The Silent Scream
Lelaki tak pernah menangis, tapi hatinya berdarah.Kutipan dari om-om mbois wangi kolak, diambil dari entri di blognya.
Dulu, saya paling anti sama cowok cengeng pengeluh, tukang sambat, dan seperti nggak bisa liat bagaimana indah dunia yang sedang ia jalani meskipun segala macam masalah menghadang di depan. Saya mendapati contoh nyata di Babab, lelaki paling nyantai sedunia (dan akhirat?). Sebesar apapun masalah, saya tidak pernah mendapatinya menangis. Kecuali ketika kedua orangtuanya, kakek dan nenek saya, meninggal dunia.
Didikan ibu saya yang keras, yang nggak segan-segan memungut gagang sapu atau kemoceng untuk 'menghajar' saya ketika saya nakal, dari kecil hingga saya besar, membuat saya juga anti menangis. Bagi saya, menangis saat dihajar adalah kekalahan. Karena diam tidak mengaduh dan menentang sepasang mata kalap nan murka—yang biasanya seteduh tajuk beringin di siang hari—adalah perlawanan.
Namun saya sempat tertegun, diam tak bergerak dan hampir lupa bernapas, memandangi layar monitor menampilkan baris demi baris ketikan dari seorang lelaki yang mengaku, terang-terangan, bahwa ia menangis sewaktu menonton Up. Iya, film Disney itu, yang bercerita bahwa janji harus ditepati meskipun objek yang diberi janji sudah termakan belatung bertahun-tahun lalu.
I knew how the old fart felt when he looked at the picture of his dead lover.
Begitu katanya.
Saya tidak terima. Saya marah hanya karena dua baris pernyataannya: bahwa ia menangis dan ia bernostalgia.
Saya dan dia tidak sekalipun pernah duduk bersama pada satu meja. Saya juga nggak tau mukanya kayak gimana. Yang saya kenal hanya tulisannya, berkata-kata halus namun sarkas dan saya jadikan guru tanpa ia sadar saya ada, bertahun-tahun silam. Saya ikuti setiap tulisan, setiap komentar, setiap balasan. Dia yang saya 'kenal' bukan sebagai cowok payah, berlarut-larut dalam melankoli masa lalu, tercarut-marut mengagungkan orang yang tak teraih, tak terjamah, tanpa cela.
Dia... mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Dan saya benci itu.
Menangislah, karena menangis adalah penyucian jiwa
Al Ghazali
Gambar diambil dari koleksi wallpaper saya yang saya lupa ngembat dimana.
kalo kebanyakan menangis jiwanya jadi lembek...
ReplyDelete--ngaca--
Yeah we bleed,
ReplyDeleteand tears are only for deaths!
and sometime a good movie such as UP :D
sisi belakangnya bulan yang baru muncul (ato baru gue liat)...
ReplyDeleteeuh, kata2 gue ga bagus
intinya, ini pertama kalinya gue baca tulisan lo yg berbagi anuh XDDD
tp skrg gue ngerti, kenapa lo takut kalo ketemu malah bakal ngerusak semuanya.
Lagian.. UP itu bagus buat ngecek apa masih ada bit of "humanity" inside of us
ReplyDelete*lhooo *
yakin lw ngomong nangis nangis???
ReplyDeleteah, miris membacanya :D
Freaky Freak (or nDaru, i presume?)
ReplyDeleteyou're not the only one, beib. melembekkan jiwa bisa dengan cara apapun (=
Eru
yada, yada, yada... *rolling eyes*
Lea
gitu deh. we're in the same boat kan?
Zul
euh? maksud?
menangis itu sehat kan, ndhuk? :D
ReplyDeletesehat, mboook. sehaaaaat...
ReplyDeleteTulisan ini uapik tenan cuk...
ReplyDeletekadang kita endak nangis bukan karena kita endak sedih, tapi terlalu sedih buat nangis
ReplyDeleteTante Sofi
ReplyDeleteaku tau
*jumawa*
dan aku kangeeeeeeunnnn )=
kamu kemana ajaaaaaaaaaa?! )=
Mbak nDaru
hihi... *manggut-manggut*