Feel Bored?
Disini saya. Setengah dua dinihari, bengong di depan layar komputer berteman susu-madu dan sigaret. Rabi pemusik itu menyumbat telinga saya kencang-kencang. Seorang sahabat baru saja curhat terpaksa karena merasa jenuh akan rutinitas. 'Saya merasa seperti robot,' katanya.
Buat saya, manusia adalah mahluk paradoks yang fleksibel jadi apapun di saat apapun. Mungkin menjadi robot memang perlu, jika pekerjaan yang menghasilkan uang untuk kebutuhannya sehari-hari memang mengharuskannya untuk itu. Berkumpul, bergabung di tengah keramaian, menjaga hubungan baik dengan manusia lain juga penting. Tapi perlu juga waktu sendirian, untuk berpikir maupun hanya menikmatinya. Dan saya sering juga merasa asyik jadi soliter di tengah hiruk-pikuk suara tawa. Nggak ada salahnya. Nggak ada keharusan yang mewajibkan seseorang untuk ikut orang lain.
Ketika kebosanan menyerang hanya satu yang membuat saya 'hidup' lagi: melakukan hal spontan. Jujur, empat kali saya mengutil di supermarket waktu masih sekolah berseragam putih-abu. Hanya karena bosan. Yang saya curi pun bukan barang yang saya perlukan. Krim bayi, gel rambut, kondisioner, dan sabun wajah. Semua saya kasih ke seorang teman yang deg-degan liat kebiasaan saya (herannya kok ya dia terima-terima aja jadi penadah). Yang terakhir, ke empat kalinya, berhasil ketangkep satpam, digiring ke pos, dibentak-bentak (nggak cuma sama satpam tapi juga sama SPG dan SPB), lalu diharuskan bayar sepuluh kali lipat dari harga barang yang saya embat. Dengan cuek, saya keluarkan uang lima ribu karena hanya itu yang saya punya. Saya dibentak lagi, dikata-katain lagi karena goceng nggak sesuai dengan harga yang mereka minta. Untungnya kebiasaan saya nggak punya dompet, nggak pake badge sekolah dan selalu menghilangkan kartu pelajar lumayan berguna juga saat itu. Mereka nggak tau mau lapor kemana dan nggak berhasil mengorek keterangan dari saya. Diancam mau disel pun saya cuma mencibir. Ibu saya dihina, saya balas lebih pedas. Diancam dosa? Ibu saya aja udah capek mukulin pake gagang kemoceng hanya karena saya nggak mau solat. Apalagi cuma diomongin satpam jelek, gendut, berkumis kayak gitu!
Kejadian itu bikin saya kapok. Bukan karena dibentak dan dimaki satpam. Wong saya bales maki, kok. Dan bukan juga karena ketauan. Saya nggak takut ketauan. Semua karena ada satu mbak-mbak SPG yang menegur saya dengan lembut.
Touché! Saya seperti digampar keras-keras oleh seluruh anggota dan pimpinan Asosiasi Preman Se-Indonesia tanpa bisa balas. Saya bungkam. Daya ngeyel saya turun hingga titik nol. Perlawanan saya rata dengan tanah. Saya nggak terima sama diri sendiri karena kompensasi atas kebosanan saya berimbas jelek terhadap orang lain.
Beberapa tahun kemudian, waktu saya dilanda kebosanan lagi, saya memutuskan untuk menindik bagian antara dagu dan bibir bawah saya. Berbekal kaca kecil, alkohol, es batu, jarum pentul dan lilin. Setidaknya saya yang sakit sendiri... dan merasa keren sesudahnya. Haha!
ps. jadi, Ndal... mo nyoba? *evil grins*
Buat saya, manusia adalah mahluk paradoks yang fleksibel jadi apapun di saat apapun. Mungkin menjadi robot memang perlu, jika pekerjaan yang menghasilkan uang untuk kebutuhannya sehari-hari memang mengharuskannya untuk itu. Berkumpul, bergabung di tengah keramaian, menjaga hubungan baik dengan manusia lain juga penting. Tapi perlu juga waktu sendirian, untuk berpikir maupun hanya menikmatinya. Dan saya sering juga merasa asyik jadi soliter di tengah hiruk-pikuk suara tawa. Nggak ada salahnya. Nggak ada keharusan yang mewajibkan seseorang untuk ikut orang lain.
Ketika kebosanan menyerang hanya satu yang membuat saya 'hidup' lagi: melakukan hal spontan. Jujur, empat kali saya mengutil di supermarket waktu masih sekolah berseragam putih-abu. Hanya karena bosan. Yang saya curi pun bukan barang yang saya perlukan. Krim bayi, gel rambut, kondisioner, dan sabun wajah. Semua saya kasih ke seorang teman yang deg-degan liat kebiasaan saya (herannya kok ya dia terima-terima aja jadi penadah). Yang terakhir, ke empat kalinya, berhasil ketangkep satpam, digiring ke pos, dibentak-bentak (nggak cuma sama satpam tapi juga sama SPG dan SPB), lalu diharuskan bayar sepuluh kali lipat dari harga barang yang saya embat. Dengan cuek, saya keluarkan uang lima ribu karena hanya itu yang saya punya. Saya dibentak lagi, dikata-katain lagi karena goceng nggak sesuai dengan harga yang mereka minta. Untungnya kebiasaan saya nggak punya dompet, nggak pake badge sekolah dan selalu menghilangkan kartu pelajar lumayan berguna juga saat itu. Mereka nggak tau mau lapor kemana dan nggak berhasil mengorek keterangan dari saya. Diancam mau disel pun saya cuma mencibir. Ibu saya dihina, saya balas lebih pedas. Diancam dosa? Ibu saya aja udah capek mukulin pake gagang kemoceng hanya karena saya nggak mau solat. Apalagi cuma diomongin satpam jelek, gendut, berkumis kayak gitu!
Kejadian itu bikin saya kapok. Bukan karena dibentak dan dimaki satpam. Wong saya bales maki, kok. Dan bukan juga karena ketauan. Saya nggak takut ketauan. Semua karena ada satu mbak-mbak SPG yang menegur saya dengan lembut.
'Kamu tau nggak Dek, kalo kamu ngutil gini, kami semua yang harus nanggung. Potong gaji. Mungkin nggak seberapa. Tapi kalo sehari ada satu yang kayak kamu, sebulan ada berapa? Gaji kami kecil, dan kami capek seharian berjaga. Keperluan kami juga banyak sementara kami bukan orang berpunya. Banyak diantara kami yang jadi kepala keluarga di rumah. Kamu beruntung bisa sekolah SMA. Saya cuma lulusan SMP. Kenapa yang sekolahnya lebih tinggi kelakuannya nggak lebih baik?'
Touché! Saya seperti digampar keras-keras oleh seluruh anggota dan pimpinan Asosiasi Preman Se-Indonesia tanpa bisa balas. Saya bungkam. Daya ngeyel saya turun hingga titik nol. Perlawanan saya rata dengan tanah. Saya nggak terima sama diri sendiri karena kompensasi atas kebosanan saya berimbas jelek terhadap orang lain.
Beberapa tahun kemudian, waktu saya dilanda kebosanan lagi, saya memutuskan untuk menindik bagian antara dagu dan bibir bawah saya. Berbekal kaca kecil, alkohol, es batu, jarum pentul dan lilin. Setidaknya saya yang sakit sendiri... dan merasa keren sesudahnya. Haha!
ps. jadi, Ndal... mo nyoba? *evil grins*
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?