Expensive Fantasy

Hey...
Kamu ingat pernah membonceng saya lewat Gang Dolly ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya? Waktu itu hampir pukul dua dinihari dan saya protes. "Katanya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Masak cuma berapa gang gini?! Ini sih Sarkem!"

Kamu sedikit menoleh kemudian bersuara dengan logat Jawatimuran yang kental. "Lha ini baru sejalur. Di kanan-kiri masih banyak gang-gang yang kayak gini, Dek!" jawabmu enteng.

Dan saya cuma melongo mencermati rumah-rumah layaknya akuarium tempat ikan-ikan cantik duduk dan mengerling (bukan berenang) di sofa panjang. Tanpa air. Entah kenapa analisa sekilas saya masih lumayan bisa dipercaya. Ada yang bukan pada tempatnya. Beberapa ketiadaan dan kosong, meski lampu berkelip warna-warni dan musik dangdut berkumandang di sana-sini ditingkah teriakan dan cekikikan genit beberapa mbak-mbak dan gelegar bahak dari para mas-mas. Walaupun botol-botol bir tersaji di hadapan beberapa pengunjung yang digelendoti manja para perempuan di sebelah mereka.

"Kok sepi, Mas? Harusnya banyak mbak-mbak di dalem kan?" tanya saya sambil terus mencermati rumah demi rumah yang kami lewati.

"Ya ini udah jam berapa. Udah pada diangkut tho ya. Lagian ini kan weekend. Kalo Pit dateng sorean tadi, jam tujuhan gitu, ya masih banyak," sahutmu, yang waktu itu masih gondrong dan kurus, kalem.

Saya hanya manggut-manggut sementara kedua tangan saya berpegangan pada kaus di kedua sisi pinggangmu. Indera penglihat saya nyalang berusaha menjelajah tiap sudut yang terlewat di atas motor yang melaju agak perlahan. Pertama kali saya melintasi kompleks pelacuran. Pabrik lendir, dimana daging berbau busuk dengan kemasan elok dijual dimana-mana.

Mungkin reaksi saya sangat norak buatmu hingga beberapa kali kamu berpaling sejenak dan saya masih cuek mencermati pemandangan yang ada.

"Disini perempuan macem apa aja ada. Yang mirip artis juga banyak. Waktu itu Mas pernah nemuin yang mirip Tamara Blezinsky. Pas dia mau keluar, diangkut om-om berperut gendut. Malah ada yang mirip Celine Dion lho, Dek!"

Kembali, saya hanya manggut-manggut.

"Pasti yang mirip-mirip artis tuh dibayarnya mahal ya Mas? Kan perawatannya susah..."

"Ya harusnya sih gitu, Dek. Wong ayu ki gak onok sing murah."

Itu kejadian lima atau enam tahun yang lalu yang menimbulkan kesan sangat mendalam di benak saya. Mungkin kamu sudah lupa. Kata-kata terakhirmu hanya berbuah satu konklusi di otak saya: laki-laki senang membeli fantasi, berapapun harganya. (Dan kata orang, pembeli adalah raja.)

My point is: saya nggak pernah menghujat kompleks pelacuran, apalagi para pelacurnya. Buat saya ini cuma masalah pasar. Hukum ekonomi berlaku disini, antara demand dan supply. Saya nggak menuding hidung lelaki yang sering dibilang belang, atau menunjuk pelacur yang sering dibilang pembawa aib. Mereka cuma aktor yang bermain dalam market. Tidak lebih, tidak kurang. Dosa? Itu urusan mereka. Saya rasa kita semua punya otak dan kapasitas yang sama, jadi setidaknya masih bisa berpikir untuk kemudian memutuskan mana yang terbaik. Lagi-lagi, ini masalah pilihan.

Dan nafsu manusia seluas dan sebanyak air di samudera. Nyaris tak terbatas meski terkategori dalam 3 bagian besar: harta, tahta, wanita. Bagi lelaki, yang terakhir adalah penyebab keruntuhan dan kejatuhan dua bagian sebelumnya. Bagi perempuan, karena dia wanita dia dapatkan dua yang pertama (jika dia pintar).

Stupid? Memang, buat mereka yg sudah merasa cukup dan tidak ngotot mengejar semuanya. Dan yang lebih stupid lagi adalah ketika om-om berperut buncit berkumis sekepal dengan muka berminyak dan nafas tersengal mendapatkan klimaksnya saat telanjang diatas perempuan ayu berkulit putih pualam yang wajahnya sering nongol di televisi (dan sama bugilnya). Kompensasi atas kontraksi otot genital 3 detik itu adalah duit berjuta-juta (dan mungkin seperlimanya bisa menyelamatkan saya mendapatkan selembar pembuktian bahwa saya sudah sarjana).

Seorang om-om pernah ngomong ke saya bahwa lelaki juga melakukan multitasking atas perempuan yang ditindihnya saat mereka bersenggama. Mereka sering berfantasi, membayangkan perempuan ideal yang hanya ada di kepalanya. Disini teori bahwa sex adalah 90% imajinasi dan 10% usaha adalah benar. Dia juga bilang bahwa suami sering merasa bosan dengan payudara dan gundukan pubis istri. Rasa ingin tahu lelaki sangat besar, dan ini yang membuat mereka terdorong menjelajahi gundukan lainnya. (Dan pada titik ini lokalisasi semacam Dolly mengejewantah.)

Mungkin, hanya mungkin, hidup itu juga mampir buang lendir. Nggak cuma mampir ngombe.

(Hey, you. Gwa nggak pernah lupa. The memory remains and the feeling for you is so huge it hurts sometimes. But why do you have to be so chauvinist?!)

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women