Requiem for the Unborn

Lelaki itu tunduk menatap onggokan plastik di pangkuan berisi sebuah kuali gerabah kecil, bersama sebotol besar air mineral, selembar bon rumah sakit dan selimut. Yang membuat wajahnya berduka adalah bungkusan kain putih mungil seukuran sepuluh senti di dalam kuali, berisi fetus berusia hampir empat bulan yang katut bersama pipis sang ibu siang tadi. "Ini ketiga kalinya," ujarnya, mirip desahan. Sang istri yang duduk di sebelahnya juga turut menunduk, menatap sekilas kuali kecil, lalu menoleh ke arah lain. Perempuan yang biasanya ceria itu, yang pernah disandingkan sejajar Nirina Zubir oleh pengagum gelapnya, yang berkutat bersama lumpur di situs proyek, mengenakan sepatu bot berujung baja serta helm pelengkap, bergaul bersama kuli-kuli bangunan namun tetap ingin terlihat 'chic' bersama blus pinky dan jins belel.

Saya nggak tau mesti bilang apa. Belum pernah saya sedekat ini dengan kematian, dengan kekecewaan, dengan harapan yang hilang, tanpa saya bisa berbuat apa-apa. Saya tepuk-tepuk bahunya, berusaha menguatkan dan melucu, meski basi: "Nggak apa-apa. Belum rejeki. Kan jadinya ada alasan untuk selalu bikin lagi sampe jadi." Dia hanya membalas dengan senyum terpaksa. Getir.

Para sesepuh lain, yang kebetulan berada satu mobil bersama kami menuju ke rumah sakit di bilangan pusat Jakarta demi membersihkan gumpalan darah yang masih melekat dalam rahim 'mantan-calon' ibu saling ribut membicarakan kasus lain yang pernah dialami tetangga maupun kenalan. Saya nggak tega dengernya. Melalui Marxianus Samsul Al-Ramadhani saya benamkan suara mereka melalui hentakan Minutes to Midnight, mengirimkan sinyal-sinyal penguatan dari dalam benak pada pasangan yang sedang berduka di hadapan.

Ibu saya pernah berkata--dengan cara jaimnya sendiri--bahwa saya dan adik adalah anugrah terindah yang pernah diberi Sang Maha pada hidupnya. Sebelum saya menghirup udara pertama di dunia, kedua orangtua saya pernah berharap, berdoa, berangan-angan dan mengandai akan jadi apa buah cinta mereka kelak karena saya anak pertama. Ketika saya lahir, mungkin mereka lebih berpijak ke bumi dan sadar bahwa tidak semua angan-angan mewujud nyata, untuk kemudian mengenakan tangan yang 'lebih lembut' dalam mendidik adik saya. Ibu adalah salah satu orang tua paling demokrat yang pernah saya kenal, meski tetap saja beliau adalah standard ibu-ibu pada umumnya yang sering menyebalkan dengan segala dos and don'ts. Namun saya pernah dihadapkan secara frontal dan brutal dengan kekecewaan beliau ketika saya nyata-nyata didapuk tidak berbakti karena tidak turut keinginannya--meskipun akhirnya dia tetap menghormati pilihan saya. Dan saya selintas menangkap refleksi Bunda pada perempuan usia awal tiga puluh bersarung batik berbaju kurung dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai berantakan dan wajah kalah lelah dan pasrah.

Dengan tangan saling menggenggam, sepasang mantan calon orang tua tersebut seperti ingin berbagi rasa kehilangan. Saya hanya menatap mereka dalam diam, dalam hentakan lagu yang entah kenapa juga miris.

Selamat jalan, selamat tidur Jaka Pratama. Tenang-tenang kamu disana, Sayang. Doakan Ayah-Bundamu dalam bahasa janin yang hanya dimengerti Dia.


Dedicated to Mbak Kunti dan Maz Adhi dan si kecil sepuluh senti...

Comments

  1. Anonymous8:16 AM

    sedih ya. mungkin juga beruntung bagi jaka pratama, tak sempat mengenal semua keberisikan ini.

    ReplyDelete
  2. turut berduka, sedih juga yha....secara aku juga mengidam2kan makhluk kecil itu :(

    ReplyDelete
  3. aku yakin, si calon bapake mulai berpikir: "ini saatnya nyari bini lain"

    ReplyDelete
  4. Anonymous1:05 AM

    saya pikir kedua calon orang tua sangat sedih, dan saya pikir sang calon ibu juga sangat....sangat sedih.... tanpa perlu (lagi) disudutkan atau disalahkan karena peristiwa ini...
    turut berduka.

    ReplyDelete
  5. Anonymous5:03 AM

    soal 'belum rejeki', itu memang bener. basbang tapi bener. dan katanya 'good thing comes to those who wait', ya kan?

    turut berduka...

    ReplyDelete
  6. mengharukan..turut berduka cita :)

    *sign out*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women