Fucked Up, Anyone?
Let me apologize to begin with. Let me apologize for what I'm about to say. But trying to be genuine was harder than it seemed. And somehow I got caught up in between. But trying to be someone else was harder than it seemed. And somehow I got caught up in between
Mandor saya di pabrik bilang bahwa saya nggak seharusnya jadi terlalu blunt. Menyenangkan hati orang lain adalah beramal dan toleransi, katanya. Jika saya terlalu jujur maka saya egois karena saya hanya mementingkan perasaan saya sendiri. Ya, sebegitu parah bekerja di pabrik topeng. Karena para buruhnya pun harus memasang topeng yang mereka buat di wajah mereka. Dan saya terjebak di tengah-tengah karena mencoba jadi diri sendiri. Still... What the fuck! I'll do what I want as long as it's not hurting other people. Physically. Teehehe *evilgrins*
Saat saya mengingat ke belakang maka saya sadar betapa amat sangat susahnya menjadi 'perempuan penghibur' untuk menyenangkan hati orang-orang terkasih, menurut standar mereka masing-masing. Menjadi pelajar yang baik menurut para pengajar. Menjadi anak yang baik sesuai harapan orangtua. Menjadi pendengar yang baik seperti yang diinginkan sahabat. Menjadi anak kos yang baik seperti keinginan induk semang. Menjadi anak buah yang baik sebagaimana mandor saya berharap. Semua membuat saya benci melihat pantulan diri saya di cermin: Saya bukan menjadi diri sendiri. Tidak heran, saya sering merasa antara saya dan schizophrenia hanya terpisah oleh dinding setipis rambut bayi.
Dulu Ibu saya sering berkata bahwa saya layaknya buku terbuka yang dapat dibaca siapa saja, orang lewat sekalipun. Siapapun bisa tau bagaimana kondisi kejiwaan saya hanya dengan melihat raut muka. Sebegitu gamblang. Tapi beberapa orang yang saya tanya pendapatnya beberapa waktu lalu tentang saya cenderung salah--menurut saya. Dan deviasinya bisa karena: nggak mau menyakiti saya secara verbal, dinding Hogwarts virtual yang saya buat di sekeliling saya terlalu tinggi, atau mereka memang nggak mau tau. Whathefuckever.
But trying to regain your trust was harder than it seemed. And somehow I got caught up in between. Between my pride and my promise. Between my lies and how the truth gets in the way. The things I want to say to you get lost before they come
Dan saya kembali tersesat saat berdiri di persimpangan antara keberadaan dan penerimaan. Ego dan keikhlasan. Dusta dan kebenaran. Jalan yang paling sering saya pilih dalam keadaan seperti itu adalah aspal lurus dengan jalur hijau di kiri-kanan, berharap saya akan dihargai dan dianggap lebih di ujungnya. Padahal seratus meter ke depan jalur tersebut berubah belukar, jalanan menyempit dan berkelok serta aspal menggerompal. Bisa ditebak. Saya jatuh lagi. Berdarah lagi. Luka lagi. Dan harus menyerah kalah. Eksistensi dan ego yang coba saya bangun ternyata hanya bayangan samar yang buyar layaknya asap tertiup angin.
Kesimpulannya adalah...
Lagi-lagi saya kehilangan diri sendiri. Nggak tau tercecer dimana. Jadi, tolong. Jika suatu hari diantara kalian ada yang menemukannya, kasih tau saya. Mungkin saya sedang memerlukannya.
The only thing that's worse than one is none...
pagi-pagi ditinggal tidur para begundal baik di salah satu kantor institusi negara tempat saya 'lari'
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?