Me and My Luv

"Hey, Han! Apa kabar?"

"Ah, kamu ini. Setiap ada sesuatu selalu sok manis gitu ngomongnya. Bilang aja, ada apa hari ini?"

"Ih, tau aja sih, Han?! Ummm... gini. Gara-gara kamu--secara gak langsung--aku tarik urat dengan teman yang baru kukenal beberapa minggu ini. Sebel."

"Lha? Kamu pasti bela Aku ya?"

"Iya. Hanya karena dia bilang kalo mesjid itu tempat dia 'berbuat bodoh di dalamnya' dulu: shalat. Aku muntap karena persepsi yang (mungkin) salah atas perkataannya itu. Aku punya Kamu dan amat sangat susah untuk menempatkan se-uprit Kamu disini ini *tunjuk-tunjuk dada*. Pencarianku belum selesai atas Kamu, meski kadang ibadahku bolong-bolong dan aku sudah merasa cukup dengan apa yang Kamu beri dan kudapat."

"Hey... kamu gak perlu bela Aku sedemikian heboh, Nduk. Santai saja."

"Dan one thing leads to another. Harusnya aku gak mempertanyakan kepercayaan dan ketidakpercayaan orang, katanya. Aku memang merespon agak keras pada setiap ucapannya waktu itu, lalu dia mentertawakan ketidakdewasaanku. Aku tahu dan (agak) sadar kalo reaksiku itu cuma trigger yang bikin akumulasi kekesalanku meledak. Demi jalan-jalan gak jelas itu aku permisif meninggalkan Kamu. Karena gak ketauan mau makan dimana, lagi-lagi aku gak nengok Kamu tarawih tadi. Pokoknya banyak deh! And he had pushed the right button to blow the hell out of me. Aku tahu Kamu gak perlu tak jenguk atau tak bela. Tapi aku perlu kamu. Dan itu yang bikin aku bela Kamu."

"Lalu?"

"Aku sendirian. Gak ada yang memihak dan menenangkan, meskipun aku juga gak minta untuk itu. Aku gak tau apa memang aku yang sensitif banget atau saat itu kutukan terkucil di keramaian lagi kena ke aku. Untungnya setelah itu ada salah satu teman yang njejeri langkahku dan ngajak evaluasi atas apa yang terjadi. Dia lumayan bisa terima semua muntahan laharku yang kuucapkan dengan nafas agak memburu karena marah, sambil berjalan cepat setengah sprint. Setelah itu memang aku memaafkan diriku atas kesalahan yang telah aku buat. Tapi aku belum bisa memaafkan dia, karena bagiku dia gak salah. Hanya menyebalkan. Jadi orang yang menyebalkan bukan kesalahan, kan Han? Patut dikasihani, malah. Dia mungkin gak tau. Atau mungkin sudah banyak orang yang bilang, tapi dia tutup telinga."

"Bisa jadi. Tapi ya udah lah. Sekarang kamu udah gak kesel lagi kan? Selesai kan?"

"Memang. Cuma waktu ada evaluasi lagi di tempat mereka ngumpul, salah seorang diantara kami ada yang (sok) menganalisa. Entah mungkin karena itu benar atau (lagi-lagi) aku yang sedang terlalu peka, aku gak suka dengan isi ucapannya. Dia bilang aku terlalu over-reacted pada beberapa kasus. Kamu tahu, kan, aku paling gak suka dinilai. Dan dia menilai! Ah... bawaannya anak-anak kelahiran 80-an kali ya Han. Maunya serba cepat, instan, gak sabar menunggu waktu yang tepat dan gak bisa nangkep gestur yang menandakan aku belum bisa terima meskipun aku mengiyakan. Kalo aja dia ngomongnya nunggu waktu yang pas..."

"*Angguk-angguk* Terus kamu gimana?"

"Yaaa... as usual. 'Shoot all the bullshits. I choose to be deaf,' sahutku dalam hati. Persis seperti apa yang kuucapkan 10 menit setelah 'Ground Zero' di depan masjid itu."

"Hahaha... Tepat! Kamu banget, itu! Tapi, ngomong-ngomong, apa lagi sih sebenernya yang bikin kamu murka?"

"Potensial konflik, Han. Kalo within earshot ada orang yang sama reaktifnya sepertiku, or even worse; gak suka dengan ucapannya lantas ngajak gelut, piye? Kan chaos tu bakalannya. Apalagi hari gini orang-orang sumbunya dipaksa jadi pendek karena keadaan yang makin susah. Mungkin ini terlalu jauh. Tapi aku gak suka aja ada omongan provokatif seperti itu. Sama halnya ketika kita batal makan di suatu tempat dengan pertimbangan mahal yang diucapkan keras-keras, padahal tempat makan itu juga cuma kafe Amigos pinggir jalan. Murah, memang, bagi sebagian orang walaupun buat kita itu mahal. Tapi gimana perasaan yang kerja disitu? Toh mereka juga menyambung hidup kan? Resiko pekerjaan, oke lah. Tapi kalo kita bisa bikin orang gak sakit hati, kenapa harus mengucapkan hal yang bikin sakit hati? Kalo cuma ngerasa gak enak tanpa ada kesadaran kayak gitu kan percuma aja to, Han?"

"Kamu juga sering melakukan itu tanpa sadar kan? Mungkin kamu merasa sudah mengurangi, tetapi tetap ada yang lolos, kan?"

"Ya iya, sih. At least kalo aku gak suka ama sesuatu aku memilih untuk diam atau tidak melakukannya at all, kecuali masalah prinsip seperti tadi. Kalo udah kayak gitu, aku memang payah yah! *nyengir*"

"Gak koq, kamu gak payah. Hanya kurang berlatih dan kurang sabar."

"Mungkin. Udah yah Han. Ngantuk. Aku mau sahur terus tidur."

"Jangan lupa setor muka dulu ke Aku ya, Nduk. Kamu gak tahu kan kalo Aku juga sering kangen kamu?"

"Ah, jangan bikin ge-er dong! Ini cuma nyeneng-nyenengein aja kan?"

"Sudah sana, bergerak. Jangan malas ya. Aku sayang kamu, Nduk. Sini, berikan keningmu. Biar tak sun jidat megkilatmu itu! Hahaha..."

"Huuuu. Terima kasih deh, karena masih sayang. Terima kasih juga atas hadiah hidup yang sulit dan berdarah-darah ini. Aku tahu, kalo gak susah dan sakit aku gak bakal belajar, kan? Kalo kadang aku suka getun dan mencaciMu, percaya deh. Aku bakal selalu balik ke Kamu. Jangan berhenti sayang ke aku ya, Han. Karena aku perlu Kamu..."

Comments

  1. Anonymous4:53 AM

    Ya, saya?

    ReplyDelete
  2. Anonymous1:41 PM

    oww... hasil pemikiran yang makin kokoh setelah baca madness of god?

    *bersiap ke gramedia*

    ReplyDelete
  3. Anonymous4:59 AM

    Duh.. makin bingung aku Pit..

    ReplyDelete
  4. Anonymous9:52 AM

    percakapan dengan Tuhan?
    hmm.. menarik..

    --budiw

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women