Tentang Ibu Lagi

Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasihsayangmu, tapi
Jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka punya alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi meskipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmu 
Adalah panah yang meluncur…

- Kahlil Gibran


Waktu ngetik ini saya sedang kenyang jiwa-raga. Pagi saya terbuat dari tidur nyenyak semalam, nasi goreng bikinan Bu Anggi berbasuh teh manis panas buatan Babab. Sebagai anak jarang pulang dan (keukeuh) tinggal sendiri, hal-hal seperti itu yang terkadang bikin melankolor di kamar kos. Apalagi kalau sedang sakit. Beuh!

Saya termasuk anak beruntung memiliki orangtua demokratis yang masih mau mendengar dan nggak ngotot jadi yang maha benar. Sebangkotan ini pun ibu saya nggak sungkan mengelus kepala, memeluk atau mencium pipi anak-anaknya dan bilang “Ibu sayang kamu”. Seumur-umur saya dan adik jadi anaknya pun kami nggak pernah ditegur dengan keras. Ya paling langsung dihajar sih kalau kelewat bandel. Tapi itu masa laluuu…

Iya, saya memang sedang melankolor. Berapa hari sebelumnya seorang Mahmud Abas (mamah muda anak baru satu) mengeluh pada saya.

“Aku kok berasanya kayak ibu paling jahat sedunia lho, kalo cerita ke milis. Ya namanya jadi ibu kan kadang suka stress anak nggak pup beberapa hari, kerjaan freelance keteteran, air susu nggak keluar, atau pengen jalan-jalan dan main. Responnya seragam: hambok kamu itu jalaninnya ikhlas… Emangnya jadi ibu tuh nggak boleh punya kehidupan sendiri ya?”

Saya memang hanya diam mendengarnya, sambil memandang seonggok gundukan unyu berusia tiga bulan berkelamin perempuan tapi berbentuk mirip logo Michelin yang angler tidur sehabis disusui.

Saya memang telat masuk ke ranah “itu”, wilayah dimana semua orang sudah menikah dan beranak-pinak. Saya cuma pernah mengurusi dan mengasuh anjing tanpa pernah melahirkan satupun. Makanya saya nggak tahu susahnya menyusui bayi dan betapa menantangnya mendidik mahluk berlabel manusia. Tapi sepanjang hayat dikandung badan, saya adalah anak. Saya tahu rasanya jadi anak dan punya orangtua.

Saya merasakan kok gimana ibu saya juga nggak punya kehidupannya sendiri. Sejauh yang bisa saya ingat, perempuan paruh baya itu selalu dipanggil “Mamanya Icha” (adik saya, karena saya hampir nggak dikenal di lingkungan tetangga saking sangat jarang pulang) atau “Bu Bambang” dalam organisasi RW. Di lingkungan keluarga besar, Budhe, Pakdhe dan Mbah saya memanggilnya dengan “Nita” dan teman-teman sekolahnya dulu memanggilnya “Yuni”. Tapi seberapa sering sih dia dengar namanya sendiri dalam kesibukannya sebagai emak-emak yang harus mengurusi rumah dan seisinya?

Suatu hari lingkungan kami bikin radio komunitas dan ibu saya siaran, mengasuh acara keroncong di terik siang dengan “nama udara” Bu Anggi. Sejak itulah saya menyebutnya demikian, hanya untuk mengingatkan alam bawah sadar saya bahwa ibu saya punya identitas sendiri.

Lalu Bu Anggi saya curhati tentang para Mahmud Abas teman-teman saya itu. Untuk mengurus anak, menurutnya, sejak bayi pun dia sudah akan belajar pintar jika ibunya juga pintar. Berceritalah dia tentang hari-hari saya yang terbiasa tidur ditemani album Beatles, Rolling Stones dan ABBA agar selalu nyenyak dalam kondisi seberisik apapun karena dia harus beberes sendirian tanpa pembantu. Atau sebelum bepergian mengajak saya jongkok di toilet sampai pipis supaya dia sendiri nggak repot jika saya ngompol. Atau mendisiplinkan saya supaya duduk tenang ketika makan agar dia tak kerepotan membuntuti saya yang sibuk bermain.

Tapi ibu saya bukan ibu-ibu urban zaman sekarang. Manual parenting dia dapatkan sendiri mengikuti insting, tanpa Google maupun buku, atau support group berupa mailing list. Bantuan menyusui pun hanya kepala Babab yang dia bejek kuat-kuat menahan sakitnya gerusan lidah saya bayi (kemudian adik) pada putingnya. Sangat berbeda dengan teman-teman sepenongkrongan saya yang tadinya bekerja di agency besar atau ngantor di seputaran Kuningan lalu hidup mereka berubah setelah melahirkan. Buat yang ekonominya berlebih mungkin lebih dimudahkan, tinggal sewa pembantu atau pengasuh. Atau Papah Muda Siaga, pasangannya, bisa diberdayakan untuk gantian begadang nyusuin dedek pakai botol berisi susu hasil “memerah” ibu.

Saya sendiri nggak punya solusi untuk masalah ini. Lha wong saya, jangankan beranak-pinak, pacar aja nggak punya. (Iya, masalah terbesar di alam semesta ini harus terus didengung-dengungkan dalam blog, sekalian woro-woro cari pacar) Saya cuma minta, to dear society, have mercy on them, those Mahmud Abas the Urban Mommas. Di tangan mama-mama baru ini generasi penerus kalian dibesarkan dan dididik. Di tangan mereka, para ibu urban yang berusaha keras mendampingi anak-anak mereka melalui Golden Age, Indonesia bisa berharap nasibnya nggak blangsak-blangsak amat. Jadi ibu itu susah sekali, profesi 24/7 tanpa libur yang sering dikira magabut ongkang-ongkang kaki dan dituduh ngabisin duit suami, padahal nggak pernah ada appraisal maupun promosi, apalagi sekadar ucapan terima kasih. In the end, setelah mereka lelah mengurus anak-anak tambatan hati dan tujuan hidup, mereka juga harus melepas ikhlas menjalani hidup sendiri. It sucks, big time.

The least you can do, dear society, is to love them, listen to them. Help them by not judging. 

Dedicated to all new mothers all over the world. You RAWK! 

One happy and content baby. With eyes like these, no Mom could ever let her go. Courtesy of Mama Tikabanget.

Comments

  1. Anonymous12:50 PM

    aaaaahhhhhhh......pitooooooo....
    *peyukkkkk*

    ReplyDelete
  2. Nyunyu
    I love you more, Mom-to-be... hihi.

    ReplyDelete
  3. Thanks for your encouragement, to..

    Selain "sudah, ikhlasin aja..tugas ibu emang begitu..yada2..belakangan juga ada pakem2 harus begini harus begitu" yang terkadang membuat profesi ini makin sulit aja.. :"( *lho kok curhat?" :)))

    ReplyDelete
  4. Dewi the Yummy Mummy
    oh, ada pakem2nya ya? Bu Anggi dulu ga pake pakem2an kali ya makanya anaknya nggladrah gini ((=
    ndak papa kok curhat. bebas wes! kamu kan mamiku jugak karena Dek Gandhar panggil aku Kakak Pito ((=

    ReplyDelete
  5. Aaaaahhhh Pito mah nyebeliiinnn!!! *gemeteran ngetiknya*

    :)
    Pito mungkin lebih keibuan daripada gua. Anakmu kelak, sudah akan memiliki ibu yang baik.

    *cium buas dari Rapa*

    ReplyDelete
  6. Ranaaaaaaaaaaaaa


    *ciumin*

    ReplyDelete
  7. Rapa Emak Metal
    silakan… silakan…
    *mlumah*

    Tante Linda
    ndak terima ciuman kecuali dari cowok cakeup!
    *ceritanya Dek Rana yang ngomong*

    ReplyDelete
  8. Pitoooo...tersentuhhh, tq jd dpt kekuatan super duper haha.. It's happier being a mom to be (bener ga nulisnya, hehe)

    ReplyDelete
  9. YES! IT'S SUCK! BIG TIME!

    I can say it loud and clear with a capital, and I mean it! =))
    Udah gitu tetep aja lho ada yang ngertiin betapa capek jiwa raga kami ini, dan tetep menuntut macem-macem.

    May I sigh in here? :(

    ReplyDelete
  10. Bu Mitha
    ayo, kita ucapkan bersama-sama, "dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!"

    Mak Chic
    yang nggak ngerti itu simple aja sih. mereka dan kamu nggak saling berbagi sepatu. makanya nggak nyambung. boleh kok kalo mau menghela napas beraaaat sekali di sini. bebaaas *kekepin kenceng banget*

    ReplyDelete
  11. Mak Chic, I feel u *hugs...
    Sesi berbagi cerita ada yah?
    :D

    ReplyDelete
  12. monggo kalo mau sharing. ntar tak tembusin ke Bu Anggi yg lebih pengalaman. hehe.

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women