A Growing Pain
Malem Minggu ini gwa kedatengan lelaki lagi. Kali ini bukan mahluk gundul yang pernah gwa ceritain dulu, meskipun sama botaknya. Dia datang lebih awal, Sabtu pagi pukul 07.30, dengan kereta ekonomi dari Jakarta, bercelana Hawaian, sendal jepit lusuh dan jumper putih serta ransel coklat buluk dan kacamata minus (sok) keren bertengger di hidungnya: Bogie. Masih 'brondong', semester I UI fakultas Hukum. Seangkatan dengan Icha, adek gwa, meskipun lebih tua dia setahun. Dan anaknya Budhe!
Kamis sore sebelumnya ada SMS masuk waktu gwa nguber Maghrib di Masjid Kampus. Dari Bogie yang pakek nomer Mamanya karena keabisan pulsa. Simpel aja isinya: ke Jokja yang murah dan nekat naik apa? Gwa kaget banget bacanya, mengingat episode minggatnya dulu. Karena marah sama Mamanya dia nekat ke rumah gwa, menempuh perjalanan hampir 3 jam ditambah 2 jam menunggu di depan pintu rumah karena hari itu orang-orang keluar semua. Makanya gwa bales dengan ancaman, "Kalo lo mau kabur jilid 2, gwa bilangin nyokap lu nih!" Ternyata dia pergi dengan persetujuan sang mama. Ya udah. Jadilah.
Gak taunya dia datang untuk seorang perempuan yang dekat di hatinya selama beberapa tahun terakhir. To make the long story short, perjalanan jauhnya gak seperti yang diharapkan. Perempuan cantik itu lelah dengan hubungan mereka. Dia memohon untuk tutup buku, selesai. Dan Bogie amat sangat 'patah'. Malam itu juga tiba-tiba dia kangen rumah, rindu pulang dan mendamba berada di dekat orang-orang yang mau menerima dia, sejelek dan sedekil apapun itu.
Akhirnya dia cerita semuanya, apa yang terjadi pada lima belas perempuan-perempuan yang sama mudanya dengan dia, tentang serunya 'mengejar' serta betapa menyenangkan dan membosankannya saat 'reward' itu sudah di tangan. Matanya sedih, meski dia masih tetap cegar-cengir. Belum pernah dia cerita sebanyak itu sejak mengenalnya ketika umurnya masih beberapa hari. Menyelami dia sedalam itupun rasanya juga gak pernah, karena menurut gwa dia cuma anak manja yang amat sangat beruntung, yang bebas melakukan keinginannya (dan selalu positif) dan orang tua permisif.
"Gwa gak tau deh, udah berapa aja cewek yang patah hati ama gwa. Ternyata kayak gini ya rasanya patah hati... sakit!" ujarnya. "Tapi gwa bakal nunjukin koq kalo gwa bisa berubah." Lalu dia berkali-kali memeluk gwa di stasiun sebelum kereta berangkat, malam itu juga. Gwa cuma merasa manusia yang ada di rengkuhan gwa ini adalah bunga liar rapuh yang harus survive sendirian untuk tetap tumbuh. Separah apapun hantaman angin yang dia terima.
Duh, dek. Kamu ternyata gak se-bayi yang kukira. Kamu sudah besar, sudah merasa sakit yang kamu perlu untuk tumbuh. Kamu sedang mengalami fase phoenix yang sedang terbakar. Jangan khawatir. Kamu akan tumbuh jadi burung berbulu indah yang memiliki airmata penyembuh dan nyanyian menenangkan. Aku tunggu!
Kamis sore sebelumnya ada SMS masuk waktu gwa nguber Maghrib di Masjid Kampus. Dari Bogie yang pakek nomer Mamanya karena keabisan pulsa. Simpel aja isinya: ke Jokja yang murah dan nekat naik apa? Gwa kaget banget bacanya, mengingat episode minggatnya dulu. Karena marah sama Mamanya dia nekat ke rumah gwa, menempuh perjalanan hampir 3 jam ditambah 2 jam menunggu di depan pintu rumah karena hari itu orang-orang keluar semua. Makanya gwa bales dengan ancaman, "Kalo lo mau kabur jilid 2, gwa bilangin nyokap lu nih!" Ternyata dia pergi dengan persetujuan sang mama. Ya udah. Jadilah.
Gak taunya dia datang untuk seorang perempuan yang dekat di hatinya selama beberapa tahun terakhir. To make the long story short, perjalanan jauhnya gak seperti yang diharapkan. Perempuan cantik itu lelah dengan hubungan mereka. Dia memohon untuk tutup buku, selesai. Dan Bogie amat sangat 'patah'. Malam itu juga tiba-tiba dia kangen rumah, rindu pulang dan mendamba berada di dekat orang-orang yang mau menerima dia, sejelek dan sedekil apapun itu.
Akhirnya dia cerita semuanya, apa yang terjadi pada lima belas perempuan-perempuan yang sama mudanya dengan dia, tentang serunya 'mengejar' serta betapa menyenangkan dan membosankannya saat 'reward' itu sudah di tangan. Matanya sedih, meski dia masih tetap cegar-cengir. Belum pernah dia cerita sebanyak itu sejak mengenalnya ketika umurnya masih beberapa hari. Menyelami dia sedalam itupun rasanya juga gak pernah, karena menurut gwa dia cuma anak manja yang amat sangat beruntung, yang bebas melakukan keinginannya (dan selalu positif) dan orang tua permisif.
"Gwa gak tau deh, udah berapa aja cewek yang patah hati ama gwa. Ternyata kayak gini ya rasanya patah hati... sakit!" ujarnya. "Tapi gwa bakal nunjukin koq kalo gwa bisa berubah." Lalu dia berkali-kali memeluk gwa di stasiun sebelum kereta berangkat, malam itu juga. Gwa cuma merasa manusia yang ada di rengkuhan gwa ini adalah bunga liar rapuh yang harus survive sendirian untuk tetap tumbuh. Separah apapun hantaman angin yang dia terima.
Duh, dek. Kamu ternyata gak se-bayi yang kukira. Kamu sudah besar, sudah merasa sakit yang kamu perlu untuk tumbuh. Kamu sedang mengalami fase phoenix yang sedang terbakar. Jangan khawatir. Kamu akan tumbuh jadi burung berbulu indah yang memiliki airmata penyembuh dan nyanyian menenangkan. Aku tunggu!
aih.. Mana bawa si Bogie ke gue. Biar gue ajarin tuh untuk mengenal yg namanya perempuan, biar gak disakitin terus!
ReplyDeleteEh eh.. judulnya sama nih! ;)
http://www.9olda.net/2005/04/11/growing-pain/
terus...
ReplyDeletegiliran gue buat ngalamin fase phoenixnya kapan?
ZAP!
*menghilang dengan santai*