Love is In the Air
Satu jam lima menit dari tengah malam dan saya baru selesai mandi: usaha terakhir saya jika ingin segera lelap. Meski di luar rinai hujan melenakan, kamar sejuk, nyaman dan bersih serta seprai masih wangi pelembut, saya belum juga mengantuk. Jika saya memaksa rebah, saya hapal di luar kepala runtutan kejadiannya. Begitu lampu dimatikan dan mata terpejam, lima belas menit pertama adalah pertarungan saya dengan bantal dan guling yang nanti hanya berakhir sebagai penutup kaki--dua-duanya. Lima belas menit berikutnya adalah repotnya saya dengan selimut sambil mencari posisi (biasanya telungkup dengan satu kaki sedikit tertekuk dan wajah menghadap ke kiri). Lima belas menit lagi adalah usaha saya untuk menenangkan pikiran dan berusaha rileks, dan pasti bakal gagal. Jika saya masih memaksa, tiga puluh menit kemudian saya akan bangun dengan tampang kusut, rambut awut-awutan, beranjak dari tempat tidur sambil menenteng rasa sebal lalu menyalakan lampu sambil menggerutu. Daripada menghabiskan dua setengah jam hanya untuk mencoba tidur dan gagal, akan lebih baik jika saya mengasah ketrampilan mengetik (dan berharap kelelahan lalu jatuh tertidur).
Sudah lebih dari dua minggu rumah tempat penampungan anak-anak terlantar tempat saya numpang tidak lagi sepi dinihari. Dulu memang saya biang ributnya. Karena sebal tidak bisa tidur, saya setel Korn, Metallica S & M, Erwin Gutawa Rockestra, Dream Theater, Homicide atau Ayreon selantang-lantangnya. Untung sebelah-menyebelah saya termasuk anak-anak kebluk yang bahkan saat gempa pun harus saya yang menggedor pintu. Induk semang yang dinding kamarnya hanya berjarak sepuluh meter pun tidak pernah terganggu. Namun sekarang malah saya yang rada nggak enak karena hingga jauh malam saya masih dapat mendengar rengekan manja dan cekikik renyah yang teredam dari balik kamar. Konyol. Atau mungkin saya yang terlalu kaku menghadapi hal-hal seperti ini?
Waktu itu, jam satu pagi, saya pernah memergoki tetangga kamar membawa-bawa ponselnya ke kamar mandi saat saya hendak menyeduh susu di dapur. Saya pikir beliau punya kebiasaan sama dengan saya, suka nge-game atau online dengan ponsel sambil e'ek jika malas bawa bacaan. Ternyata dia pipis sambil telpon-telponan dengan 'abang'nya dan pembicaraan itu tidak terputus selama proses berlangsung hingga dia masuk ke kamar lagi. Well, rekornya nggak separah saya yang menerima telpon sambil buang hajat besar--dan berantem sambil mengejan di kakus. Atau makan siang sambil boker. Saya emang kemproh kok.
Yang lebih unik lagi, mbak-mbak di sebelah kamar saya persis selalu tidur paling cepat. Jam sembilan sudah tidak ada tanda kehidupan disana. Kemudian tepat jam sebelas mendadak pintunya terbuka, gedubrak-gedubrak dia keluar cuci muka di kamar mandi, lalu setengah berlari kembali ke kamar masih dengan mata serupa bantal. Setelah itu saya akan mulai hitung mundur dari sepuluh. Dan pada angka lima atau empat, ponselnya akan berbunyi dan tawa manja kemriuk nikmat yang nyaring di telinga akan menyapa kuping saya juga, mengganggu musik yang saya setel pelan. Jika sedang 'hardcore mode', telepon itu akan berlangsung selama dua jam.
Bukan sekali-dua saya iseng tengah malam dan membangunkan beberapa teman hanya untuk saya pisuhi lewat ponsel. Dan saya juga jadi orang pertama yang dituju jika mereka belum bisa tidur dan ingin curhat. Namun saya lebih suka menerimanya di teras, duduk di kursi panjang dari rotan sambil memberi makan kura-kura saya, atau merokok sambil menghirup susu panas. Saya nggak suka terima telepon sambil tiduran karena teman saya bilang suara saya yang sedang tiduran bikin imajinasi liarnya kemana-mana. Dan dia bilang--jika tidak misuh--cuma pada suaralah terletak keperempuanan saya. Bajingan tenan!
Lucu memang, perihal menjadi perempuan itu. Meskipun keesokan paginya mereka harus terburu-buru mandi karena kesiangan dan berangkat ngantor dengan mata setengah watt, malamnya mereka masih melakukan hal yang sama. Ya mbok kawin aja sana terus tinggal serumah. Jadi saya nggak harus terpaksa dengar desahan-desahan manja yang hanya bercerita tentang klien di kantor atau kastemer geblek. Tapi saya agak senang juga sih. Sejak episode telepon-telepon dinihari itu saya tidak pernah lagi mendengar suara aneh yang kadang bikin merinding disko.
Udah ah. Tiba-tiba saya pengen nonton The King of Scotland lagi.
Sudah lebih dari dua minggu rumah tempat penampungan anak-anak terlantar tempat saya numpang tidak lagi sepi dinihari. Dulu memang saya biang ributnya. Karena sebal tidak bisa tidur, saya setel Korn, Metallica S & M, Erwin Gutawa Rockestra, Dream Theater, Homicide atau Ayreon selantang-lantangnya. Untung sebelah-menyebelah saya termasuk anak-anak kebluk yang bahkan saat gempa pun harus saya yang menggedor pintu. Induk semang yang dinding kamarnya hanya berjarak sepuluh meter pun tidak pernah terganggu. Namun sekarang malah saya yang rada nggak enak karena hingga jauh malam saya masih dapat mendengar rengekan manja dan cekikik renyah yang teredam dari balik kamar. Konyol. Atau mungkin saya yang terlalu kaku menghadapi hal-hal seperti ini?
Waktu itu, jam satu pagi, saya pernah memergoki tetangga kamar membawa-bawa ponselnya ke kamar mandi saat saya hendak menyeduh susu di dapur. Saya pikir beliau punya kebiasaan sama dengan saya, suka nge-game atau online dengan ponsel sambil e'ek jika malas bawa bacaan. Ternyata dia pipis sambil telpon-telponan dengan 'abang'nya dan pembicaraan itu tidak terputus selama proses berlangsung hingga dia masuk ke kamar lagi. Well, rekornya nggak separah saya yang menerima telpon sambil buang hajat besar--dan berantem sambil mengejan di kakus. Atau makan siang sambil boker. Saya emang kemproh kok.
Yang lebih unik lagi, mbak-mbak di sebelah kamar saya persis selalu tidur paling cepat. Jam sembilan sudah tidak ada tanda kehidupan disana. Kemudian tepat jam sebelas mendadak pintunya terbuka, gedubrak-gedubrak dia keluar cuci muka di kamar mandi, lalu setengah berlari kembali ke kamar masih dengan mata serupa bantal. Setelah itu saya akan mulai hitung mundur dari sepuluh. Dan pada angka lima atau empat, ponselnya akan berbunyi dan tawa manja kemriuk nikmat yang nyaring di telinga akan menyapa kuping saya juga, mengganggu musik yang saya setel pelan. Jika sedang 'hardcore mode', telepon itu akan berlangsung selama dua jam.
Bukan sekali-dua saya iseng tengah malam dan membangunkan beberapa teman hanya untuk saya pisuhi lewat ponsel. Dan saya juga jadi orang pertama yang dituju jika mereka belum bisa tidur dan ingin curhat. Namun saya lebih suka menerimanya di teras, duduk di kursi panjang dari rotan sambil memberi makan kura-kura saya, atau merokok sambil menghirup susu panas. Saya nggak suka terima telepon sambil tiduran karena teman saya bilang suara saya yang sedang tiduran bikin imajinasi liarnya kemana-mana. Dan dia bilang--jika tidak misuh--cuma pada suaralah terletak keperempuanan saya. Bajingan tenan!
Lucu memang, perihal menjadi perempuan itu. Meskipun keesokan paginya mereka harus terburu-buru mandi karena kesiangan dan berangkat ngantor dengan mata setengah watt, malamnya mereka masih melakukan hal yang sama. Ya mbok kawin aja sana terus tinggal serumah. Jadi saya nggak harus terpaksa dengar desahan-desahan manja yang hanya bercerita tentang klien di kantor atau kastemer geblek. Tapi saya agak senang juga sih. Sejak episode telepon-telepon dinihari itu saya tidak pernah lagi mendengar suara aneh yang kadang bikin merinding disko.
Udah ah. Tiba-tiba saya pengen nonton The King of Scotland lagi.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?