The Value of Human Being
Okay. Dia ganteng. Hanya dalam sekali lirik, semua perempuan suka sama gaya dan tampangnya yang kalem dan cool. Dimanapun, semua mata melihatnya. Yang lelaki karena (mungkin) iri sama pembawaan dan sex appeal yang memikat macam Adonis, membuat berpalingnya kepala-kepala entah milik perempuan heterosexual maupun lelaki yang... yah... gitu deh.
Tapi di kumpulannya sendiri dia tersisih, despite pengetahuan, posisi, status sosial dan 'isi' otaknya sekalipun. Bahkan ada beberapa orang yang berani mengancam secara fisik tanpa dia tau kesalahannya. Apa mungkin hanya karena dia ganteng?
Well, then. Beauty kills. Even when it happens to a man.
But there is more to life than just a look. There are things unrevealed with a sheer glance in the corner of the eyes.
Dan itu yang selalu gwa cari tau dalam (hampir) setiap pribadi. Masing-masing punya nilai yang lebih dari sekedar muka cakeup, tampang keren dan dandanan modis.
Mereka juga punya ketakutan. Dan mimpi.
Gwa amat sangat kagetnya ketika suatu waktu orang yang gwa anggap guru, kakak, bokap dan sahabat itu menuangkan dalam rangkaian pesan panjang di ponsel tentang kekhawatiran dan kesendiriannya, dimana teman yang dia punya hanya sebatas fungsi, bukan hati; sementara rumah baginya bukan lagi tempat tinggal para tetua melainkan metafor yang harus dia ciptakan sendiri. Dia bahkan masih sempat membuat analisa-analisa tajam terhadap diri gwa, tentang tempat kembali dimana gwa mungkin 'too sophisticated' untuk bareng keluarga serta mimpi tentang ruang dan waktu dimana dia merasa di rumah, pulang. Ternyata dia tetap manusia. Sama seperti gwa. Punya emosi, rasa khawatir, dan rindu 'rumah'.
Meski beda, kekhawatiran The Guru dan Si Ganteng dasarnya sama: rasa manusiawi yang membentuk mereka jadi manusia. Bedanya hanya dalam bersikap. The Guru konsisten dengan 'rumah' pilihannya dalam bentuk istri tempatnya pulang yang (setau gwa) nggak pernah mengeluh atau dikeluhkan. Si Ganteng masih punya tempat pengembaraan dan mimpi lain meskipun 'rumah' yang hampir sama telah dibangunnya selama hampir dua tahun ini. Dengan beberapa keluhan.
Dan gwa, anak nakal sok tau yang selalu jadi tumpahan omelan dan kebingungan dua manusia tersebut hanya tinggal menyerap, belajar dan mencoba bergerak maju sesuai velocity yang gwa mau. Based on their experience (tanpa mereka tau, tentunya! Ndak GR). And the big thing that I learn is: There is always responsibility in taking the consequences of the act based on my free will. Disitu (semoga) gwa bernilai.
Hey, pengalaman memang guru terbaik. Tapi yang paling baik adalah tidak mengalaminya sendiri melainkan berhasil 'ngeles' dari kejadian-kejadian nggak ngenakin. Kamu nggak perlu piara kambing untuk ngerasain enaknya sate kambing, kan?
=P
[dedicated to the Yogi and Si Maz. thanx for teaching and showing me how to live my life to the fullest!]
Tapi di kumpulannya sendiri dia tersisih, despite pengetahuan, posisi, status sosial dan 'isi' otaknya sekalipun. Bahkan ada beberapa orang yang berani mengancam secara fisik tanpa dia tau kesalahannya. Apa mungkin hanya karena dia ganteng?
Well, then. Beauty kills. Even when it happens to a man.
But there is more to life than just a look. There are things unrevealed with a sheer glance in the corner of the eyes.
Dan itu yang selalu gwa cari tau dalam (hampir) setiap pribadi. Masing-masing punya nilai yang lebih dari sekedar muka cakeup, tampang keren dan dandanan modis.
Mereka juga punya ketakutan. Dan mimpi.
Gwa amat sangat kagetnya ketika suatu waktu orang yang gwa anggap guru, kakak, bokap dan sahabat itu menuangkan dalam rangkaian pesan panjang di ponsel tentang kekhawatiran dan kesendiriannya, dimana teman yang dia punya hanya sebatas fungsi, bukan hati; sementara rumah baginya bukan lagi tempat tinggal para tetua melainkan metafor yang harus dia ciptakan sendiri. Dia bahkan masih sempat membuat analisa-analisa tajam terhadap diri gwa, tentang tempat kembali dimana gwa mungkin 'too sophisticated' untuk bareng keluarga serta mimpi tentang ruang dan waktu dimana dia merasa di rumah, pulang. Ternyata dia tetap manusia. Sama seperti gwa. Punya emosi, rasa khawatir, dan rindu 'rumah'.
Meski beda, kekhawatiran The Guru dan Si Ganteng dasarnya sama: rasa manusiawi yang membentuk mereka jadi manusia. Bedanya hanya dalam bersikap. The Guru konsisten dengan 'rumah' pilihannya dalam bentuk istri tempatnya pulang yang (setau gwa) nggak pernah mengeluh atau dikeluhkan. Si Ganteng masih punya tempat pengembaraan dan mimpi lain meskipun 'rumah' yang hampir sama telah dibangunnya selama hampir dua tahun ini. Dengan beberapa keluhan.
Dan gwa, anak nakal sok tau yang selalu jadi tumpahan omelan dan kebingungan dua manusia tersebut hanya tinggal menyerap, belajar dan mencoba bergerak maju sesuai velocity yang gwa mau. Based on their experience (tanpa mereka tau, tentunya! Ndak GR). And the big thing that I learn is: There is always responsibility in taking the consequences of the act based on my free will. Disitu (semoga) gwa bernilai.
Hey, pengalaman memang guru terbaik. Tapi yang paling baik adalah tidak mengalaminya sendiri melainkan berhasil 'ngeles' dari kejadian-kejadian nggak ngenakin. Kamu nggak perlu piara kambing untuk ngerasain enaknya sate kambing, kan?
=P
[dedicated to the Yogi and Si Maz. thanx for teaching and showing me how to live my life to the fullest!]
well, nobody's perfect, aren't they? however you define the reason of the word itself. that's what human is. the imperfect that try to be better..
ReplyDelete*worng fcous*
belajar dari pengalaman org bisa memperpendek jalan menuju roma kan?
ReplyDeletembu nampak komentator setia ya ..
ReplyDelete