Requiem, Anyone?
Seperti yang pernah saya bilang disini, Tuhan menciptakan langit, bumi, malaikat, setan, manusia, alam semesta dan segala isinya yang kemudian Dia jalankan secara autopilot. Terus abis itu Tuhan ngapain? Well, lalu Dia duduk bersandar dengan nyaman dan menikmati satu drama panjang bernama KEHIDUPAN ditemani bercangkir-cangkir kopi pahit dan kudapan ringan. Tanpa iklan, tanpa jeda. Tanpa cela. Semua aspek di dalamnya berkelindan, membelit, bertautan. Semua berdasar skenario besar yang Dia buat. Dan Hundred Years of Solitude adalah satu skenario berukuran sepersekian nano yang ditimpakan pada Marquez ketika Dia menghela nafas.
Karena itulah saya nggak pernah percaya pada sesuatu bernama 'kebetulan'.
Semua muntahan saya disini bukan usaha saya untuk memposisikan diri jadi tinggi diantara manusia lain, karena rentang antara telapak kaki saya dan ubun-ubun hanya berjarak seratus enam puluh senti (dengan volume sesak, padat dan mampat. Haha!). Namun semua hal yang saya temui hingga saya setua ini layaknya menajamkan satu indera sinergis hasil kolaborasi antara benak dan hati, menundukkan otak kanan yang dulu saya junjung hingga ke langit. Saya sering lihat benang merah yang saling menghubungkan peristiwa, manusia, dan berakhir pada pemahaman. Pada ujung proses yang nggak sebentar itu sering saya temukan jawaban atas lingkaran setan yang sedang saya perangi. Saya sering hilang determinasi untuk bersyukur atau menghujat atas indera yang nggak dimiliki semua orang ini.
Sebulan ini saya merasa Yang Lagi Nonton sedang duduk di sebelah. Tapi kedekatan paling intim adalah dua minggu lalu, di pusara om saya dengan tanah merah yang masih basah bertabur bunga segar. Setelah empat tahun berjuang sambil tersenyum melawan gagal ginjal akhirnya dia harus tunduk pada yang tersurat. He's a damned great fighter, though. The lone survivor till the end diantara rekan 'seangkatan', senasib, dan seruangan yang disambangi tiap Rabu dan Sabtu di Sardjito demi hemodialisa. Darah seniman yang mengalir dalam tubuhnya, meski liat dan bandel, ternyata nggak mampu melawan kehendakNya ketika 'semua telah usai selesai'. Pesan terakhirnya dia sampaikan di sebuah pantai di Jogja. Layaknya ABG kasmaran, disambanginya tempat romantis itu bersama sang belahan jiwa yang telah menumbuhkan tiga gadis kecil. Tante saya bercerita, dengan wajah lembab mata sembab karena airmata yang tertumpah pada setiap doa-doanya, mengenang ucapan suaminya yang tenang dan dalam. Semua sudah selesai, katanya.
Saya terlambat datang dan tanpa sempat melepasnya pergi, apalagi melihat wajah ayah kedua saya itu berbingkai mori untuk terakhir kali. Pada salah satu belahan jiwa yang menunggu saya sejak Subuh di stasiun Tugu saya hanya punya satu pinta: antarkan ke makam lalu pergilah kamu cepat-cepat. Saya ingin ditinggalkan berdua bersama om saya.
Pertama kali dalam hidup, saya menyesal. Saya tidak sempat 'pamit pejah' ketika akhirnya memutuskan masuk kancah perang bernama Jakarta, karena saya tidak ingin membuatnya merasa ditinggal sendirian. Saya jarang sowan karena melihat keadaannya hanya membuat saya marah sebab saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya jadi berjarak karena mendekat berarti berbagi derita di matanya meski humornya selalu segar. Saya diam karena bicara hanya akan membuatnya merasa terbebani. Saya tidak pernah lagi memeluk dan mencium kedua pipi cekungnya yang masih ditumbuhi jambang lebat karena merasa sudah besar dan mandiri. Saya tidak pernah cerita pada keluarga besar bagaimana buruk kondisi kesehatannya karena dia tidak ingin membuat mereka sedih. Dan penyesalan terbesar diantara semuanya adalah: saya tau dia kesepian tapi saya takut untuk menemaninya. Bagi saya ketegarannya membuat saya ciut nyali. Namun saya juga tidak pernah mau menyaksikan dia lungkrah. Padahal saya tau, hanya pada saya dia akan sambat. Padahal dia paman saya sendiri. Padahal dia seperti ayah kedua bagi saya. Padahal dia sangat perlu saya. (Dan saya masih ingat betapa tegasnya guratan nama PIT untuk menandai tiap kaset koleksinya: Joan Baez, Rolling Stones, Pink Floyd, ABBA dan Beatles, yang dibelinya ketika masih jadi mahasiswa ASRI, untuk diputar sebagai pengiring saya tidur, sejak bayi.)
Belum genap pukul delapan pagi itu, dan saya duduk di tanah dengan punggung bersandar pokok Kamboja di dekat kepala nisan. Ransel hitam butut teronggok malas di sebelah. Saya baru selesai membacakan kasih Tuhan paling lembut. Salah satu kalimat yang diulang-ulang di dalamnya menarik pelatuk dan membuka kelenjar airmata saya untuk leleh turun ke pipi. Sambil menatap pusara dengan emosi berkecamuk, berteman batang nikotin kesekian yang saya pegang dengan tangan gemetar, kalimat itu berputar di benak dan hati saya. Fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdziban. NikmatKu yang mana lagi yang akan kau dustakan?
Dua minggu setelahnya saya punya tenaga untuk bisa muntah disini. Saya baru bisa merasakan bahwa dia bukan tiada, namun sedang berkumpul. Reuni dengan Penciptanya. Meskipun sekarang kami tidak lagi berada pada dimensi sama, itu mungkin lebih baik buatnya. Dia tidak lagi harus berbaring empat jam dua kali seminggu dan menyaksikan darahnya sendiri mengalir keluar melalui pipa-pipa bening ke dalam mesin sebesar lemari untuk masuk lagi ke tubuhnya dalam keadaan bersih.
Perjalanan saya pulang-pergi Jogja-Jakarta kali ini adalah yang terpanjang, paling melelahkan, paling menguras emosi, namun juga melegakan. Saya dibimbing malaikat sepanjang jalan, berupa SMS, berbaris-baris teks di YM Mobile, pelukan hangat di stasiun, tatapan sayang nan menyamankan, serta keluarga baru di Gedong Kuning. Benang merah yang menyatukan semua kejadian itu adalah: saya tidak akan pernah sendirian, karena itu saya tidak akan membiarkan siapapun merasa sendirian lagi.
Pada Karin, bocah kelas empat SD yang masih memeluk sajadah tiap habis shalat (karena masih 'bau bapak' jawabnya polos), yang mengenakan jaket ayahnya kemana-mana pada terik siang, yang sangat 'her father's daughter', saya sugesti untuk selalu tegar. Pada Anjani yang baru masuk SMP dan ngotot ingin rambutnya di cat biru seperti saya, saya ingatkan untuk menjaga adik-adik dan ibunya. Pada Dhani si bungsu impulsif, naif, dan sangat techie, saya bisikkan kata untuk tetap melihat larik perak mentari pada tiap tepian mendung. Dan pada Tante Wanti, perempuan kecil berhati lembut dengan ketahanan bagai baja itu, saya percayakan kepingan-kepingan jiwa om saya dan saya yakinkan bahwa kali ini saya akan menemaninya. Meski hanya dari jauh.
Akhirnya saya temukan alasan mengapa saya tidak boleh meminta mati di usia tiga puluh.
[In Memoriam: Edhi Irianto, who celebrated new Hijriah year in heaven. He is a man who once discussed the differences between art and craft as an adult to adult with the 13 year-old me; who put down his calligraphy painting in an exhibition in the second the nine year-old me found an 'alif' missing in his 'Al Falaq'; unbeatable in the match of ngeyel and plesetan; who gave me reasonings why the Christians say 'Paskah' for Easter and why the prophet Muhammad doesn't have any single painting unlike Jesus; who has the limitless capability of making me laugh though his live is hanging by a thread; and the very man who introduced me to Joan Baez and her Green Sleeve in my very young age. You have your life within my heart...]
Karena itulah saya nggak pernah percaya pada sesuatu bernama 'kebetulan'.
Semua muntahan saya disini bukan usaha saya untuk memposisikan diri jadi tinggi diantara manusia lain, karena rentang antara telapak kaki saya dan ubun-ubun hanya berjarak seratus enam puluh senti (dengan volume sesak, padat dan mampat. Haha!). Namun semua hal yang saya temui hingga saya setua ini layaknya menajamkan satu indera sinergis hasil kolaborasi antara benak dan hati, menundukkan otak kanan yang dulu saya junjung hingga ke langit. Saya sering lihat benang merah yang saling menghubungkan peristiwa, manusia, dan berakhir pada pemahaman. Pada ujung proses yang nggak sebentar itu sering saya temukan jawaban atas lingkaran setan yang sedang saya perangi. Saya sering hilang determinasi untuk bersyukur atau menghujat atas indera yang nggak dimiliki semua orang ini.
Sebulan ini saya merasa Yang Lagi Nonton sedang duduk di sebelah. Tapi kedekatan paling intim adalah dua minggu lalu, di pusara om saya dengan tanah merah yang masih basah bertabur bunga segar. Setelah empat tahun berjuang sambil tersenyum melawan gagal ginjal akhirnya dia harus tunduk pada yang tersurat. He's a damned great fighter, though. The lone survivor till the end diantara rekan 'seangkatan', senasib, dan seruangan yang disambangi tiap Rabu dan Sabtu di Sardjito demi hemodialisa. Darah seniman yang mengalir dalam tubuhnya, meski liat dan bandel, ternyata nggak mampu melawan kehendakNya ketika 'semua telah usai selesai'. Pesan terakhirnya dia sampaikan di sebuah pantai di Jogja. Layaknya ABG kasmaran, disambanginya tempat romantis itu bersama sang belahan jiwa yang telah menumbuhkan tiga gadis kecil. Tante saya bercerita, dengan wajah lembab mata sembab karena airmata yang tertumpah pada setiap doa-doanya, mengenang ucapan suaminya yang tenang dan dalam. Semua sudah selesai, katanya.
Saya terlambat datang dan tanpa sempat melepasnya pergi, apalagi melihat wajah ayah kedua saya itu berbingkai mori untuk terakhir kali. Pada salah satu belahan jiwa yang menunggu saya sejak Subuh di stasiun Tugu saya hanya punya satu pinta: antarkan ke makam lalu pergilah kamu cepat-cepat. Saya ingin ditinggalkan berdua bersama om saya.
Pertama kali dalam hidup, saya menyesal. Saya tidak sempat 'pamit pejah' ketika akhirnya memutuskan masuk kancah perang bernama Jakarta, karena saya tidak ingin membuatnya merasa ditinggal sendirian. Saya jarang sowan karena melihat keadaannya hanya membuat saya marah sebab saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya jadi berjarak karena mendekat berarti berbagi derita di matanya meski humornya selalu segar. Saya diam karena bicara hanya akan membuatnya merasa terbebani. Saya tidak pernah lagi memeluk dan mencium kedua pipi cekungnya yang masih ditumbuhi jambang lebat karena merasa sudah besar dan mandiri. Saya tidak pernah cerita pada keluarga besar bagaimana buruk kondisi kesehatannya karena dia tidak ingin membuat mereka sedih. Dan penyesalan terbesar diantara semuanya adalah: saya tau dia kesepian tapi saya takut untuk menemaninya. Bagi saya ketegarannya membuat saya ciut nyali. Namun saya juga tidak pernah mau menyaksikan dia lungkrah. Padahal saya tau, hanya pada saya dia akan sambat. Padahal dia paman saya sendiri. Padahal dia seperti ayah kedua bagi saya. Padahal dia sangat perlu saya. (Dan saya masih ingat betapa tegasnya guratan nama PIT untuk menandai tiap kaset koleksinya: Joan Baez, Rolling Stones, Pink Floyd, ABBA dan Beatles, yang dibelinya ketika masih jadi mahasiswa ASRI, untuk diputar sebagai pengiring saya tidur, sejak bayi.)
Belum genap pukul delapan pagi itu, dan saya duduk di tanah dengan punggung bersandar pokok Kamboja di dekat kepala nisan. Ransel hitam butut teronggok malas di sebelah. Saya baru selesai membacakan kasih Tuhan paling lembut. Salah satu kalimat yang diulang-ulang di dalamnya menarik pelatuk dan membuka kelenjar airmata saya untuk leleh turun ke pipi. Sambil menatap pusara dengan emosi berkecamuk, berteman batang nikotin kesekian yang saya pegang dengan tangan gemetar, kalimat itu berputar di benak dan hati saya. Fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdziban. NikmatKu yang mana lagi yang akan kau dustakan?
Dua minggu setelahnya saya punya tenaga untuk bisa muntah disini. Saya baru bisa merasakan bahwa dia bukan tiada, namun sedang berkumpul. Reuni dengan Penciptanya. Meskipun sekarang kami tidak lagi berada pada dimensi sama, itu mungkin lebih baik buatnya. Dia tidak lagi harus berbaring empat jam dua kali seminggu dan menyaksikan darahnya sendiri mengalir keluar melalui pipa-pipa bening ke dalam mesin sebesar lemari untuk masuk lagi ke tubuhnya dalam keadaan bersih.
Perjalanan saya pulang-pergi Jogja-Jakarta kali ini adalah yang terpanjang, paling melelahkan, paling menguras emosi, namun juga melegakan. Saya dibimbing malaikat sepanjang jalan, berupa SMS, berbaris-baris teks di YM Mobile, pelukan hangat di stasiun, tatapan sayang nan menyamankan, serta keluarga baru di Gedong Kuning. Benang merah yang menyatukan semua kejadian itu adalah: saya tidak akan pernah sendirian, karena itu saya tidak akan membiarkan siapapun merasa sendirian lagi.
Pada Karin, bocah kelas empat SD yang masih memeluk sajadah tiap habis shalat (karena masih 'bau bapak' jawabnya polos), yang mengenakan jaket ayahnya kemana-mana pada terik siang, yang sangat 'her father's daughter', saya sugesti untuk selalu tegar. Pada Anjani yang baru masuk SMP dan ngotot ingin rambutnya di cat biru seperti saya, saya ingatkan untuk menjaga adik-adik dan ibunya. Pada Dhani si bungsu impulsif, naif, dan sangat techie, saya bisikkan kata untuk tetap melihat larik perak mentari pada tiap tepian mendung. Dan pada Tante Wanti, perempuan kecil berhati lembut dengan ketahanan bagai baja itu, saya percayakan kepingan-kepingan jiwa om saya dan saya yakinkan bahwa kali ini saya akan menemaninya. Meski hanya dari jauh.
Akhirnya saya temukan alasan mengapa saya tidak boleh meminta mati di usia tiga puluh.
[In Memoriam: Edhi Irianto, who celebrated new Hijriah year in heaven. He is a man who once discussed the differences between art and craft as an adult to adult with the 13 year-old me; who put down his calligraphy painting in an exhibition in the second the nine year-old me found an 'alif' missing in his 'Al Falaq'; unbeatable in the match of ngeyel and plesetan; who gave me reasonings why the Christians say 'Paskah' for Easter and why the prophet Muhammad doesn't have any single painting unlike Jesus; who has the limitless capability of making me laugh though his live is hanging by a thread; and the very man who introduced me to Joan Baez and her Green Sleeve in my very young age. You have your life within my heart...]
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?