Jakarta Pagi Ini

Pagi buta saya terdampar di terminal Blok M, menatap miris pada bocah yang berlari riang sementara ibunya mengejar dengan sisa tenaga yang ada. Lalu si ibu menangkap sang anak untuk kembali bergabung dengan sekumpulan orang yang sedang jongkok atau menduduki tas besar. Melihat tas-tas dan kardus yang dibawa rombongan kecil tersebut, sepertinya mereka menunggu angkutan pulang ke rumah sehabis mudik. Mata mereka pun masih sembab menahan kantuk.

Entah kenapa pagi itu rasanya indra penglihat saya jeli sekali. Saya cermati perubahan warna langit dari biru tua hingga terang. Saya pandangi mbak-mbak yang berjalan di depan saya, segendut saya, dengan kaos oblong, ransel besar dan jins serta lipatan celana dalam yang 'keluar orbit' di baliknya. Mas-mas yang duduk di divider yang sama di sebelah saya nggak sadar saya lirik karena terlalu asyik menikmati belahan dada mbak-mbak yang duduk di sebelahnya lagi. Mbaknya itu sibuk memanjangkan leher, menunggu bis ke Cawang.

Pagi itu lengang. Adzan pun belum terdengar. Atau mungkin saya nggak nyimak karena kedua telinga saya tersumbat cabikan gitar Om Botak nan Keren mendendang 'Always With Me, Always With You' (entah kenapa saat itu saya sedang ingin mendengar yang manis-manis tapi galak). Saya sapa pagi sehabis kumpul-kumpul bareng sahabat, dan saya rusak udaranya dengan asap nikotin yang hampir nggak pernah berhenti saya hisap.

Satu jam saya disana hingga akhirnya Metro Mini yang saya tunggu datang juga. Jurusan Blok M - Lebak Bulus lewat Radio Dalam. Saat saya hampiri, seperti nggak sabar, si abang kondektur meminta saya naik ke bisnya dan saya jawab dengan, 'Iya... ini mau naik.' Si abang tersipu. Ehm... lumayan.

Di dalam baru ada satu penumpang. Nggak berapa lama naik sepasang kakek dan nenek. Ah, sepertinya mereka pengemis. Si Kakek berambut putih berpeci buluk dan membawa tongkat lipat, sementara kedua bola matanya kelabu. Si Nenek mengenakan kebaya dan jarik, dan rambutnya pun nggak kalah putih. Saya ingat simbah almarhumah (may she rest in peace). Supirnya? Lebih keren lagi! Dari obrolan iseng saya dengan Bang Kondektur, dengan bangga dia menyebut si supir bertopi pet menutup kepalanya yang uban semua, sebagai kakeknya (yang tetap 'gila' karena setua itu masih jago nyetir bis).

Abang kondektur itu mulai curhat tentang sedikitnya penumpang--yang dia sebut sewa. Saya besarkan hatinya, "Sabar aja... Bentar lagi kan Senen. Kantor ama sekolah udah pada masuk. Entar bisnya penuh lagi." Dia hanya nyengir, menunjukkan satu gigi depan yang patah. Saya suka mencermati pakaiannya dari belakang. Tumben-tumbenan ada kenek bajunya matching. Sepatu olahraga funky (paduan antara kuning, biru dan putih), jins biru stonewashed, kaos oblong biru, dan vest ngepas warna biru, serta topi berwarna sama dengan vest. Kalo dirapihin dikit lagi, dia bakal kayak mahasiswa karena saya perkirakan umurnya masih akhir 20-an. Saya suka liat matanya, terutama ketika dia nyengir malu-malu. Raut mukanya keras dan dagunya jadi tempat tumbuh jenggot seuprit. Untuk ukuran kenek, kulitnya nggak terlalu gelap. "Biasanya saya bawa 69, Neng, jurusan Ciledug. Lebih enak bawa daripada ngenekin. Ini karena simbah keneknya masih di Jawa makanya saya yang jalan," akunya. Pantes!

Saya nikmati sisa perjalanan pulang dalam diam, berteman rokok yang saya bakar segera setelah saya lihat si abang menyulut Samsu. Showroom BMW tinggal beberapa meter lagi, saya harus turun. Tapi entah kenapa saya ingin melihat Lebak Bulus, terminal paling dekat namun amat sangat jarang saya lewati. Dan saya hanya menoleh ke kubah ruko di seberang dimana Jalan Dwijaya terletak dan kos saya berujung. Bukan, bukan karena abang kondekturnya maka saya bablas. Sungguh!

Jalanan lengang, mungkin karena masih setengah enam. Mulai dari kompleks PIM hingga Pondok Indah ternyata banyak orang jogging, menarik dan menghembus udara bercampur timbal dan karbon, berusaha menjauh dari sakit dengan modal paling murah. Si abang berkomentar seadanya--karena kebetulan saya duduk di kursi belakang--dan hanya saya tanggapi dengan cengiran karena sekarang Eyang Santana yang centil berkumandang di kepala saya.

Angkutan yang saya tumpangi tiba di Lebak Bulus, dan penumpangnya yang segitu-gitu aja dari Blok M pun turun. Demi kesopanan, saya bertanya basa-basi pada si abang apakah bisnya lewat Radio Dalam lagi. "Iya, ini nanti muter disitu terus balik lagi ke jalanan yang tadi," sahutnya. "Ikut lagi ya Bang. Entar bayar juga deh, buat nambah-nambahin setoran," ujar saya. Lagi-lagi si abang cuma pamer gigi. Saya alihkan pandang keluar, melihat betapa 'default'nya setting orang pergi-pulang mudik: ransel/travel bag besar, kardus bekas mie instant atau air mineral diikat tali rafia, muka sembab dan rambut berantakan akibat tertidur di bis, dan jaket yang nggak dilepas seterik apapun matahari yang nanti memanggang.

Dan abang kondektur yang mukanya enak diliat itu akhirnya menolak menerima ongkos yang saya beri kedua kali. Dia malah menawarkan rokok kretek dan air mineralnya pada saya, setelah melihat betapa shock-nya saya membuang muka dari adegan tabrakan di depan SPBU Pondok Indah. Anak kecil ber-helm itu tewas dengan kepala pecah setelah terpental beberapa meter dari motor dan ibunya terbaring miring tak bergerak. Motor-motor parkir sembarangan di depan dan belakang mobil polisi hanya untuk melihat drama jalanan. Saya sekedar menikmati pagi di Jakarta, jalanan yang lengang di Radio Dalam, dan sedikit kebaikan dari orang tidak dikenal.


... it turns out that Jakarta nggak jahat-jahat amat...

Comments

  1. wallah ra ono potone ... :(

    ReplyDelete
  2. wealah Jeng... kalo tertarik dengan sang kernek juga gpp kok.... ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women