About Redemption
Lisannya bercerita tentang kehilangan nan kelam, selepas tengah malam. Sepasang matanya menyiratkan sakit meski tubuhnya bersandar santai pada kursi. Saya hanya diam dan merespon dengan ucapan konyol agar sesak yang juga saya rasa tak mengemuka.
"Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa aku dapat melupakan perasaan bersalah karena kehilangan ini. Tidak sehari pun," ujarnya sambil menerawang.
"Jika tidak karenaku, maka dia masih akan berlarian, masih menemani mereka yang dia kasihi, akan menyambutku setiap aku pulang..."
"Everything happens for a reason, Mas," ujar saya. Mendadak, televisi yang menyala di hadapan kami menjadi sangat menarik buatku meskipun hanya menampilkan berita basi tentang bom dan teroris yang tersudut di kamar mandi.
"I know. It's just..."
Selanjutnya ada pembelaan, ada kesadaran, ada ketakberdayaan, lalu diam. Di penghujung kalimat terbata, dia ungkapkan kenyataan.
"For all I've done in the past, it's all coming back to me now. Damn."
Kata-kata menggantung di udara dan kami beralasan untuk menghindari percakapan. Saya tau lukanya masih segar. Dan saya kaget karena dia membicarakannya dengan saya.
Ingin rasanya mengguncang tubuhnya dan berteriak bahwa dia orang baik, apapun yang pernah dilakukannya dahulu. Meskipun kadang bejat sesekali, kesalahan tidak terletak padanya penuh seluruh. Saya hanya lihat kepeduliannya terhadap orang lain, empati pada mereka yang kesusahan, kemauan untuk berubah, dan kekukuhan terhadap apa yang dia pilih. Itu saja.
Namun rasa bersalah pada apa yang pernah dia lakukan menghantuinya tiap hari, tiap detik. Dan apapun yang ia lakukan, apapun yang orang lain katakan, tak akan mampu menebusnya.
Rasanya saya lupa dimana saya pernah meninggalkan rasa bersalah dari kepala saya. Mungkin saya memang tidak pernah merasa bersalah karena sifat egois saya yang jumawa atas pilihan sendiri. Meski kadang tersandung dan harus jatuh berkali-kali.
"Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa aku dapat melupakan perasaan bersalah karena kehilangan ini. Tidak sehari pun," ujarnya sambil menerawang.
"Jika tidak karenaku, maka dia masih akan berlarian, masih menemani mereka yang dia kasihi, akan menyambutku setiap aku pulang..."
"Everything happens for a reason, Mas," ujar saya. Mendadak, televisi yang menyala di hadapan kami menjadi sangat menarik buatku meskipun hanya menampilkan berita basi tentang bom dan teroris yang tersudut di kamar mandi.
"I know. It's just..."
Selanjutnya ada pembelaan, ada kesadaran, ada ketakberdayaan, lalu diam. Di penghujung kalimat terbata, dia ungkapkan kenyataan.
"For all I've done in the past, it's all coming back to me now. Damn."
Kata-kata menggantung di udara dan kami beralasan untuk menghindari percakapan. Saya tau lukanya masih segar. Dan saya kaget karena dia membicarakannya dengan saya.
Ingin rasanya mengguncang tubuhnya dan berteriak bahwa dia orang baik, apapun yang pernah dilakukannya dahulu. Meskipun kadang bejat sesekali, kesalahan tidak terletak padanya penuh seluruh. Saya hanya lihat kepeduliannya terhadap orang lain, empati pada mereka yang kesusahan, kemauan untuk berubah, dan kekukuhan terhadap apa yang dia pilih. Itu saja.
Namun rasa bersalah pada apa yang pernah dia lakukan menghantuinya tiap hari, tiap detik. Dan apapun yang ia lakukan, apapun yang orang lain katakan, tak akan mampu menebusnya.
Rasanya saya lupa dimana saya pernah meninggalkan rasa bersalah dari kepala saya. Mungkin saya memang tidak pernah merasa bersalah karena sifat egois saya yang jumawa atas pilihan sendiri. Meski kadang tersandung dan harus jatuh berkali-kali.
Saya tidak pernah berpikir tentang penebusan, namun saya tau saya salah. Dan saya juga sulit meminta dan memberi maaf, karena maaf yang saya ucapkan berjuta kali tidak akan membuat semuanya jadi lebih baik kecuali jika saya berubah.
Yang saya ingat, saya sudah lama tidak pulang.
yowes ndak muleh pit nek wes sadar
ReplyDelete