Oh, Jakarta!
Gambar diambil dari sini. |
Ini Jakarta, kata lain untuk Necropolis, tempat bersemayam manusia-manusia tanpa hati dan tanpa kemauan berpikir…
Saya mau cerita tentang beberapa minggu lalu di Pasar Rebo…
Awalnya adalah ajakan "kencan" bapak beranak satu di sudut Bogor. Karena saya buta daerah situ, ya saya ajak "pemandu pribadi" saya yang hampir seumurhidup bermukim di Ciawi. Setiba kami di sana, kami cekikikan seru sekaligus takjub melihat bayi lelaki umur tujuh bulan sedang berenang di kolam plastik.
Nggak berasa sudah malam. Menembus gerimis saya diantar ke Baranangsiang sama Mas Pemandu merangkap ojek. Fuck! Bus AC ke Lebak Bulus atau ke mana pun sudah nggak ada. Walhasil naik yang bukan AC. Sudah jam sembilan lebih, saya agak khawatir. Bukan apa-apa, saya agak-agak parno dengan angkutan publik yang nggak familiar. Udah sering ngalamin mulai dari yang digrépé, diajak ngobrol mesum, sampai dicopet. Tapi sebagai perempuan mandiri (cieee…) ya saya harus berani dong! Lagipula suara Mas Ojek menenangkan saya. "Udah, nggak apa-apa. Masih banyak perempuan pulang kerja jam segini. Kamu aman kok. Duduknya sama mbak-mbak aja," katanya.
Di tengah antah-berantah daerah Cimanggis busnya mogok, sodaraaa! Okelah, akhirnya pindah ke angkot biru dengan lampu temaram sewarna ultra violet.
"Kayaknya turun dari angkot gue bakal kena kanker deh. Berasa duit seratusan diterawang di bank nih…" komentar saya ke Mas Ojek lewat SMS yang beberapa menit sekali mampir di ponsel.
Kemudian… tadaaa! Nyampe dong di terminal Pasar Rebo. Masih gerimis sedikit. Saya langsung bergegas karena bus Bandung jurusan Lebak Bulus sedang berhenti menurunkan penumpang di seberang, pas lampu lalin sedang merah. Biasanya saya sering menyelinap masuk terburu-buru karena entah kenapa orang-orang yang berkumpul di pinggir jalan kelihatan sebal. Tapi dasar apes. Pas saya naik, pas penumpangnya sudah habis. Busnya sudah akan jalan lagi. Dan tas saya ditarik!
Saya yang sudah ada di anak tangga kedua langsung menoleh marah.
"Apaan lo?! Lepas nggak?!"
Bapak bertopi dan berjaket yang menarik tas saya nggak mau kalah.
"Turun! Turun!" teriaknya.
Saya nggak sadar orang-orang sudah ramai berkumpul. Mungkin karena teriakan si bapak. Tapi saya bersikukuh hendak naik, sampai pak supir dengan suara pelan berkata…
"Adek mendingan turun, Dek. Daripada ntar ribut. Itu tukang ojek ngerasa sewanya diambil…"
Bangsat! Saya memaki. Saya hentak tas saya dari tangan bapak sialan itu, lalu turun dengan menahan marah. Pengeeen banget nonjok mukanya. Tapi ya gila aja ngajak ribut tukang ojek yang gerombolannya ada di situ. Cari mati namanya. Diikuti tatapan murka orang-orang di sana, saya menjauh dan menyetop taksi. Sudah agak mereda ketika saya akhirnya membalas SMS terakhir Mas Ojek Baik Hati dengan telepon.
"Monyet nih tukang ojek Pasar Rebo! Mosok gue mau naek bis Lebak Bulus, tas gue ditarik. Disuruh turun pulak sama supirnya! Bangke!"
Lalu saya ceritakan kejadian yang nggak sampai lima menit tapi rasanya lama sekali itu. Dia hanya tertawa.
"Oh, that's "Lampung Style"," katanya.
Lalu Mas Ojek Baik Hati (nggak kayak yang di Pasar Rebo) itu bercerita bahwa di tempat perkebunan keluarganya di Lampung ada peraturan tidak tertulis tentang bagi rejeki. Jika kamu berhenti di pangkalan ojek dan dijemput teman atau keluarga, maka penjemput harus membayar sejumlah uang ke para tukang ojek itu sebagai ganti penumpang yang "direbut".
"That's bullshit!" ujar saya sambil tertawa juga.
"That's reality," sahutnya.
Lalu saya berpikir tentang beberapa kejadian di tempat saya menunggu angkutan umum, ketika beberapa mas-mas dan mbak-mbak berwajah polos dan lugu dengan bawaan kardus dan ransel sarat barang di"sepik" tukang-tukang ojek dan supir-supir taksi nggak jelas dengan kata-kata merdu-merayu dan bumbu ditakut-takuti supaya mau diangkut. Saya yakin lah di terminal dan pemberhentian angkutan hal-hal seperti ini juga banyak sekali ditemui. Di beberapa tempat seperti itu bahkan ada polisinya. Tapi ya saya nggak heran sih kalau nggak ada satupun penanggungjawab yang bergerak atau setidaknya menertibkan. Lha wong ada korban kecelakaan di tengah jalan di jam sibuk aja nggak ada orang yang gerak juga kok. Mau berharap apa dari orang-orang buta keadaan tapi nggak buta kekuasaan dan duit seperti mereka ini?
Di satu sisi tukang ojek itu memang cari makan. Hanya caranya yang nggak etis. Sama nggak etisnya dengan perampok pulsa berlabel perusahaan telekomunikasi yang menyedot saldo tanpa diketahui pemilik. Sama nggak etisnya dengan tukang taksi yang membulatkan argometer ke atas dengan dalih nggak ada kembalian. Sama nggak etisnya dengan kolusi supir dan kondektur yang oper-operan penumpang. Sama nggak etisnya dengan birokrasi yang dipersulit di instansi-instansi pemerintah supaya calo merajalela. Sama nggak etisnya dengan buzzer manipulatif yang "jualan" dengan membabi-buta. Sama nggak etisnya dengan tenaga marketing cari nasabah kartu kredit yang nggak tanggap dengan nada suara sebal per telepon.
Makanya, tinggal di Jakarta (dan di daerah manapun di Indonesia) kita harus pintar-pintar jaga diri dan baca situasi. Kita—rakyat—nggak lebih dari komoditas yang duit pajaknya disedot untuk menggaji aparat pemerintah gendut-gendut yang berumah di gedung pantat, yang kerjanya cuma jalan-jalan studi banding atau tidur ketika rapat, menuntut minta naik gaji, tunjangan dan fasilitas, and when things fucked up, hanya bisa bilang "saya prihatin…"
Hey, ini Jakarta!
wah buzzer dibawa-bawa hahaha
ReplyDeletewell di Jakarta tanpa duit itu sengsara sekali deh
Kupikir kamu ngga takut loh keluar malam-malam begitu, abis kesanku kamu "wanita malam" maksudnya tidur pagi, bangun malam :D
Nte Em
ReplyDeletesepertinya lagi ngetren soalnya. haha!
nggak takut sih, Nte. asal daerahnya familiar. lagian kan gw kalo keluar malem juga stay di satu tempat, nggak mobile. kalo mobile pun biasanya sama temen2, naek motor atau di dalem mobil. nggak sekeren itu lah gw kemana2 sendirian ((=
Eh info dong... Trus naek taxi dari pasar rebo ke lebak bulus berapa duit ya?
ReplyDeleteTrims
ndak tau. sampe pondok indah sih 42 deh kalo ga salah.
ReplyDelete