Kurban, Anyone?

Gambar diambil dari sini.

Semua ini gara-gara ada anak yang terlalu nakal sampai bapaknya ingin menyembelih…
- Kakek Botak Penggerutu yang keberisikan akibat TOA masjid bertakbir keras-keras tanpa henti

Halo! Sudah habis berapa tusuk sate kambing dan berapa mangkuk gulai sapi? Sudah cek kadar kolestrol? Atau sudah terlanjur pusing di bagian belakang kepala dan tepar nggak bisa ngapa-ngapain?

Kalau belum, mari saya bikin pusing sedikit.

Jadi ini sebenarnya kegelisahan saya setiap Idul Adha menjelang. Saya terganggu dengan tontonan brutal di lapangan-lapangan masjid berupa penyembelihan hewan kurban. Waktu saya kecil dulu saya pernah disuruh—entah Budhe atau Pakdhe, saya lupa—ikutan nonton juga. Walhasil saya nggak berani tidur malamnya karena masih terbayang mata—yang menurut saya—sedih para embek dan sapi yang menanti ajal di pisau jagal. Atas nama simbol bagi ritual agama.

Kemarin sembari takbir berkumandang di masjid dekat rumah Bu Anggi saya lihat ada salah seorang yang punya kegelisahan sama di "lapak sebelah". Menurut data dari berita, tahun 90-an banyak sekali daging kurban yang harus dikubur saking melimpahnya, di Arab sendiri dan di Indonesia. Dan lewat jejaring media sosial saya sempat lemparkan pertanyaan: bisa nggak sih ritual kurban diganti dengan hal yang lebih membawa manfaat bagi fakir miskin dan mereka yang nggak mampu? Seperti bagi sembako atau membuat instalasi air bersih, misalnya.

Untuk kasus hewan kurban melimpah sampai harus terbuang-buang, kita sudah ada solusinya: daging kalengan. Lembaga-lembaga semacam Dompet Duafa yang pintar sekali mencari peluang itu bahkan membina peternakan kambing dan sapi di desa-desa yang nantinya akan disodorkan ke calon pengkurban (saya nggak tahu istilah bahasa Indonesianya untuk orang yang berkurban). Badan amil ini membuat daftar jenis hewan dan spesifikasinya untuk dipilih dan disalurkan ke mereka yang berhak. Semua dilakukan tanpa harus rempong pilah-pilih embek di kandang bau dan becek. Oh, saya bisa ngomong gini akibat salah satu tetangga kamar saya dulu bekerja sebagai marketing di Dompet Duafa dan saya dikasih job nerjemahin beberapa brosurnya.

Terus masalah penggantian embek dengan sesuatu yang lebih membawa kemaslahatan?

Seperti yang saya kutip iseng di awal tulisan, dari sisi saya dan si Kakek Botak Penggerutu, kami yang nakal-nakal ini mengandai bahwa sebenarnya yang terjadi adalah bapak yang kesal karena ulah anak kelewat bengal. Makanya dia menakut-nakuti si anak dengan pura-pura menyembelih. Semacam untuk menimbulkan efek jera sebagaimana Amerika melakukan waterboarding untuk para tersangka teroris. Namun karena yang kita bicarakan adalah Pak Ibrahim, jadilah hal itu dikembangkan menjadi salah satu kisah yang kita nggak bisa konfirmasi kebenarannya. Oke. Saya ngelantur. Silakan azab saya, tapi jangan pedih-pedih.

Tapi gini lhooo…

Saya selalu ingat petuah guru agama saya kelas 6 SD. Waktu itu Bu Rodiah mungkin sedang agak stabil emosinya, tepat sehari sebelum libur Idul Adha. Jadi, saya selalu ingat ucapannya yang satu ini karena tumben sekali nggak nakut-nakutin pake api neraka. Menurut beliau, momen kurban adalah ketika kita menebar kasih sayang pada fakir miskin, memberi kesempatan pada mereka untuk sekali-kali menikmati daging yang biasa dimakan orang-orang yang lebih mampu.

Lalu saya berpikir, dengan banyaknya sumber mata air alami  di desa-desa terpencil yang dikangkangi korporat multinasional—halo, Aqua Danone dan Palyja!—sekarang ini air bersih hanya bisa dinikmati mereka yang berpunya. Nggak usah jauh-jauh lah sampai ke Situ Babakan Pari (yang namanya dulu sering kita baca di label air minum kemasan namun sekarang udah nggak pernah lagi; mungkin karena mata airnya sudah kering kerontang?) Di satu kampung nyempil sebelum Bintaro teman-teman saya sampai harus mengenalkan cara menggunakan toilet agar mereka nggak pergi ke tanah kosong bawa cangkul atau sekop dan bebersih pakai daun setiap ingin berhajat. Itu saking air bersih adalah sesuatu yang langka dan sangat berharga.

"Kegatalan benak" ini terjawab melalui twitter oleh salah seorang "abang" yang santri. Menurutnya, aturan kurban sudah sedemikian fixed sampai jenis binatang, usianya, dan tata cara berkurban sudah terjelaskan secara gamblang. Jadi, memang harus dituruti. Sudah dari sononya begitu, nggak bisa diganggu-gugat. Salah satu teman lain yang mengerti perihal pertanyaan saya berpendapat sama. Jika memang ingin membuat instalasi air bersih sebenarnya sumber dana bisa didapat dari zakat harta, infaq dan sadaqah. Ah! Saya kok baru kepikiran ya? Mungkin hal itu nggak pernah terlintas juga di benak siapapun yang mikirnya tiga sumber dana sosial itu hanya untuk membangun masjid (yang sayangnya selalu sepi kecuali Ramadhan).

Balik lagi ke masalah kurban yang melulu daging…

Ya hari gini gituloh… nyamuk aja udah pada bermutasi, jadi kebal sama obat macam apapun dan masih bebas berkeliaran meskipun kita udah nyemprot racun serangga berliter-liter setiap malam, yang hisapannya bahkan menembus celana jins. Seiring makanan yang berbagai ragam, penyakit juga bermacam-macam jenisnya. Salah satunya alergi. Saya kenal kok beberapa teman yang eksim atau asmanya kambuh atau sakit perut hebat tiap makan daging kambing atau sapi walau sedikit. Sama seperti saya yang mendadak jendul-jendul di sekujur badan tiap perut kena kepiting atau udang. Nah, dengan selalu mengadakan kurban berupa daging, saya kok ya kepikiran sama orang-orang nggak mampu yang juga nggak bisa makan daging itu ya? Jadi, saya kepikiran untuk bikin kurban berupa salad atau bahan gado-gado dan pecel, lengkap dengan bumbunya yang bisa langsung diseduh dan jadi. Lebih sehat dan bermanfaat sih sepertinya, ketimbang daging melulu yang berkolestrol tinggi.

Atau gini:

Tiap masjid yang jadi panitia kurban dan diserahkan amanah menyembelih juga menyediakan paket sembako. Ini bisa ditukar oleh paket daging. Jadi, yang nggak bisa/boleh makan daging bisa aman makan mie instan atau bikin nasi goreng. Pelaksananya bisa diambil dari para anggota Rohis atau bapak/ibu sekitar. Dananya bisa dari kas masjid yang diambil dari sumbangan Jumatan. Nah, paket daging yang ditukar itu bisa dijual lagi ke orang-orang yang kepingin bikin sate di rumah, merayakan hebohnya "Hari Kolestrol Nasional". Uangnya? Masuk ke kas masjid lagi. Semua senang, semua riang! Yay!  

Tapi ya gimana ya… jika usulan ini saya sampaikan ke mereka yang punya wewenang, saya nggak yakin pulangnya masih hidup. Lha wong orang-orang Ahmadi yang mau shalat 'Ied aja nggak boleh sama FPI, masjidnya dirusak dan pemeluknya diintimidasi akan di"Cikeusik"kan. Apalagi sama blantik-blantik modern, pedagang ternak masa kini. Mereka kan banyak menangguk untung dari cerita "anak nakal" itu. Mosok ya mau dikurangi to untungnya gara-gara provokasi cewek yang nggak jelas agamanya apa?!

Tapi serius. Saya memang nyinyir. Saya suka protes di tulisan. Itu karena saya nggak bisa ngerti. Tapi saya nggak cari masalah. Saya cari penyelesaian. Jadi, dengan segala kerendahan hati, saya minta, duhai sidang pembaca (kalau memang ada yang baca), untuk ngajarin saya supaya saya bisa paham. Silakan bantai argumen saya dengan apapun, asal masih bisa saya cerna. Tapi tolong pakai bahasa saya, bukan bahasa langit berupa azab neraka atau semacamnya.

Dan saya rasa meluangkan waktu untuk menerangi jalan pikiran saya yang lemot ini adalah kurban paripurna yang pasti akan diterima seru sekalian alam.

Monggo, saya tunggu pencerahannya di kolom komentar yang tersedia. Saya pasrah…

Oh, hampir lupa. Selamat Idul Adha! (=


 

Comments

  1. I like ur writing but not for this. :)
    kamu hrus tau sebab nya Nabi Ibrahim (hampir) menyembelih Nabi Ismail. Ismail bukan anak yg nakal.
    kamu bs search sejarah nya di om google. :)
    saya suka pendapat kamu tntang penyedian air bersih, tp untuk berkurban, itu memang suatu ke harusan bagi yg mampu untuk berbagi dengan yg kurang mampu. pengen bgt bisa ngejelasin nya dsni.
    tp saya takut salah ngomong. :)

    ReplyDelete
  2. Mbak Martha
    haha. kalo gw nulis buat disukain orang, gw udah jadi buzzer, mbak! tau buzzer kan? kalo nggak tau, googling. kalo udah tau, berarti kita satu sama untuk urusan nyuruh2 gugling (=
    santai aja, mbak. kecuali ada orang yg rese dan nge-report blog ini, omongan lu nggak pernah salah. gw juga nggak pernah delete komentar kecuali orang jualan.
    jadi, silakan jelasin ke gw. gw jamin. masalah dosa, gw yang nanggung. serius.

    ReplyDelete
  3. memang sudah ada aturannya untuk kurban kan, ngga mo balesin ttg aturan. masih merasa kerdil :p

    tapi pengalaman ngeliat pembantaian itu memang ngeri kok. adekku sampe detik ini ngga mau makan daging kambing. seharusnya anak2 kecil tidak diajak ngeliat kurban. hauhau.. cukuplah dengan pemahaman agama yang kuat. tapi, bisa ngga?

    ReplyDelete
  4. yah... sedih sih kalo ada orang beragama yg ga berani otokritik. tapi bukankah emang gitu ya seharusnya beragama? (=

    thanks, anyway...

    ReplyDelete
  5. Bagus usulan mengganti kurban dengan bukan daging!

    Saya setuju saja, namun bukan dalam artian syariat. Seperti diketahui tata cara berkurban memang sudah secara 'fix' dicontohkan oleh nabi Muhammad dan telah di bahas dalam kitab-kitab fiqih. Ini tak ubahnya dengan Sholat, haji dan beberapa syariat lainnya.

    Mengapa saya setuju? Karena berkurban dengan daging adalah simbol saja. Nilai kebajikan ibadah qurban BUKAN terletak pada persembahan DAGING hewan qurban, melainkan ketakwaan dan ketulusan (QS al-Hajj: 37).

    Jadi, inti dari ibadah qurban adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial.

    Kebanyakan kita lupa inti dari ibadah kurban, sehingga kita sering menganggap memotong kambing dan binatang-binatang lainnya itu adalah berkurban. Padahal itu hanyalah simbol belaka.

    I guess you know the story of this worship. But lemme remind you about this.

    Ada satu hal menarik yang bisa kita amati tentang sejarah tersebut. Mengapa Allah memerintahkan nabi Ibrahim melalui mimpinya untuk menyembelih anaknya Ismail?

    Karena Ismail adalah hal yang paling disayangi Ibrahim. Bertahun-tahun ia menunggu kelahiran anak itu. Dan ketika Allah menganugrahkan seorang anak, Ia ingin menguji Ibrahim. Bisakah ia mengorbankan sesuatu yang sangat disayanginya itu demi Allah.

    Ibrahim (juga Ismail) lulus melewati ujian tersebut dan Allah dengan kasih sayangnya mengganti tubuh Ismail dengan seekor biri-biri.

    Jadi sekali lagi inti dari ibadah ini adalah kesanggupan kita mengorbankan apa yang paling kita sayangi demi keridhaan Tuhan.

    Tentang apa yang paling dicintai, tiap-tiap orang tentu punya hal yang berbeda dari yang lain.

    Wallahua'lam. :)

    ReplyDelete
  6. Nailal

    exactly! gw paham banget. dan gw ngerti juga kalo kurban itu simbol. tapi gini lho...

    maksud gw, kalo itu memang simbol, kenapa sih nggak menitikberatkan praktek? semua orang, nggak di sini dan di lapak laen, selalu ngingetin gw masalah ke-fix-an syariat kurban. maksud gw, kalo aja ada gitu salah satu ulama progresif yg sangat didenger umat dan mendorong pelaksanaan banyak2 kurban yg laen, yg lebih perlu, gw rasa itu lebih maslahat. amat sangat sering sekali terjadi ketika agama hanya jadi "bahasa langit" nggak berpijak ke bumi, ketika lebih mentingin simbol daripada manfaat. sayangnya hampir semua ulama juga ngasih teladan gitu juga (halo, ulama2 yg berhaji tiap tahun instead of nyumbang mereka yg pengen berhaji tapi nggak mampu?).

    dengan begitu banyak peristiwa chaos berlatarbelakang agama, kenapa sih nggak ada public figure yg bikin adem umat dan orang2 lain di luar agamanya? it will be one hell of PR campaign, you know, ketika mengenalkan aturan dan pelaksanaan ritual agama yg bawa kemaslahatan pada manusia dan seisi alam, mewujudkan "rahmatan lil alamin" pada tulangsumsumya.

    sebenernya gw nantang para ulama nih buat praktekin keyakinan mereka. kalo emang Tuhan Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun dan semua 99 Maha dalam Asmaul Husna, kenapa nggak pada berani berbuat untuk umat dan membiarkan Tuhan Sang Maha menjadi hakim tertinggi di hari akhir nanti?

    ReplyDelete
  7. Ulama progresif itu banyak. Pemikiran-pemikiran mereka juga sangat membumi. Bahkan mereka telah banyak membukukan pemikiran-pemikiran itu. Silahka baca Islam Rasional-nya Harun Nasution. Baca juga pemikiran-pemikiran Ali Syariati, Jalaluddin Rakhmat atau bahkan Quraish Shihab dan Gus Dur. Dan tentu masih banyak lagi.

    Mereka telah menjawab tantangan yang lo kasih bahkan sebelom lo lahir. hehe

    Orang-orang seperti mereka masih banyak, bahkan sampai sekarang. Komen yang gue tulis di atas itu juga gue dapet barusan dari khotib Sholat Jum'at. Serius!

    Ada banyak public figure yang bikin adem umat dan umat lain di luar agama mereka. And I think we are the PR of their thoughts! :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?