One Hell of a Closing Weekend
Mas-mas yang ganteng-ganteng dan pintar gambar tapi jarang mandi disini membuat saya harus pulang lewat jam sebelas pada Minggu malam, menembus rinai gerimis untuk sampai di shelter Dukuh Atas. Saya nggak salahkan mereka, karena saya pun telat datang. Dan mereka, meskipun late comers, celakanya tahan lama di kelas. Mau saya bawa bahan susah, kek; gampang, kek; babat teruuuus. Bakal selalu di-'no'-in sebelum dua jam lewat, walaupun saya berkali-kali nanya 'enough?'. Hihi.
C01, angkot Kijang putih jurusan Senen-Ciledug, membawa saya dari Dukuh Atas ke prapatan Melawai. Tumben banget, taksi burung biru nggak ada yang lewat. Dengan menyandang ransel di depan, saya keluarkan rokok sambil menunggu. Tiba-tiba saya dengar suara-suara berisik dan cempreng. Ternyata ada dua waria menyandang kotak karaoke full treble, mengenakan rok mini dan tanktop, wig panjang sepunggung, dan bedak tebal lima senti.
Mereka agak kaget karena saya perhatikan, namun tetap berjalan mendekat ke arah saya. Iseng, saya tawarkan bungkus rokok terbuka yang menyisakan beberapa batang.
"Mau?"
Sambil tertawa kenes dan terus nyerocos mereka mengangguk dan mengambil bergiliran.
Awalnya kami hanya ngobrol ngasal. Mereka bertanya saya pulang kemana, dari mana, bercerita tentang Intisari, semacam jamu beralkohol yang harus mereka minum tiap malam biar nggak tepar kelelahan. Standar. Dan mereka masih memanggil saya kakak. Sampai salah satu dari mereka sadar.
"Eh, iya. Belum kenalan. Aku Regina. Ini Septi," kata salah seorang waria sambil mengulurkan tangan kanan dengan gemulai ke hadapan saya, bergantian.
"Halo. Aku Pito," sahut saya menjabat tangan mereka yang jauh lebih besar.
"Oooh... Mas Pito..."
Saya kaget.
"Waduh, saya perempuan," protes saya.
Mereka masih nggak percaya dan tertawa-tawa. Saya rada sebel. Akhirnya saya menurunkan ransel dan menunjuk dada saya.
"Tuh... aku punya susu!"
Mereka masih tertawa.
"Samaaa... Akika jugaaaa... Haha!"
Saya hanya garuk-garuk kepala. Mau marah, susah. Nggak marah, kok ya nyebelin ya mereka itu.
Setelah tawa mereda, mereka memandangi wajah saya sambil sikut-sikutan.
"Eh, iya lho. Dia cewek. Pantes aja mukanya lebih alus. Nggak kayak kita yang dempulan. Haha!"
Oke. Saya tersenyum lega. Namun pertanyaan Regina selanjutnya bikin saya melongo yang kedua kali.
"Eh, Kakak. Maaf ya. Beneran nih, maaf... Gini, Regina pengen tau. Kalo akika kan banci, yah. Kalo Kakak cewek, kan? Tapi rambut Kakak pendek banget, terus gayanya kayak cowok. Ini maaf ya, Kak. Jangan marah ya, Kak. Kakak lesbian ya?"
HUWANJING!!! Maki saya dalam hati. Bukan berarti jadi lesbian adalah nista. Namun ketika orientasi seksual saya dipertanyakan pada kali pertama berkenalan adalah hal yang jauhhhh di atas menyebalkan levelnya.
Saya menarik nafas panjang dan tersenyum, mengais-ngais sisa stok sabar saya yang mendadak tinggal sedikit sekali.
"Sayangnya nggak. Saya masih suka laki-laki," jawab saya sambil memaksa lengkungan menaik di bibir tetap pada tempatnya.
"Ahhh... Sama dooooong!!!" Hahaha!" Mereka menyambung. Kompak.
Sambil menghabiskan rokok, mereka merencanakan daerah jajahan malam itu. Siapa yang akan pergi kemana, mengamen berbekal pakaian seksi dan kotak hitam yang suaranya nggak ada bass-nya sama sekali. Setelah sepakat, Regina berbalik menghadap saya.
"Kak Pito, makasih ya rokoknya. Besok-besok kalo ketemu Regina sama Septi jangan sombong ya..."
"Iya. Pasti. Nanti kutawarin rokok lagi," sambung saya.
Saya kembali menjabat tangan besar yang terulur ke arah saya. Mendadak, saya ditarik dan pipi saya ditempelkan, kanan dan kiri, pada pipi berdempul Regina. Hal yang sama terjadi pada Septi, yang kali ini memberi saya bonus pelukan dan elusan beberapa kali di punggung.
Saya bengong lagi, ketiga kali, melihat mereka menyebrang jalan sambil berlari cekikikan riang-riang...
C01, angkot Kijang putih jurusan Senen-Ciledug, membawa saya dari Dukuh Atas ke prapatan Melawai. Tumben banget, taksi burung biru nggak ada yang lewat. Dengan menyandang ransel di depan, saya keluarkan rokok sambil menunggu. Tiba-tiba saya dengar suara-suara berisik dan cempreng. Ternyata ada dua waria menyandang kotak karaoke full treble, mengenakan rok mini dan tanktop, wig panjang sepunggung, dan bedak tebal lima senti.
Mereka agak kaget karena saya perhatikan, namun tetap berjalan mendekat ke arah saya. Iseng, saya tawarkan bungkus rokok terbuka yang menyisakan beberapa batang.
"Mau?"
Sambil tertawa kenes dan terus nyerocos mereka mengangguk dan mengambil bergiliran.
Awalnya kami hanya ngobrol ngasal. Mereka bertanya saya pulang kemana, dari mana, bercerita tentang Intisari, semacam jamu beralkohol yang harus mereka minum tiap malam biar nggak tepar kelelahan. Standar. Dan mereka masih memanggil saya kakak. Sampai salah satu dari mereka sadar.
"Eh, iya. Belum kenalan. Aku Regina. Ini Septi," kata salah seorang waria sambil mengulurkan tangan kanan dengan gemulai ke hadapan saya, bergantian.
"Halo. Aku Pito," sahut saya menjabat tangan mereka yang jauh lebih besar.
"Oooh... Mas Pito..."
Saya kaget.
"Waduh, saya perempuan," protes saya.
Mereka masih nggak percaya dan tertawa-tawa. Saya rada sebel. Akhirnya saya menurunkan ransel dan menunjuk dada saya.
"Tuh... aku punya susu!"
Mereka masih tertawa.
"Samaaa... Akika jugaaaa... Haha!"
Saya hanya garuk-garuk kepala. Mau marah, susah. Nggak marah, kok ya nyebelin ya mereka itu.
Setelah tawa mereda, mereka memandangi wajah saya sambil sikut-sikutan.
"Eh, iya lho. Dia cewek. Pantes aja mukanya lebih alus. Nggak kayak kita yang dempulan. Haha!"
Oke. Saya tersenyum lega. Namun pertanyaan Regina selanjutnya bikin saya melongo yang kedua kali.
"Eh, Kakak. Maaf ya. Beneran nih, maaf... Gini, Regina pengen tau. Kalo akika kan banci, yah. Kalo Kakak cewek, kan? Tapi rambut Kakak pendek banget, terus gayanya kayak cowok. Ini maaf ya, Kak. Jangan marah ya, Kak. Kakak lesbian ya?"
HUWANJING!!! Maki saya dalam hati. Bukan berarti jadi lesbian adalah nista. Namun ketika orientasi seksual saya dipertanyakan pada kali pertama berkenalan adalah hal yang jauhhhh di atas menyebalkan levelnya.
Saya menarik nafas panjang dan tersenyum, mengais-ngais sisa stok sabar saya yang mendadak tinggal sedikit sekali.
"Sayangnya nggak. Saya masih suka laki-laki," jawab saya sambil memaksa lengkungan menaik di bibir tetap pada tempatnya.
"Ahhh... Sama dooooong!!!" Hahaha!" Mereka menyambung. Kompak.
Sambil menghabiskan rokok, mereka merencanakan daerah jajahan malam itu. Siapa yang akan pergi kemana, mengamen berbekal pakaian seksi dan kotak hitam yang suaranya nggak ada bass-nya sama sekali. Setelah sepakat, Regina berbalik menghadap saya.
"Kak Pito, makasih ya rokoknya. Besok-besok kalo ketemu Regina sama Septi jangan sombong ya..."
"Iya. Pasti. Nanti kutawarin rokok lagi," sambung saya.
Saya kembali menjabat tangan besar yang terulur ke arah saya. Mendadak, saya ditarik dan pipi saya ditempelkan, kanan dan kiri, pada pipi berdempul Regina. Hal yang sama terjadi pada Septi, yang kali ini memberi saya bonus pelukan dan elusan beberapa kali di punggung.
Saya bengong lagi, ketiga kali, melihat mereka menyebrang jalan sambil berlari cekikikan riang-riang...
bwahahahahahahaha.....enough ??
ReplyDeletekalo liat blognya yang sangar ini orang juga pasti mikirnya sampeyan cowok :p
ReplyDeletebesok2 kamu pake rok mini n tengtop aja pit hehehe.. :P
ReplyDeleteNunu
ReplyDeleteya... namanya juga belajar freestylin' =P
Mas Stein
haha! iya, udah sering dipanggil 'mas', online dan offline! haha!
Papa Kelsa
hayah! rainyaaa!
buset ini mah menyeramkan.. haha. masih ada orang lain ga di situ? dulu gue pernah lagi tipsy pulak, jalan kaki jam 4 pagi dari ck cikajang. tiba2 ada bencong naik mobil, badannya gede2, 3 orang, berenti persis di sebelah gue.. gue sok tegas aja padahal mah jiper juga haha..
ReplyDeletepengen liat mbak pito dengan rambut panjang deh...
ReplyDelete*kaburpelanpelan*
El
ReplyDeleteebusetdah! huahahaha! ga percuma ya lu kerempeng! *euh?*
SiNyong
mestinya kita tetanggaan jaman aku masih SD dulu. pasti kamu bakal liat rambutku panjang :D
quite an unique experience...
ReplyDeleteand i found it unique too to have you here, Bro Id (=
ReplyDeleteaku selalu sedih kalo liat mereka. entah kenapa.. :(
ReplyDeleteKalo begini trauma gw.. pernah dibilangin
ReplyDelete"mas mau? gratis deh.. ga pake gigi" mana temen2nya pada pake dress manjat2 pagar sambil teriak-teriak kaya onye :|
Itu, waktu masi kuliah jalan sendirian deket taman lalin. Di bali sih belum ngeliat lagi
gue ngakak di depan monitor. hwahahhahaha...
ReplyDeletetp ga dimana2 ya pit, pasti deh orang bawaanya pengen ngobrol lama mulu ama lo.
btw, biar susu gue lebih kecil dr elo, tp gue ga pernah dituduh laki atau lesbi ama bencong. HWAHAHAHWAHHAWHAHW
wuih...baru nyadar gue...si pito udah pinter niruin bahasa binan...huhuy...yuk mari cin....
ReplyDeletedari semua posting yang saya baca di blog mbak Pito, kayaknya baru di postingan ini mbak Pito terbengong-bengong lebih dari sekali...
ReplyDelete--eh, baru baca tahun 2010 doang ding --
Simbok V(agina? =P)
ReplyDeletelho? hidup kan sudah seharusnya jadi perayaan, mbok. mereka merayakan kok dengan cara hidup seperti itu sekali pun. ga usah sedih ya (=
Eru
ya aturan lu jawab aja: "ga usah, mbak. makasih. saya mending ngeboongin adek saya pakek tangan saya sendiri aja. lebih aman dan terjamin." gitu!
Lea
ya nasib, punya muka ga beda ama tong sampah. bawaannya orang pen buang sampah mulu =P
Nyunyu
ebuset! keracunan mulu gwa ama elu! koreksi: gwa ga bisa ngomong bahasa binan, bisanya nulis. yuuuuuk!
Freaky Freak
ah, kamyu sotoy deh. saya sering bengong kok. tau2 bau. hihi.