Kita Lahir dari Kemesuman: Tentang Seksualitas

Gambar dicomot dari sini.

Hey, don't knock masturbation. It's sex with someone I love.

- Woody Allen as Alvy Singers in Annie Hall

Owkey. Saya yakin semua orang yang nyasar sampe ke rumah virtual saya ini sudah pada gede, jembutnya juga sudah banyak, dan saya yakin pemikirannya juga sudah dewasa, nggak seperti bocah yang kalo nggak suka lalu ngambek. Jadi, saya akan ngomong blak-blakan aja.

SAYA. MAU. NGOMONGIN. SEKS.

Iya. Seks. Kelamin. Organ reproduksi. Hal paling pribadi di tubuh manusia. Dalam konteks ilmiah dan serius. Bukan buat bercanda. Itu juga kalau saya mampu.

Jadi begini…

Saya bisa bilang saya beruntung. Sedari kecil saya dan adik belajar tentang seksualitas sendiri dari sumber paling terpercaya: orang tua. Awalnya sederhana, belajar membedakan kelamin lelaki dan perempuan sambil mandi bersama, dan belajar menghormati kelamin sendiri dan orang lain dengan tidak mengumbar atau mencela organ tersebut sembarangan. Ibu saya mungkin adalah orang tua paling moderat, paling terbuka dan paling legowo yang pernah dipunyai anak Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi biasa saja. Pengetahuannya yang hanya sebatas lulusan SMA tidak membuatnya picik dan menjangankan semua hal yang seharusnya diketahui seorang anak. Dia akan menjawab semua pertanyaan, menjelaskan semua kebingungan saya dan menjabarkan semua hal yang saya tuntut penjelasannya dengan bahasa yang bisa saya mengerti. Meskipun masih menyebut “tutut” untuk penis dan “mimok” untuk vagina.

Saya pernah menjadi konsultan seksual saat kelas 6 SD, menjelaskan secara gamblang bagaimana sperma bertemu sel telur dan terjadi pembuahan untuk kemudian menghasilkan bayi. Saya juga menyangkal ketakutan teman-teman perempuan bahwa cipokan dan pembalut bekas yang dilangkahi laki-laki bisa menyebabkan kehamilan. Nggak ada yang bisa menyanggah saya karena semua teman sekelas nggak ada yang tahu informasi tersebut. Dan saya merasa hebat! Haha!

Tapi jaman saya kecil ya beda lah dengan jaman sekarang. Google saya hanya ibu, sementara hari gini bahkan mencontek saat ujian pun bisa dilakukan menggunakan teknologi internet. Tapi mengapa pendidikan seksual di masa sekarang masih sama gelapnya seperti ketika saya kecil dulu?

Sekarang saya mau lompat ke saat saya dibuang ke Jogja, tempat saya menonton film paling horror dan jauh lebih horror daripada yang sering di-twit-kan @jonitengik. Dan itu adalah sekali-sekalinya saya mendapatkan pendidikan seksual di institusi sekolah. Saya nggak tahu apa judulnya, tapi yang saya bisa pastikan, semua pemainnya seperti ditarik dari masa John Lennon masih hidup.

Awalnya kami dikasih yang asyik-asyik: posisi-posisi bercinta. Kami cekikikan dong. Namanya juga nonton hal yang biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi kaaan… Lalu narrator berbahasa Inggris dan bersuara berat tapi kaku itu menjelaskan tata cara menggunakan pengaman. Kami masih cekikikan. Sampai adegan aborsi. Kami diam nggak bergerak. Beberapa duduk terpaku, malah ada suara mengisak di samping saya. Itu benar-benar horror.

Jadi, pelaksanaan aborsi pada kehamilan trimester ketiga itu brutal. Ada alat yang masuk ke dalam vagina yang fungsinya untuk mencacah janin. Lalu janin yang hancur tersebut akan ditarik. Yang paling besar dan paling terakhir dikeluarkan adalah kepala, dan para dokter itu menamakannya “The Number One”.

Tapi ada satu hal dari adegan horror tersebut yang paling bikin mata saya terpaku menatap layar. Ketika alat pencacah janin tersebut masuk, si janin menarik-narik anggota tubuhnya menjauh. Sepertinya dia tahu bahwa perabot operasi itu mengancam nyawanya. Dan itu menyadarkan saya bahwa kehidupan berawal jauh lebih dini daripada sekadar kelahiran.

Balik lagi ke masa sekarang, tahun 2013 di penghujung Januari, setelah hampir dua minggu bokong saya ada di Bali (iya, ini pamer. Nggak usah protes). Di tengah terbongkarnya kasus gratifikasi busuk Partai Kelamin Somplak, salah satu teman saya menyatakan kegelisahannya tentang betapa minim pengetahuan seksual yang diberikan pada anak-anak dibawah umur. Dia nggak setuju razia ponsel di sekolah-sekolah dan mempermalukan mereka yang ketahuan menyimpan konten dewasa dalam memory gadget, mempersidangkan mereka di ruang BK lalu memanggil wali murid yang berpuncak pada murka akibat menganggap perbuatan itu sangatlah kotor tak bermoral. Padahal, sebagaimana yang saya ketikkan di judul, kita semua terlahir dari perbuatan tidak bermoral tersebut.

Terus, gimana dong?


Syahdan menurut konon dongeng orang-orang Kaukasia, bayi diantarkan burung bangau. Jadi ya gitu deh. Gambar dari... kan alamat situsnya ada di gambar.


Ya saya sih kepingin sekali ada kurikulum yang mengajarkan hal paling sederhana yang bahkan seringkali luput dari perhatian kita, orang-orang dewasa berjembut banyak: kesehatan organ reproduksi, informasi pencegahan kehamilan tidak diinginkan, dan yang paling penting adalah menghormati kelamin sendiri dan kelamin orang lain dengan tidak menjadikannya olok-olok dan tidak menjadikannya “senjata” memerawani pacar. Sekolah bisa bikin kelas terpisah, lelaki dan perempuan. Jembrengin deh di situ semua hal ilmiah yang perlu diketahui seputar selangkangan tanpa ada rasa risih ataupun malu. Kalau perlu “doktrin” mereka untuk tidak melakukan eksperimen seputar organ reproduksi selama duit masih nodong orang tua dan tidur masih seatap dengan mereka. Bikin anak-anak unyu dan polos tersebut—yang memiliki rasa ingin tahu lebih banyak daripada seluruh komposisi air di planet Bumi—mengerti bahwa kematangan kelamin harus seiring sejalan dengan kematangan emosi. Gambaran besar saya sih kalau bocah-bocah itu dibegitukan maka angka pelecehan seksual pada perempuan dan tindak perkosaan akan lumayan turun karena sejak dini mereka dibekali pengetahuan tentang perangkat paling intim yang melekat dalam badan sendiri.

Tapi ya… gimana ya? Di negara yang Menkominfonya saja merasa jadi penjaga moral, yang untuk masuk sekolah saja ada wacana tes keperawanan dan korban perkosaan malah disalahkan melalui cara mereka berpakaian, dan bahkan kepala sekolah melarang siswi yang hamil karena diperkosa untuk ikut Ujian Nasional, saya mau berharap apa?

Ada saran?



Comments

  1. Anonymous2:30 AM

    wah saya terperangkap ke blog yang hina dina ini ............. asem !!

    Dan saya mengiyakan tentang kurikulum seks sejak dini, namun harus dibenahi juga standarisasi guru pengajarnya ....

    jangan yang cabul .... repot ntar !!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah menyempatkan berjejak.
      Masalah kecabulan ya tergantung sih. Untuk beberapa orang manual menggunakan kondom aja bisa dianggap cabul. Gw juga setuju dengan standarisasi pengajar. Still, selama sistem sekolah masih pake cara mempermalukan murid, gw pesimis. Makanya, sepertinya ortu harus kerja lebih keras buat didik anak. Benteng pertama kan dibangun dari rumah. Kata gw sih gitu.

      Delete
  2. pendidikan anak memang memang perlu keterlibatan orangtua dan tidak ekslusif diserahkan pada sekolah atau guru privat saja.

    yang terjadi di indonesia: ada kecenderungan orang tua malas untuk mengurusi pendidikan anak sehingga memilih sekolah sebagai tempat penitipan anak, dan diperparah dengan situasi dimana orang tua merasa diri mereka tidak pintar dan tidak mampu mendidik anak sehingga percaya sepenuhnya dengan pendidikan dari sekolah atau institusi pendidikan lainnya.

    kekonyolan lain, ketika anak menjadi lebih paham daripada orangtuanya, si orangtua cenderung menganggap anaknya salah didikan.

    ReplyDelete
  3. HASTAGAH! ADA BOT BEGOBET KOMENG DI MARIH!!!
    *menjura*

    gw setuju tuh Bet ama elu. justru pendidikan seks awalnya dari ortu dulu. dan buat gw amatlah setupit kalo ortu menganggap sekolah sebagai tempat nitipin dan ngedidik anak meskipun sekolah itu muwehel dan bayar pake dolar. makanya, menurut Bu Anggi, kalo jadi ortu itu harus lebih pintar dari anaknya. atau setidaknya terlihatlah lebih pintar. biar nggak kalah wibawa. hihi.

    Begobet salam buat Papa Jim ya!

    ReplyDelete
  4. Anonymous11:05 AM

    Btw bener juga, proses aborsi emang nyeremin. Kadang mikir kok tega bener orang yg ngelakuin itu... Pada mo enak ngewenya doang sih. At least, pake kondomlah. Pffftttt.

    ReplyDelete
  5. Anonymous4:14 AM

    Numpang Muntah:
    Saya baru tau belakangan ini, kalo anak berumur 16 tahun itu sudah diperbolehkan utk menikah (Ada di UU Pernikahan), umur segitu mah belum lulus SMA.

    Negara aja uda bikin peraturan kayak gini, artinya (menurut saya) manusia di Indonesia dianjurkan (dilindungi secara hukum) setelah 16 tahun untuk berkembang biak dan memperbanyak keturunan.

    Saran paragraf terakhir sih bisa diterapin di kota-kota besar atau di kota-kota yang akses informasi banyak serta masyarakatnya sedikit cerdas. Gak yakin saya kalo hal itu bisa diterapkan di daerah-daerah terpencil, minim akses informasi, akses pendidikan.

    Ah, maaf tak ada saran hanya nyampah.

    ReplyDelete
  6. Avenk
    Gw sih ga gitu. Ini a way, gw setuju aborsi untuk kehamilan tidak diinginkan, misalnya pada penyintas-survivor-perkosaan dan pada kehamilan anak2 di bawah umur (dibawah 18) atau kalo perempuannya merasa nggak mau punya anak. The last option sounds cruel? Gw nggak menutup mata. Ya, itu sounds cruel. Tapi mau punya anak atau nggak, seharusnya perempuan punya hak dan tanggungjawab penuh terhadap hidup dan organ reproduksinya sendiri. Dan karena proses aborsi semenyeramkan itulah maka dalam beberapa kasus yg gw temuin diantara temen2 gw sendiri, meskipun pada saat aborsi itu dilakukan mereka bisa begitu sangat egois karena hanya mikirin kehidupan sendiri, percaya sama gw, perasaan bersalah itu nggak pernah akan hilang seumur hidup.

    Rizki
    Haha! Seriously, man... masih percaya sama UU? Di atas kertas mungkin begitu. Kenyataannya bahkan anak2 umur 16 yg terpaksa harus menikah, mereka nggak tau letak klitorisnya sendiri. Nah, hal2 kek gitu aja deh, yg sederhana, yg fisiologis dan anatomis yg harusnya diajarin rata ke seluruh anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Gw pikir ini standar. Masalah penyampaiannya dan kotak tabu yg mesti dibongkar, itu teknis banget dan amat sangat bisa digabungin sama local wisdom setempat.
    Ya sebenernya yg mesti dibenahin dulu ya masalah negatip tingkingnya itu, mindset merendahkan bahwa manusia hanya dikuasai syahwat semata. Harusnya kita tersinggung karena dianggap nggak bisa jaga diri dan orang lain karena tergoda bujuk rayu setan hingga manusia khilaf. Padahal setan lagi ngopi ama gw. Kasian setan.

    ReplyDelete
  7. Anonymous6:02 PM

    Sompret. Lama bener balesnya. Sibuk amat euy di Bali :P

    Hmmm kalo perkosaan itu pengecualian deh, yg gw maksud diatas kan kalo dua-duanya sama-sama 'sadar' pas gituan dan dua-duanya sama-sama nggak mo punya anak, ya pake kondom. Gitu sih maksud gw...

    Tentang aborsi, ya gw udah nyaksiin sendiri. Sampe sekarang aja masih kebayang seremnya. Hih...

    ReplyDelete
  8. haha! hampura atuh, kasep! =P
    ummm... bahkan ketika hubungan seksual atas dasar konsensual, dilakukan atas kesadaran dan tanpa paksaan, masalah perempuan mau mengandung atau nggak itu benar2 keputusan si perempuan sendiri.
    penggunaan kondom kan preventif, Avenk. aborsi itu solutif. agak mirip, tapi beda konteks sih. tapi gw setuju kalo emang konsensual harus preventif. ada yg lebih mengerikan dari sekadar bayi: penyakit menular seksual. itu edan2an "napas"nyah, man. yg terlibat juga nggak cuma partner senggama lu doang, tapi keluarga dan teman.

    ReplyDelete
  9. Anonymous1:08 AM

    Beuuuuh, mun urang ngamuk wee, sia bae-baein... *timpuk sendal*

    ReplyDelete
  10. *balikin sendal*
    ntar kalo ke toilet ndak ada gituan kakimu dingin...
    *ceritanya perhatian*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women