An Employee Has Gone Insane
Teman tidak kasat mata itu bertanya, "Lu kerja nyari apa, Pit?"
Dengan angkuh saya menjawab, "Gwa kerja cari kepuasan karena tiap pagi gwa berangkat ngantor adalah tantangan, berhasil nggak gwa pulang dengan selamat dan bisa berangkat lagi besoknya setelah melacur mengerjakan sesuatu yang sebenernya bukan 'gwa'."
"Emang kepuasan bisa beli beras?"
"Nggak. Tapi ketika tantangan terpenuhi kompensasinya bisa buat beli beras."
Lalu saran dari dia ketika gwa sempat mengeluh nggak betah berada dalam ruangan dari pagi hingga petang.
"Lho? Kamu mau kerja dimana lagi yang bisa seenak sekarang? Bisa pake piyama dan celana pendek, nyendal, nyantai ama bos, ampe dibeliin kasur segala buat tidur..."
"Tapi kan tetep, judulnya di ruangan dari pagi ampe sore. Sering bete. Pengen mrilens lagi..."
"Nanti ga bisa beli sepatu dan kaos lagi..."
"Yah elah. Kalo lo bisa nyomblangin gwa dapet klien kan tetep bisa kebeli."
"Ya kamu ubah mindset aja. Anggap tiap kamu ke kantor itu seperti ke warnet gratisan. Kamu bisa online sesukamu. Nulis-nulis atau baca-baca apa kek. Dan kalo senggang baru kamu main-main kerjain laporan. Bukan kerja kan? Kalo lagi dapet frilens, baru itu kerja."
Ah! Great idea!
Tapi lama-lama tuntutan makin banyak. Yang terbesar adalah dari keluarga besar. Mereka kepingin sekali melihat saya seperti orang-orang kantoran pada umumnya, dengan professional outfit dan high-heels (ouch!). Proposal saya untuk bekerja di daerah bencana--dengan gaji dollar sekalipun--ditolak mentah-mentah karena nggak classy. Duh. Apa kerja di kantor dengan jeans dan sendal jepit itu classy? Atau ukuran classy hanya sesempit 'kerja di kantor' lalu titik?
Bagi saya, tantangan itu sekarang berpindah ke bawah menggantikan beras sementara beras sendiri naik derajat. Nggak munafik. Saya memang perlu materi. Tapi setidaknya harus ada monumen keberhasilan menaklukkan satu dunia bernama kantor yang dulu saya nggak pernah mimpi kecemplung di dalamnya.
Thus, apapun yang terjadi saya bakal tetap disana, tetap nge-warnet gratisan, tetap main-main dengan laporan dan terjemahan, tetap bermuka manis dan senyum mengembang setulus saya bisa, tetap berlapang dada nerima protes kanan-kiri, tetap merasa tertantang dengan tenggat...
Hingga mereka memecat saya atau saya bisa bawa pulang MacBook. Terserah yang mana yang duluan.
Haha!!!
Dengan angkuh saya menjawab, "Gwa kerja cari kepuasan karena tiap pagi gwa berangkat ngantor adalah tantangan, berhasil nggak gwa pulang dengan selamat dan bisa berangkat lagi besoknya setelah melacur mengerjakan sesuatu yang sebenernya bukan 'gwa'."
"Emang kepuasan bisa beli beras?"
"Nggak. Tapi ketika tantangan terpenuhi kompensasinya bisa buat beli beras."
Lalu saran dari dia ketika gwa sempat mengeluh nggak betah berada dalam ruangan dari pagi hingga petang.
"Lho? Kamu mau kerja dimana lagi yang bisa seenak sekarang? Bisa pake piyama dan celana pendek, nyendal, nyantai ama bos, ampe dibeliin kasur segala buat tidur..."
"Tapi kan tetep, judulnya di ruangan dari pagi ampe sore. Sering bete. Pengen mrilens lagi..."
"Nanti ga bisa beli sepatu dan kaos lagi..."
"Yah elah. Kalo lo bisa nyomblangin gwa dapet klien kan tetep bisa kebeli."
"Ya kamu ubah mindset aja. Anggap tiap kamu ke kantor itu seperti ke warnet gratisan. Kamu bisa online sesukamu. Nulis-nulis atau baca-baca apa kek. Dan kalo senggang baru kamu main-main kerjain laporan. Bukan kerja kan? Kalo lagi dapet frilens, baru itu kerja."
Ah! Great idea!
Tapi lama-lama tuntutan makin banyak. Yang terbesar adalah dari keluarga besar. Mereka kepingin sekali melihat saya seperti orang-orang kantoran pada umumnya, dengan professional outfit dan high-heels (ouch!). Proposal saya untuk bekerja di daerah bencana--dengan gaji dollar sekalipun--ditolak mentah-mentah karena nggak classy. Duh. Apa kerja di kantor dengan jeans dan sendal jepit itu classy? Atau ukuran classy hanya sesempit 'kerja di kantor' lalu titik?
Bagi saya, tantangan itu sekarang berpindah ke bawah menggantikan beras sementara beras sendiri naik derajat. Nggak munafik. Saya memang perlu materi. Tapi setidaknya harus ada monumen keberhasilan menaklukkan satu dunia bernama kantor yang dulu saya nggak pernah mimpi kecemplung di dalamnya.
Thus, apapun yang terjadi saya bakal tetap disana, tetap nge-warnet gratisan, tetap main-main dengan laporan dan terjemahan, tetap bermuka manis dan senyum mengembang setulus saya bisa, tetap berlapang dada nerima protes kanan-kiri, tetap merasa tertantang dengan tenggat...
Hingga mereka memecat saya atau saya bisa bawa pulang MacBook. Terserah yang mana yang duluan.
Haha!!!
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?