Sepotong Sesuatu Bernama Masa Lalu
Saat kau ingin melupakan, di waktu yang sama sesungguhnya kau sedang mengenang
- Pakdhe Pamei, the youngest historian and an avid storyteller ever
Mengenang dan melupakan adalah dua hal yang sejalan. Layaknya pedang bermata dua dia dapat mengiris atau membantumu bangkit. Membingungkan, namun kadang melegakan, perihal mengenang itu.
Perempuan itu baru sadar ketika di suatu dinihari berbadai dia berada di luar, di bawah kanopi shelter Hotel Nikko Jakarta, menikmati pemandangan orang-orang yang berjuang layaknya mempertahankan nyawa selembar. Di sisinya adalah seorang sahabat yang setia menemani ketika kondisinya berada di bawah titik nadir.
"Dia datang lagi lewat abangnya."
Sebentuk kalimat meluncur jernih tanpa jeda dari bibir sang perempuan, sedetik setelah asap nikotin terlepas dari sana.
"Siapa?" tanya si lelaki.
"Dia-yang-namanya-haram-kusebut. Dia-yang-berhasil-membawa-serta-separuh-jiwaku. Dia-si-monumen-penaklukan-sekaligus-penghambaan. Dia-yang-sangat-hebat-karena-tidak-terjangkau. Kamu tau dia siapa," jawabnya datar sementara matanya tetap terpaku pada jalanan basah di hadapan.
Si sahabat menoleh, menatap wajah perempuan di sampingnya, untuk kemudian kembali memandang lurus ke depan.
"Kamu tahu? Aksi sama dengan reaksi. Itu hukum fisika yang kupelajari waktu SMP. Kupikir sangat applicable untuk apapun. Bahkan untuk persoalan hati," ujarnya datar.
Perempuan itu kembali terdiam, hingga saat ini. Dia gundah, akankah harus melupakan (dan mengenang), sementara dia tahu bahwa hidup tidak berjalan mundur?
Sudahlah... Jalani saja. Jika semua terasa berat, tarik nafas dalam-dalam, simpan dalam parumu sesaat, lalu hembuskan kuat-kuat. Ganbatte kudasai!
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?