Some Kinda Shoutout

Saya pernah diprotes seseorang yang mengira saya orang Jogja asli. Dia bilang untuk ukuran perempuan Jogja saya tergolong kasar karena seneng misuh. FYI ya Mbak. Bibit saya Portugal. Ibu Purworejo (meski lahir dan besar di Jakarta) dan Babab Tegal (ya, saya bangga berdarah Tegal karena di Jakarta para esmud nggaya berduit sedikit, tukang ojek, buruh pasar dan tukang kain nggak mampu makan jika tak ada Warteg). Saya lahir di Depok, Jawa Barat. Kelas tiga SD saya pindah ke LA, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. SMP kelas satu saya pindah ke Depok (lagi). SMA saya pindah ke Bekasi ikut orangtua saya yang pindah duluan ke sana. Kemudian Babab dan Ibu saya yang belagu itu pengen anaknya jadi sarjana. Jadilah, saya terbuang di Jogja. Tanpa menghasilkan ijazah, tentu. Jadi, santai saja, Mbak. Jogjamu bersih tanpa saya. Pék en wes. Gak ngurus.

Namun entah kenapa saya selalu merasa Jogja adalah pulang. Disana saya berproses menghadapi Jakarta, kota saya sendiri. Di Malioboro saya pernah nongkrong bersama para pengamen jalanan hingga adzan subuh menjelang, berbagi berbatang-batang rokok dan cerita. Saya juga pernah ngopi bareng banci dan tukang becak di angkringan depan Panti Rapih saat malam bergulir pagi. Atau hanya mendongak di trotoar Terban menghitung bintang bersama anak-anak tak berumah. Kamu pernah seperti itu, Mbak, di Jogja, (mungkin) di kotamu sendiri?

Saya tidak pernah lupa ketika wajah kusam-layu-lusuh mendadak berbinar terang melihat raut muka saya yang mereka kenal tapi amat sangat jarang ketemu. Tanpa sungkan mereka teriak, "Su! Néng ndhi wae gak tau ketok?!". Atau, "Wooo... Bajingan! Ra tau dolan!". Buat saya, jutaan home theater terkeren dan termahal nggak bisa ngalahin indah dan medunya sapaan ramah penuh persahabatan dari tubuh-tubuh dekil berkulit tembaga itu.

Buat saya pisuhan adalah ekspresi terjujur dari dasar jiwa, terapi termurah dan tergampang sebagai pelepas ketegangan. Makin kotor dan kencang diteriakkan, makin kental emosi itu. Entah senang entah sebal. Makanya Kak Dontjeh pernah bilang bahwa misuh itu haram separo-separo. Jika kasar, kasar sekalian. Jika mangkel namun tidak ingin dibilang nggak berpendidikan karena bermulut kotor, diamlah. Telan emosimu dan pendam dalam perut agar terbuang bersama tahi yang akan mengambang di kakus, dibanjur, untuk kemudian masuk ke dalam septikteng. Seperti bangkai yang coba kamu tutup rapat, toh semerbak tahi itu akan tercium juga saat septikteng bocor atau penuh. Bagus jika bau itu hanya mampir di indra penciumanmu. Namun jadi bangsat bagi tetanggamu jika mereka harus menjepit hidung dengan jempol dan telunjuk berbarengan dengan raut mengernyit jijik tiap lewat depan rumahmu. Konon, mangkel yang tertelan itu menambah aroma tahi jadi makin sedap. Haha!

Tapi saya punya salah satu belahan biji yang mengharamkan kata-kata kotor keluar dari bibirnya yang oh-so-sexy-tanpa-pernah-tersentuh-asap-tembakau itu. Buatnya, jika bisa tidak misuh kenapa harus misuh? Yah, saya curiga dia jelmaan Yudistira yang punya darah sewarna tulang saking sabarnya. Pertemuan pertama, kedua, ketiga, dan kesekian kali pun telinga dan wajahnya amat sangat tenang meredam ledakan emosi saya yang naik turun saat bercerita--dan misuh.

Sungguh, misuh itu preferensi masing-masing. Monggo jika nggak suka misuh dan dipisuhi. Silahkan jika kebalikannya. Namun jika pisuhan itu bukan untukmu... NGGAK USAH GE ER DEH, NJING! TAI LU, BABI!

ps. untuk daftar pisuhan yang komprehensif, silahkan klik disini.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women