Ra Penting!

Saya baru sadar. Hampir dua taun saya tinggal di Kota Mayat, saya cenderung lebih pemarah dan pengeluh dibanding ketika saya ngéngér di Kota Berhati Nyaman dulu. Kalo dipindai isi kotak muntahan saya ini, lebih banyak yang asem kecut dan busuk ketimbang yang harum dan menyegarkan. Kalo diliat dialling record di telepon tangan saya, kebanyakan yang saya hubungi itu mereka-mereka yang masih ada disana. Mungkin level kengéngéran saya yang masih freshmen disini ketimbang di tempat anak sekolah berdarmawisata itu ya? Amatiran! Huh!

Waktu saya wadul sama salah seorang belahan jiwa, dengan entengnya dia bilang: Harusnya kamu tahan uji ketika dilepas di rimba raya, dan bukannya saat kamu masih di pertapaan. Damn! Saya merasa seperti Mantili. Haha!

Ya. Disini hutan belantara, dimana saya harus berburu dan mematuhi hukum yang ada--dimana hanya yang kuat yang menang. Sukur-sukur bisa bertahan jika tidak ingin mati kelaparan atau diserang binatang jalang. Saya tau, ketika dua bulan terakhir saya digembleng habis-habisan oleh seorang 'Resi' yang berujung pada terdamparnya saya di Necropolis City ini, maka saya sudah naik tingkat. Harusnya saya senang dengan pencapaian saya itu dan kembali babak bundas demi meraih napas meskipun satu-satu, karena siklus ini tidak akan pernah selesai hingga nyawa tercerabut dari raga. Sekarang saatnya praktek bertahan hidup dan balas menyerang--jika mampu. Sendirian, tanpa pembimbing. Hanya Sang Pacar yang lama-lama saya khawatir terabaikan.

Seperti yang dibilang Bapaknya Noe Letto: Jika dalam arus yang deras menghantam kamu bisa tegak tanpa ikut hanyut, maka itu sudah cukup. Tapi... nuwunséwu, Pakdhé. Kulo mboten saget menawi mboten mursal. Selalu ada yang kurang, selalu ada yang harus dibuktikan, selalu nggak pernah jenak. Apa karena daya adaptasi saya menurun? Atau apa yang saya sebut adaptasi itu sebenarnya cuma screensaver? Mungkin nggak kalo saya iri melihat rerumputan di pagar sebelah yang selalu tampak lebih hijau daripada di halaman saya sendiri? Saya nggak terima apologi kalo semua itu udah default manusia pada umumnya. Jadi gimana dong?!

Whatever. I'm just a grain of sand in a shore. Layaknya Matahari yang segitu alaihimgambrengnya diantara jutaan bintang (yang juga alaihimgambreng) di Galaksi Bima Sakti, dan sebagaimana alam semesta yang hampir tanpa batas dengan ribuan galaksi lain di dalamnya... siapa sih saya?



*Backsound: Adyta (The Neverending Embrace) from Epica, taken from the album 'The Phantom Agony'*

Comments

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women