A Scrivere
Pada awalnya adalah kata...
Saya lupa siapa yang pernah bilang begitu. Tapi saya mengingatnya seperti saya mengingat berapa jumlah jari pada tangan kanan dan kiri saya.
Ya, pada awalnya adalah kata, terketik pada layar monitor huruf demi huruf, menjadi kalimat maupun frasa, lalu mewujud paragraf, kemudian menjelma artikel atau esai, atau muntahan curhat-curhat yang nggak begitu penting bagi orang lain. Setelah itu tersimpan dalam bentuk digital di dunia maya, sebagai blog atau posting di forum. Padahal jamannya eyang buyut saya belum ada, pionirnya adalah papirus dan tinta. Yang punya kemampuan menulis pun--secara duit dan pendidikan--juga cuma orang-orang tertentu. Menulis adalah elit dan eksklusif.
Saya suka menulis di blog. Sebagai penyeimbang mental dan medium kesombongan. Ada banyak karat otak betumpukan, menunggu untuk dibuang dan sering makin mengganggu storage di kepala. Karena bisa diakses siapa saja, jadilah, siapapun bisa membaca karat-karat saya asal tau alamatnya. Ternyata nggak sedikit yang memuji dan mencaci. Dan karena pujian itu saya merasa sombong, merasa bisa. Padahal saya ya sama aja, nggak ada tai-tainya sebagai penulis. Nggak seperti Eyang Pram yang nasonalis asli atau Pak GM yang hidupnya dahsyat. Saya juga nggak sengotot Marquis de Sade yang menulis dengan tinjanya sendiri di dinding ruang pengasingan.
Sebulan ini saya mengalami gejala mirip depresi mental dan sepertinya akan berkelanjutan sebelum saya bisa keluar dari jerat yang saya buat sendiri. Celakanya, saya nggak ngeh. Baru sadar ketika apapun yang saya kerjakan nggladrah kemana-mana dan nggak fokus. Bahkan menulis pun saya nggak sanggup. Berhari-hari saya habiskan waktu untuk menonton serial anime, tanpa sadar bermimpi dan mengidentifikasi diri bahwa saya adalah salah satu tragic hero pada episode-episode yang saya sedot melalui bandwith pabrik. Menulis dan membaca, dua hal yang saya suka, tidak mampu saya lakukan, sama sekali.
Padahal saya punya mimpi sendiri. Saya hanya malas berjuang.
Akhirnya, melalui tulisan yang terketik pada layar monitor empat belas inci, pada dinihari dingin penyejuk udara di sebuah kafe dua puluh empat jam di depan gang kos-kosan, saya membuat pengakuan. Saya manusia biasa. Hidup saya mungkin tidak biasa, namun saya mendamba semuanya biasa saja. Sungguh, saya sirik pada gerombolan lelaki dan perempuan pulang dugem yang duduk diagonal dari meja saya. Mereka punya hidup indah yang bisa ditertawakan tanpa beban. Jika ada sesuatu yang mengganggu, mereka punya semua yang bisa membeli hentak musik ratusan bpm dan minuman beralkohol. Lalu berjalan sempoyongan di tempat makan, berteriak memesan dim sum atau meminta kopi hangat. Sangat biasa sekali.
Ah, tidak seharusnya saya berpikir seperti itu. Sebagaimana ibu dan beberapa teman saya bilang, hidup adalah perihal sawang-sinawang, tentang halaman di dalam pagar sebelah yang selalu memiliki rerumputan lebih hijau ketimbang di dalam pagar sendiri.
Dan tulisan tentang menulis ini pun nggladrah kemana-mana. Lagi.
ps: gambar diambil dari koleksi wallpaper si pektay.
wang sinawang itu keren :)
ReplyDeletesaya lebih suka tulisanmu yg nggladrah gini pit :D
ReplyDeletehemmm...kita semua memang biasa saja, hanya Tuhan yang Ruuarrr biasa..tapi ketika saya melihat fucked up nya dunia ini (bencana alam, perang antar agama, membunuh dalam nama Tuhan, tsunami, gempa bumi, bencana gizi buruk dan kelaparan di afrika). lalu saya pun berpikir kalau Tuhan juga ternyata Biasa saja seperti kita.
ReplyDeleteMo nggladrah mo nggak tulisan lw kok keren semua ya Pit ya :D
ReplyDeletedeni
ReplyDeleteemang siapa yg ngomongin tuhan?
eru
*keplak*
don't insult my intelligence!
"Padahal saya punya mimpi sendiri.Saya hanya malas berjuang" <-- terkemplang sama kalimat yang ini, mbak Pit :)
ReplyDeleteSalam kenal dari fans baru
~Freaky~