About Time, About Life

Life is life, fight for it… 

Sesiangan sampai malam kemarin ada berita hoax tapi manis yang menuduh saya berulangtahun. Saya sih cengar-cengir aja. Itu hoax ulangtahun kelima dalam setahun ini, dan sebagaimana hoax pada umumnya, nggak ada satu pun yang benar.

Saya jadi ingat paket berisi kaos yang saya kirim ke seorang sahabat. Dia bertanya-tanya sendiri karena tumben-tumbenan saya ngasih dia sesuatu. Wong biasanya dia terus kok.

"What was that for?" suaranya terdengar bingung di telepon.

"Consider it a late birthday present. Waaay too late," jawab saya. Ya gimana nggak telat, wong ultahnya Mei tapi saya baru ngasihnya Oktober! Haha!

"But I didn't do birthday anymore since last year," sahutnya. Saya tertawa.

"But why?" tanya saya lebih lanjut.

"I want to freeze the time…"

Jawabannya membuat saya ngakak jaya. Memangnya dia siapa bisa membekukan waktu?

Tapi gara-gara hoax kemarin itu saya seperti dipaksa untuk mikirin waktu. Saya selalu merasa kekurangan, padahal waktu nggak bisa dipegang. Mulai dari kerjaan yang keteteran, bacaan yang nglumbruk nggak kebuka, personal project yang tertunda hampir setahun…

Saya menganggap waktu sebagai musuh dalam selimut, a frenemy, sahabat yang serta-merta bisa menusuk dari belakang ketika saya lengah. Bagaimana tidak? Rasanya baru beberapa jam hari Senin, sekarang sudah Kamis lagi. Besok Jumat, lalu akhir pekan lagi. Besoknya sudah Senin. Begitu terus. Sementara saya sedang melatih kemampuan multitasking, menyelesaikan laporan dengan bermain game atau ngetwit—dan terbukti gagal.

Lalu beberapa hari yang lalu saya nggak sengaja nonton ini…



Itu video tentang Carly, pengidap autis yang "terjebak" dalam tubuh yang nggak bisa dikontrolnya. Dia suka mendadak menjedot-jedotkan kepala, melambai-lambaikan tangan membabi-buta, bergumam "hummmmm" panjang, atau menutupi kedua telinga sambil bergoyang maju-mundur. Setelah bisa cerita, Carly bilang bahwa baginya semua input rangsangan yang tertangkap indera begitu membanjirbandang. Semua prilakunya yang dianggap "gila" oleh orang awam sebenarnya adalah cara tubuhnya mengantisipasi banjir sensorik.

Carly punya keluarga hebat (sebagaimana semua keluarga dengan anak autis berjuang untuk bisa paham). Mereka, anggota keluarga Carly yang lain—termasuk saudara kembarnya—berusaha menjalin komunikasi melalui terapi. Hingga suatu hari, di usia sebelas, Carly mendadak mengetikkan satu kata di komputer "hurt", lalu lagi, "help", lalu lari ke toilet dan muntah. Dari situ mereka akhirnya mengerti Carly dan Carly berusaha mengerti keluarganya.

Saya nggak bisa ngebayangin rasanya jadi Arthur, ayah Carly. Dia menunggu sepuluh tahun untuk bisa ngobrol dengan putrinya sendiri, padahal dia dan istrinya yang mengasuh sejak bayi. Mereka mengulang cara, memperhatikan prilaku dan respon Carly terhadap apapun, namun kadang juga bicara di hadapannya seolah-olah Carly tidak ada di situ, setiap hari, setiap saat. SE. PU. LUH. TA. HUN!!! 87.660 jam!

Tapi waktu itu kan satuan yang dibuat manusia ya? Fosil tulang dinosaurus sendiri mungkin di masa lalunya juga nggak ngerti mereka hidup di zaman apa. Kita yang bikin satuan-satuan itu biar dasar pemahamannya sama, supaya ngobrolnya nyambung. Jadi, teman saya itu juga nggak salah-salah banget punya keinginan "membekukan waktu", membuat dirinya menjadi tetap tiga puluh dua di sepanjang sisa umur. Karena berapapun kita menghitung waktu, yang terjadi diantaranya adalah hidup. Jadi ya, jalani saja.

Nggak penting ya? Memang. In Iife, don't be so serious. No one gets out alive, anyway.


Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women