Kehilangan dan Melepaskan
Pernah kehilangan? Saya pernah. Berkali-kali. Rasanya seperti ada benda tak kasat mata yang lama tertanam dan mengakar lalu tercerabut dari tengah dada, membuat sesak napas karena hanya menyisakan kekosongan hampa udara. Tidak menyakitkan, karena tidak ada nama yang mampu mendefinisikan rasa melebihi ‘sakit’ ketika hal itu terjadi. Pokoknya, nggak enak sama sekali.
Taukah kamu apa yang tercerabut itu? Hati, yang sama tak kasat matanya dengan oksigen namun diperlukan untuk memanusiakan manusia. Bukan hati yang sering disamakan dengan jantung pemompa darah, hati yang ini mewujud pada benda kesayangan, binatang peliharaan, orang terkasih, teman terdekat, apapun yang menjadi object of affection. Saya bicara tentang keterikatan, tentang waktu tak sebentar, tentang usaha tak sedikit dan tentang kesabaran luar biasa untuk membiarkan keterikatan itu tumbuh. Dan yang paling mendasar adalah menjadikan ‘sesuatu’ itu sebagai sebuah pengingat akan siapa diri kita. Dengan kata lain: eksistensi. Karena itulah dalam anime dan manga berjudul Bleach ada mahluk bernama Hollow, ruh gentayangan dengan lubang di dada (dimana seharusnya hati terletak). Lubang itu terbentuk ketika ‘rantai hidup’ yang menyatukan badan kasar dan badan halus tercabut. Hollow menjadi jahat, lupa belas dan pemahaman manusiawi, haus akan eksistensi untuk menjadi manusia kembali. Akibatnya dia selalu memburu ruh-ruh lemah untuk memuaskan dahaga tak berujung.
Dan ini cerita yang lain. Tentang Wawa, ‘soulmate’ saya, yang karena satu dan lain hal masih tertahan di tempat ayahnya, teman yang saya anggap abang dan saya stempel jidatnya sebagai malaikat lelah. Tadi malam ia harus melepaskan Ice, Siberian Husky buta kawan sepermainan Wawa sedari kecil yang diselamatkan dari pemilik kejam. Ada bidadari pelindung yang akan menjaga anjing buta namun ganteng itu. Sayangnya, ia tinggal di Semarang dan juga diperlukan oleh sembilan Chihuahua imut.
Akhirnya, rencana dimatangkan. Rumah kokoh, layak dan bagus disediakan di tempat tujuan. Mobil pengangkut disewa untuk menjemput sosok soliter berbulu putih-hitam lembut. Kandang besar diangkat untuk kemudian diletakkan di dalam gerbong kereta. Dan petualangan panjang terkurung sendirian di atas rel antara Jakarta hingga Semarang akan dialami Ice selama delapan jam.
Yang tidak terduga adalah Wawa mengamuk! Ia lari menghajar pagar besi dan mengoyak plastik penutup tembus pandang ketika Ice dipindah dari halaman ke mobil bak terbuka. Padahal pagar itu baru saja dirapihkan beberapa hari lalu untuk menyambut pasangan RI 1 versi si abang. Wajah berbulu hitam itu muram luar biasa. Belum pernah Wawa sebegitu marah seperti saat itu. Bahkan ketika ia harus kehilangan Sasha, mbaknya, yang sekarang nyaman-damai di tempat ayah baru. Dan si abang masih saja bercerita tentang bagaimana Ice dan Wawa sangat akur kemarin malam, leyeh-leyeh berdua berdekatan atau berlarian di sekitar halaman depan dan garasi. Wawa lupa bagaimana ia sempat menyerang Ice yang menyisakan codet pada hidung Wawa dan berhasil membuat Ice berbalik terpincang-pincang dengan luka berdarah di kaki. Semua hanya karena saya terlalu lama mengelus leher Ice yang berjalan pelan ke arah saya bersila sementara Wawa sedang menjaga saya.
Saya mendengar semua cerita itu di sebuah senja, pada riuh peluit dan derak rel terhantam roda besi, mengangkuti penumpang dengan tujuan akhir Stasiun Jakartakota. Ice anteng di kandangnya, menjilati rawhide berbentuk tulang yang tanpa sengaja saya beli selepas makan siang. Mungkin ia tidak sadar saya ada di hadapannya, menyulut rokok meredakan gugup sambil bersandar pada pintu geser terbuka, sesekali minggir memberi ruang untuk para porter memunggah paket. Dan mungkin ia juga tidak sadar bahwa saya merasakan hal yang sama dengan Wawa.
Semua tanpa rencana bagi saya. Satu jam sebelumnya saya nekat, meninggalkan pabrik hanya demi melihat sepasang mata putih namun baik dan mengelus leher berbulu lembut untuk yang terakhir kali. Saya tidak peduli ketika izin pulang terendus kebohongannya oleh bapak HRD dan disampaikan melalui SMS. Saya mengambil resiko ketinggalan kereta dan tiba di stasiun dalam waktu tiga puluh menit. Yang saya tau, saya harus menghadapi sesak napas ini. Karena saya juga kehilangan.
Setengah tujuh kurang sedikit. Sebelum pintu ditutup, saya ingatkan petugas yang berjaga di dalam untuk mengucurkan air mineral ke dalam wadah minum Ice. Sang Ayah mengepalkan uang duapuluhribuan padanya dengan frase singkat: “Jagain, ya.” Saya tidak pedulikan beberapa orang bekerumun, bertanya ini itu, atau mengomentari dua anakan Chow-chow dan satu Pitbull Terrier yang nyaman berada dalam kennel box mereka. Ketika akhirnya Sembrani menandak pergi, sebuah tepukan halus di punggung menyadarkan saya untuk menyusut butiran bening yang sempat menggelincir.
“He’d be fine,” ujarnya. Ada ketegaran di sepasang mata itu, meskipun temaram senja dan terang neon tak mampu menyembunyikan sedikit kekhawatiran dan kesedihan yang sepersekian detik diperlihatkan. Dan ia masih bertindak layaknya abang. Ketika saya gagal memberi penghiburan, ia malah mengajarkan perbedaan antara bagaimana melepaskan agar tidak kehilangan.
“When I feel sad, I think about his great, big house, the one provided by Anin there. Then, I feel fine again,” ucapnya, sementara saya masih berjalan menunduk memandangi kerikil yang mendadak lebih menarik ketimbang bulan sabit samar tergantung di permulaan malam. Dan saya sama sekali tidak menemukan sesuatu yang lucu dari jejeran sepeda tua lengkap dengan topi kompeni dan papan bertuliskan “disewakan untuk fhoto-fhoto” di pelataran Kafe Batavia. Pendar kembang api dan sapaan ramah para pembaca garis tangan seperti numpang lewat di mata dan telinga saya. Kekosongan ini masih menyesakkan hingga saya rebah di dalam kamar selepas tengah malam.
Sudah pukul tiga lewat ketika pesan pada ponsel butut saya mengabarkan Ice baik-baik saja sesampai di Stasiun Tawang, Semarang. Tidak ada tanda-tanda ia stress di jalan. He’s just as cool as Ice!
Saat saya memutuskan untuk mengucap terimakasih lewat ponsel, saya dengar Ice melolong. Satu kebiasaan yang dilakukan hanya ketika hatinya senang. Saya tidak bisa membendung airmata saya lagi. Jagoan saya terlindung di tempat penuh kasih. Mendadak, lubang hampa udara di dada saya kembali penuh dan saya menghembuskan napas lega. Seiring embun pertama hari ini, saya akhirnya mengerti bagaimana belajar melepaskan untuk sama sekali tidak kehilangan.
Dedicated to Ice, a blind beast with a lovely heart. One of these days I’ll be seeing that fluffy white tail wagging again and watch you howling happily. With or without full moon ☺
Photo courtesy of, of course, his Daddy.
Taukah kamu apa yang tercerabut itu? Hati, yang sama tak kasat matanya dengan oksigen namun diperlukan untuk memanusiakan manusia. Bukan hati yang sering disamakan dengan jantung pemompa darah, hati yang ini mewujud pada benda kesayangan, binatang peliharaan, orang terkasih, teman terdekat, apapun yang menjadi object of affection. Saya bicara tentang keterikatan, tentang waktu tak sebentar, tentang usaha tak sedikit dan tentang kesabaran luar biasa untuk membiarkan keterikatan itu tumbuh. Dan yang paling mendasar adalah menjadikan ‘sesuatu’ itu sebagai sebuah pengingat akan siapa diri kita. Dengan kata lain: eksistensi. Karena itulah dalam anime dan manga berjudul Bleach ada mahluk bernama Hollow, ruh gentayangan dengan lubang di dada (dimana seharusnya hati terletak). Lubang itu terbentuk ketika ‘rantai hidup’ yang menyatukan badan kasar dan badan halus tercabut. Hollow menjadi jahat, lupa belas dan pemahaman manusiawi, haus akan eksistensi untuk menjadi manusia kembali. Akibatnya dia selalu memburu ruh-ruh lemah untuk memuaskan dahaga tak berujung.
Dan ini cerita yang lain. Tentang Wawa, ‘soulmate’ saya, yang karena satu dan lain hal masih tertahan di tempat ayahnya, teman yang saya anggap abang dan saya stempel jidatnya sebagai malaikat lelah. Tadi malam ia harus melepaskan Ice, Siberian Husky buta kawan sepermainan Wawa sedari kecil yang diselamatkan dari pemilik kejam. Ada bidadari pelindung yang akan menjaga anjing buta namun ganteng itu. Sayangnya, ia tinggal di Semarang dan juga diperlukan oleh sembilan Chihuahua imut.
Akhirnya, rencana dimatangkan. Rumah kokoh, layak dan bagus disediakan di tempat tujuan. Mobil pengangkut disewa untuk menjemput sosok soliter berbulu putih-hitam lembut. Kandang besar diangkat untuk kemudian diletakkan di dalam gerbong kereta. Dan petualangan panjang terkurung sendirian di atas rel antara Jakarta hingga Semarang akan dialami Ice selama delapan jam.
Yang tidak terduga adalah Wawa mengamuk! Ia lari menghajar pagar besi dan mengoyak plastik penutup tembus pandang ketika Ice dipindah dari halaman ke mobil bak terbuka. Padahal pagar itu baru saja dirapihkan beberapa hari lalu untuk menyambut pasangan RI 1 versi si abang. Wajah berbulu hitam itu muram luar biasa. Belum pernah Wawa sebegitu marah seperti saat itu. Bahkan ketika ia harus kehilangan Sasha, mbaknya, yang sekarang nyaman-damai di tempat ayah baru. Dan si abang masih saja bercerita tentang bagaimana Ice dan Wawa sangat akur kemarin malam, leyeh-leyeh berdua berdekatan atau berlarian di sekitar halaman depan dan garasi. Wawa lupa bagaimana ia sempat menyerang Ice yang menyisakan codet pada hidung Wawa dan berhasil membuat Ice berbalik terpincang-pincang dengan luka berdarah di kaki. Semua hanya karena saya terlalu lama mengelus leher Ice yang berjalan pelan ke arah saya bersila sementara Wawa sedang menjaga saya.
Saya mendengar semua cerita itu di sebuah senja, pada riuh peluit dan derak rel terhantam roda besi, mengangkuti penumpang dengan tujuan akhir Stasiun Jakartakota. Ice anteng di kandangnya, menjilati rawhide berbentuk tulang yang tanpa sengaja saya beli selepas makan siang. Mungkin ia tidak sadar saya ada di hadapannya, menyulut rokok meredakan gugup sambil bersandar pada pintu geser terbuka, sesekali minggir memberi ruang untuk para porter memunggah paket. Dan mungkin ia juga tidak sadar bahwa saya merasakan hal yang sama dengan Wawa.
Semua tanpa rencana bagi saya. Satu jam sebelumnya saya nekat, meninggalkan pabrik hanya demi melihat sepasang mata putih namun baik dan mengelus leher berbulu lembut untuk yang terakhir kali. Saya tidak peduli ketika izin pulang terendus kebohongannya oleh bapak HRD dan disampaikan melalui SMS. Saya mengambil resiko ketinggalan kereta dan tiba di stasiun dalam waktu tiga puluh menit. Yang saya tau, saya harus menghadapi sesak napas ini. Karena saya juga kehilangan.
Setengah tujuh kurang sedikit. Sebelum pintu ditutup, saya ingatkan petugas yang berjaga di dalam untuk mengucurkan air mineral ke dalam wadah minum Ice. Sang Ayah mengepalkan uang duapuluhribuan padanya dengan frase singkat: “Jagain, ya.” Saya tidak pedulikan beberapa orang bekerumun, bertanya ini itu, atau mengomentari dua anakan Chow-chow dan satu Pitbull Terrier yang nyaman berada dalam kennel box mereka. Ketika akhirnya Sembrani menandak pergi, sebuah tepukan halus di punggung menyadarkan saya untuk menyusut butiran bening yang sempat menggelincir.
“He’d be fine,” ujarnya. Ada ketegaran di sepasang mata itu, meskipun temaram senja dan terang neon tak mampu menyembunyikan sedikit kekhawatiran dan kesedihan yang sepersekian detik diperlihatkan. Dan ia masih bertindak layaknya abang. Ketika saya gagal memberi penghiburan, ia malah mengajarkan perbedaan antara bagaimana melepaskan agar tidak kehilangan.
“When I feel sad, I think about his great, big house, the one provided by Anin there. Then, I feel fine again,” ucapnya, sementara saya masih berjalan menunduk memandangi kerikil yang mendadak lebih menarik ketimbang bulan sabit samar tergantung di permulaan malam. Dan saya sama sekali tidak menemukan sesuatu yang lucu dari jejeran sepeda tua lengkap dengan topi kompeni dan papan bertuliskan “disewakan untuk fhoto-fhoto” di pelataran Kafe Batavia. Pendar kembang api dan sapaan ramah para pembaca garis tangan seperti numpang lewat di mata dan telinga saya. Kekosongan ini masih menyesakkan hingga saya rebah di dalam kamar selepas tengah malam.
Sudah pukul tiga lewat ketika pesan pada ponsel butut saya mengabarkan Ice baik-baik saja sesampai di Stasiun Tawang, Semarang. Tidak ada tanda-tanda ia stress di jalan. He’s just as cool as Ice!
Saat saya memutuskan untuk mengucap terimakasih lewat ponsel, saya dengar Ice melolong. Satu kebiasaan yang dilakukan hanya ketika hatinya senang. Saya tidak bisa membendung airmata saya lagi. Jagoan saya terlindung di tempat penuh kasih. Mendadak, lubang hampa udara di dada saya kembali penuh dan saya menghembuskan napas lega. Seiring embun pertama hari ini, saya akhirnya mengerti bagaimana belajar melepaskan untuk sama sekali tidak kehilangan.
Dedicated to Ice, a blind beast with a lovely heart. One of these days I’ll be seeing that fluffy white tail wagging again and watch you howling happily. With or without full moon ☺
Photo courtesy of, of course, his Daddy.
see...ICE pasti baik-baik saja. sekarang dia pasti senang di rumah yang baru pit...
ReplyDeletejadi, kapan kita nengok ICE dirumah barunya ? heheheheh
There.. there... *pat* *pat* :D
ReplyDeleteLolongannya suda menunjukan kalau dia senang disana
Auuuuh
ahhhh kamu itu
ReplyDeletebegitu bagus menceritakan perpisahan itu
tidak cengen
tidak lebay
tapi menggoreskan suatu yang dalam di hatiku
dan meninggalkan dua bentuk aliran airmata di pipi
Aku masih berada di pihak Wawa
saat ini
entah seminggu atau sebulan atau setahun ke depan...
karena perpisahan memang sudah terlaksana.
belajar melepaskan untuk sama sekali tidak kehilangan
sulit memang tapi harus dipelajari.
Dan sebetulnya hari ini aku juga berpisah dengan mobil tuaku yang sudah melayani kami selama 3,5 tahun.
TIMELY
Hug pito with thanks
EM
fiuh....bacanya ikut nyesek :(
ReplyDeleteglad to hear that ice is fine *hugs*
hi there. thanks for the comments (=
ReplyDeletemenurut mommynya Ice, dia sekarang udah mulai betah disana. sempet ada beberapa kejadian konyol, tapi bisa ke-handle dengan baik kok. tapi ya emang macem2 tingkahnya, kek balik lagi jadi puppy. kadang nyebelin, tapi lucu. mommynya ampe gemes2 gimanaaa gitu :D
kemaren sempet dikirimin potonya Ice lagi ngantuk. hihi. and i could see that he's just ridiculously happy.
sekali lagi, makasih, makasih, makasih semuanyaaa...
aku belum kenal objek yg km bicarakan itu pit, tp km sdh mbuatku ikut kehilangan sesaat..pito rocks!!
ReplyDeleteIni ya kejadian yang mampu menteskan ai* mat* seorang pito...
ReplyDeletegue jg bisa ngebayangin sedihnya. mana belum sempet ketemu sama ice yang manis ini... hiks.
seenggaknya ada satu hal yang bikin tenang, ice dirawat sama orang yng sama-sama baik dan care :)
what a lovely dog, and also a lucky one..
ReplyDeleteSaya bencih postingan ini..
ReplyDeletekarena saya jadi nangis..
huhuhu...
saya ngerti apa yang kamu rasakan kok.. duh kok ikutan nyesek
*close*
ini kenapa pada tangis2an disini?! hihi.
ReplyDelete