin wahing itu--ditemani rokok dan kopi panas nan kental.

Saya hanya berharap andai seorang karib di Jogja sana ada di dekat saya, bersama berburu buku. Pasti menyenangkan sekali melihat mukanya yang ditekuk tujuhbelas. Buatnya, beli buku yang layak koleksi itu harus baru, disegel, dan dua buah. Satu untuk disimpan dan satu untuk dibaca atau dipinjamkan. Dan dia mengoleksi hampir semua buku yang dia beli. Si mbak ini sampai pesan lemari besar dan bagus, khusus untuk koleksi buku-bukunya. Setiap kami bertemu, dia yang lebih dulu menyapa dengan: "Udah baca buku anu? Asik, lho. Ceritanya tu tentang teori bla bla bla..." Saya cuma nyengir. Besoknya saya cari versi pdf dan dalam bahasa asli (karena yang dia maksud biasanya versi terjemahan). Buat saya lebih nikmat membaca buku dalam bahasa aslinya. Dan saya bersyukur punya kemampuan bisa berbahasa lain, karena saya bisa balas dia--saat kami bertemu lagi dan dia membicarakan minimal 3 buku--dengan: "Oh, kalo kamu baca versi inggrisnya, itu lebih asik lagi." Ya, ya. Saya tau saya bodoh dengan melakukan itu. Tapi saya tergoda, sementara saya hanya manusia yang nggak tahan godaan. Haha!

Lalu ada masa dimana 'melek buku' adalah tren. Karena terlihat pintar? Mungkin. Tapi tren ini bikin orang berlomba-lomba bikin dan nongkrong di kafe buku, kenalan, bahkan sampai ada yang menjadikannya sebagai ajang cari jodoh. "Kita bisa tau itu cowok gimana karakternya kalo kita tau apa yang dia baca," kata cewek-cewek itu. Sayang, lagi-lagi saya masih belum mampu mengkonfirmasi karena saya nggak mampu nongkrong di tempat seperti itu. Wong cuma buruh, kok.

Tapi rasanya sangat kuper sekali jika saya ketauan belum baca buku anu atau apa lah. Ya saya sih nggak masalah orang mau bilang saya kayak gimana. Lha saya memang kuper. Nggak tau mode. Kemana-mana senengnya gaya dukun, hitam-hitam. Perpaduan warna yang paling bagus pun buat saya ya cuma merah dan hitam. Di lemari saya juga adanya cuma kaos, jins, celana panjang dan jumper. What do you expect?! Kalo saya kuper, apa terus mendadak kena serangan jantung dan mak bedunduk mati mendadak, gitu?

Dan sepertinya, mbak dan mas yang pada jor-joran beli buku itupun masih sama bodohnya dengan saya yang kuper dan nggak mampu beli buku. Nggak tambah pinter, meski maksa terlihat tau segala. Idupnya juga masih seputar kantor, rumah, kafe, mall, ajeb-ajeb; rumah, kantor, mall, ajeb-ajeb, kafe. Gituuu terus. Masalahnya juga berputar sekitar jerawat, selangkang, pakaian, pacar, ketombe, kulit gelap; ketombe, pacar, jerawat, selangkang, kulit gelap, pakaian. Gituuuu terus. Mbok ya kalo udah pinter, bikin anak-anak remaja tanggung di Bunderan Senayan sana jadi pinter juga to, biar nggak pada ngisep lem terus. Atau ngajarin anak-anak pengamen gimana metik dan nyetem gitar--juga nyanyi--yang baek dan bener biar kalo 'manggung' di bis tu sinkron antara congor dan instrumen. Atau bikin ibu-ibu dan mas-mas tukang wedang di Bunderan HI jadi lebih bisa itung-itungan biar nggak kastemernya terus yang rekap. Atau bantuin belajar bocah-bocah berjilbab yang suka minta sumbangan malem-malem di warung tenda Radio Dalam biar nilai rapornya nggak pada jeblok dan bisa lulus tanpa ngulang setaun lagi. Atau mulang kondektur anak-anak dan sebaya mereka yang suka kelayapan di terminal Blok M sampe jauh malam biar orientasinya nggak duiiiit terus.

Makanya, jangan nyembah buku aja. Kalo cuma kamu yang pinter dan orang lain goblok, itu seperti bertarung melawan satu ketapel sementara kamu punya seratus bazooka. Dimana letaknya asik kalo pertempuran nggak seimbang gitu? Ya nggak masalah si, kalo kamu maunya menang dan jadi pemimpin orang-orang goblok.

So?

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?