Another 'What The Fuck' Post
Dulu, 'Kambing Jantan' menurut saya adalah buku terkeren karena awalannya yang 'luar biasa'. Hanya dari iseng-iseng cari kompensasi isi waktu luang, didukung semangat pengen silaturahmi, tau-tau bisa jadi buku terlaris dan menggebrak hebat. Dapet duit banyak. Jadi terkenal. Seleb di kalangan cyberians.
Setelahnya banyak yang ngikut. Dialog chatting mulai jadi trend dalam buku-buku berakhiran 'lit'. Menyenangkan, memang. Awalnya. In the end, entah kenapa, rasanya jadi annoying. Mungkin too much of something membuat apapun membasi.
Dulu sempat teman saya yang baru buka penerbitan cari-cari naskah, mulai cerpen, novel, atau bahkan resep masakan hingga buku how-to. Sampe-sampe tulisan kacangan saya dimintanya. Saya? Apa sih yang bisa saya tulis selain makian, cacian, kemarahan, putus asa dan serba nggak teratur? Saya nggak bisa berimajinasi, apalagi menuangkannya ke dalam satu bentuk cerita mencerahkan dan nyenengin pembaca. Sebagai anak sekolah kere dan ngiler tiap liat anak sekolah lain leha-leha di kafe, saya tertarik banget dengan 'bisnis' ini. Duitnya banyak! Bodohnya, saya selalu nggak sempat meluangkan waktu untuk belajar menulis yang baik.
Terussssssss...
Saya ngeblog juga. Masturbasi pikiran, kata saya. Demi ejakulasi intelektual (bah!) yang hanya berani saya lakukan (dan nikmati) sendirian. Atau saya hanya akan berakhir jadi robot bernyawa, membawa sekeranjang penuh karat jiwa di kepala tanpa bisa di daur ulang. Padahal, layaknya urin, karat-karat itu masih bermanfaat meski sedikit. Akhirnya saya suka proses nongolnya ide, menulis, editing, kemudian publishing, meski semuanya hanya saya konsumsi sendiri. Ini cara saya onani. Ini cara saya bermain dengan diri sendiri.
Saya sadar, saya terdisplay penuh pada dunia karena halaman ini nggak saya setting sepenuhnya untuk saya sendiri. Sengaja. Demi keanekaragaman hayati. Well, saya juga mahluk hidup. Meski nantinya punah, saya adalah salah satu representasi spesies aneh dalam genus perempuan. Selama belum berkalang tanah, kalian, para cyberians iseng berlebih waktu hingga nyasar kesini, perlu tau betapa menyenangkannya jadi manusia seperti saya. Betapa bebas saya misuh, mencak-mencak, berdarah dan lebam, untuk kemudian bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi. Ini media saya menjadi saya seutuhnya. Kamu mau apa?!
Dan bagi saya, bodoh sekali ada orang yang melarang-larang orang lain onani di rumahnya sendiri. Macem disini dan disini. Sudahlah. Mereka nggak kenal siapa yang mereka jadikan bahan masturbasi, karena itu yang mereka tau cuma yang jelek-jelek. Dan mereka horny dengan itu! Maklum, fetishnya aneh. Remember 'tak kenal maka tak sayang'? Mereka juga nggak akan jadikan, misalnya, Ibu atau istri jadi konsumsi orang lain, kan? Lagipula, masih banyak yang harus dilakukan daripada ngurusin orang merancap, menegang, lalu mengerang sendirian. Entah nikmat, entah sakit. Atau keduanya.
Tapi saya pikir-pikir lagi, alangkah liciknya mengkomersilkan materi merancap yang sangat personal ini jadi duit. Memang, akhirnya bermanfaat seperti urin yang saya sebut tadi. Namun, bukankah urin yang bermanfaat bagi diri sendiri adalah pipis ketika bangun di pagi hari setelah cukup tidur semalaman? Dan yang berguna bagi diri sendiri belum tentu berguna bagi orang lain, kan?
Mungkin saya masih lempeng abis masalah ini, dimana semua hal idealis yang ada di kepala saya coba wujudkan jadi daging, darah dan tulang. Meskipun saya tertatih membawanya sendirian sementara saya harus bergulat melawan dunia yang nggak se-ide dengan saya (atau saya yang nggak sejalan dengan dunia?). Tetap, saya sangat menanti bagaimana dada terasa plong dan warna di sekeliling jadi lebih cerah ketika satu posting selesai, tanpa ada keinginan membaca komentar para cyber dweller lain, tanpa muatan apapun, tanpa pretensi dan maksud apapun (selain misuh, mungkin), tanpa tenggat. Sebab minimal sehari dua kali saya bertenggat. Melelahkan, tauk.
Jika blog adalah katarsis, EMANG GWA PIKIRIN?!
Setelahnya banyak yang ngikut. Dialog chatting mulai jadi trend dalam buku-buku berakhiran 'lit'. Menyenangkan, memang. Awalnya. In the end, entah kenapa, rasanya jadi annoying. Mungkin too much of something membuat apapun membasi.
Dulu sempat teman saya yang baru buka penerbitan cari-cari naskah, mulai cerpen, novel, atau bahkan resep masakan hingga buku how-to. Sampe-sampe tulisan kacangan saya dimintanya. Saya? Apa sih yang bisa saya tulis selain makian, cacian, kemarahan, putus asa dan serba nggak teratur? Saya nggak bisa berimajinasi, apalagi menuangkannya ke dalam satu bentuk cerita mencerahkan dan nyenengin pembaca. Sebagai anak sekolah kere dan ngiler tiap liat anak sekolah lain leha-leha di kafe, saya tertarik banget dengan 'bisnis' ini. Duitnya banyak! Bodohnya, saya selalu nggak sempat meluangkan waktu untuk belajar menulis yang baik.
Terussssssss...
Saya ngeblog juga. Masturbasi pikiran, kata saya. Demi ejakulasi intelektual (bah!) yang hanya berani saya lakukan (dan nikmati) sendirian. Atau saya hanya akan berakhir jadi robot bernyawa, membawa sekeranjang penuh karat jiwa di kepala tanpa bisa di daur ulang. Padahal, layaknya urin, karat-karat itu masih bermanfaat meski sedikit. Akhirnya saya suka proses nongolnya ide, menulis, editing, kemudian publishing, meski semuanya hanya saya konsumsi sendiri. Ini cara saya onani. Ini cara saya bermain dengan diri sendiri.
Saya sadar, saya terdisplay penuh pada dunia karena halaman ini nggak saya setting sepenuhnya untuk saya sendiri. Sengaja. Demi keanekaragaman hayati. Well, saya juga mahluk hidup. Meski nantinya punah, saya adalah salah satu representasi spesies aneh dalam genus perempuan. Selama belum berkalang tanah, kalian, para cyberians iseng berlebih waktu hingga nyasar kesini, perlu tau betapa menyenangkannya jadi manusia seperti saya. Betapa bebas saya misuh, mencak-mencak, berdarah dan lebam, untuk kemudian bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi. Ini media saya menjadi saya seutuhnya. Kamu mau apa?!
Dan bagi saya, bodoh sekali ada orang yang melarang-larang orang lain onani di rumahnya sendiri. Macem disini dan disini. Sudahlah. Mereka nggak kenal siapa yang mereka jadikan bahan masturbasi, karena itu yang mereka tau cuma yang jelek-jelek. Dan mereka horny dengan itu! Maklum, fetishnya aneh. Remember 'tak kenal maka tak sayang'? Mereka juga nggak akan jadikan, misalnya, Ibu atau istri jadi konsumsi orang lain, kan? Lagipula, masih banyak yang harus dilakukan daripada ngurusin orang merancap, menegang, lalu mengerang sendirian. Entah nikmat, entah sakit. Atau keduanya.
Tapi saya pikir-pikir lagi, alangkah liciknya mengkomersilkan materi merancap yang sangat personal ini jadi duit. Memang, akhirnya bermanfaat seperti urin yang saya sebut tadi. Namun, bukankah urin yang bermanfaat bagi diri sendiri adalah pipis ketika bangun di pagi hari setelah cukup tidur semalaman? Dan yang berguna bagi diri sendiri belum tentu berguna bagi orang lain, kan?
Mungkin saya masih lempeng abis masalah ini, dimana semua hal idealis yang ada di kepala saya coba wujudkan jadi daging, darah dan tulang. Meskipun saya tertatih membawanya sendirian sementara saya harus bergulat melawan dunia yang nggak se-ide dengan saya (atau saya yang nggak sejalan dengan dunia?). Tetap, saya sangat menanti bagaimana dada terasa plong dan warna di sekeliling jadi lebih cerah ketika satu posting selesai, tanpa ada keinginan membaca komentar para cyber dweller lain, tanpa muatan apapun, tanpa pretensi dan maksud apapun (selain misuh, mungkin), tanpa tenggat. Sebab minimal sehari dua kali saya bertenggat. Melelahkan, tauk.
Jika blog adalah katarsis, EMANG GWA PIKIRIN?!
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?