... And the Devil May Cry: Atheism 101

PENYANGKALAN:

Isi tulisan berikut akan seperti judulnya, dan kebenaran (menurut mereka yang menganggap ini benar) di dalamnya akan saya sampaikan dengan bahasa selembut mungkin. NOT! Hihi. Bagi pengunjung parno silakan keluar dengan baik-baik. Mau misuh-misuh dulu di kolom komen juga nggak papa. Bagi yang punya iman, silakan pasang sabuk pengaman dogma.
Terima kasih
(=

Tulisan pada gambar menjelaskan segalanya. Nggak usah pake link lagi.

Halo! Selamat hari Rabu! Sudah berdoa hari ini? Saya sih nggak. Maafkan jika terkesan belagu. Tapi beberapa tahun belakangan ini saya tersadar kok, berdoa atau nggak itu sama saja. Kita nggak bisa ngeles dari hukum sebab-akibat. Jika suatu hal terjadi sesuai dengan kehendakmu--atau kebetulan kamu mendapatkan hal menyenangkan yang nggak kamu sangka--ya selamat. Berarti kamu beruntung. Teori probabilitas sedang memihakmu. Sesederhana itu. Bukan hasil keajaiban, bukan karena kemudahan yang diarahkan semesta.

Dan karena saya sering sekali ikutan nongkrong-sok-ikut-diskusi-biar-dibilang-asik-padahal-cuma-pengen-ngemil-gretongan bareng teman-teman yang berani menyebut diri sebagai godlessly skeptical and faithless bunch, sekarang saya mau sotoy masalah mitos seputar ateisme--ketidakpercayaan terhadap Tuhan--secara umum. Dan apakah saya ateis? Belum tentu. Saya sih nggak pernah menyebut diri seperti itu. Kamu mau nyangka seperti itu ya monggo. Saya nggak ngelarang. Tapi bahasan tentang -isme apapun buat saya selalu menarik. Dan sebagaimana penganut paham -isme yang baik, saya yakin dan percaya bahwa di dalam ayam luarbiasa besar ini, ayam semesta (owkey. Garing. Sila disiram), hanya ada dua keyakinan: pitoisme dan apitoisme. 

Mulai? Yuk!

Mitos:
Semua orang ateis adalah manusia bejat tidak bermoral

Ah, yang beneeer... udah pernah liat Legatum Prospeity Index? Itu lho, indeks prestasi tahunan yang dibikin satu institusi yang kerjaannya ngurusin jeroan negara lain dan dibikin ranking-nya berdasarkan kekayaan, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan pribadi dan kualitas hidup. Negara jagoan yang diusung-usung sebagai percontohan dan menempati posisi pertama selama tiga periode adalah Norwegia yang menurut poling tahun 2005 47% dari penduduknya percaya adanya kekuatan kehidupan. Bukan Tuhan normatif sebagaimana definisi berbagai aliran keyakinan. Padahal bejat atau nggak itu kan manusiawi. Nggak usah jauh-jauh juga lah sampe ke Norwegia. Banyak contohnya juga kok di sini, dan ditunjukin sama orang-orang yang (mengaku) sangat percaya Tuhan. Halo, para koruptor yang mendadak berkerudung dan berpeci ketika sidang! Halo, Aceng Fikri, Diani, Ratu Atut, Rhoma Irama, Fauzi Baadilah, para guru ngaji dan pastor yang tangannya suka plak-plek aja ke jamaah/jemaat perempuan muda dan orang-orang yang selalu dengan mudahnya menyebut berbagai keapesan sebagai konstipasi Wahyudi! 

My point is, moral adalah standar abstrak yang terlalu berat jika dikenakan pada agama dan Tuhan. Punishment-and-reward di hari akhir nggak membantu membuat efek jera bagi pelaku karena nggak kelihatan sama manusia bermata telanjang.  Nggak usah lah muluk ngomongin moral. Golden rule aja dulu: karena tahu dicubit itu sakit, ya jangan nyubit. Karena tahu kecolongan itu menyebalkan ya jangan nyolong. Nggak enak dihianatin? Ya jangan berhianat. Itu untuk pribadi, per individu. Kontrolnya? Integritas. Sama lah nggak keliatannya sama neraka dan surga. Tapi setidaknya kalo kamu punya yang namanya integritas, sistem nilai pribadi yang code-of-conduct-mu nggak lepas dari itu, kamu boleh bangga dengan dirimu sendiri karena sanggup melangkah di jalan yang benar. So, nggak banyak menyimpang kan dari orang-orang beragama yang code-of-conduct-nya juga sesuai dengan kitab suci? Untuk komunitas atau organisasi besar bernama negara? Awas aja ada yang ngomong Sumpah Pocong. Nggak, bukan itu. Tapi hukum yang jelas, Nyeeet. Hukum!

Mitos:
Orang-orang ateis nggak punya hati

Eh? Dikemanain hatinya? Dijadiin sambel goreng? Hihi. 

Pengalaman saya malah menunjukkan sebaliknya tuh. Justru orang-orang yang mengaku bertuhan itu yang kebanyakan nggak punya hati. Contohnya ya nggak usah jauh-jauh lah. Masak berbuat baik aja mesti diiming-imingi pahala dan surga sih? Hayo, yang masih beragama. Ngaku aja lah, dalem hati juga nggak papa. Saya juga nggak tahu kok. Owkey, kalaupun nggak ngerasa berharap pahala. Mosok tetep ada embel-embel ganjaran di dunia setelah mati? Beberapa teman saya yang ateis malah tidak menyantap produk binatang dan olahannya karena menurutnya itu perbudakan dan penindasan manusia terhadap mahluk hidup beda spesies. Ya  meskipun beberapa lagi masih pada suka babi panggang sih...     

Terus terang saya sebal sekali dengan ganjar-mengganjar ini. Masalahnya saya pernah ngalamin sendiri nyariin link buat teman di luar kota yang teramat sangat perlu rekan diskusi tepat sehari sebelum Ramadhan. Waktu saya dapat kontak ke manusia yang sekiranya mumpuni, saya minta teman saya itu untuk kenalan sendiri, sowan ke sanggar belajar si bapak itu yang syahdan menurut konon sih nyaman banget dipakai nongkrong. Namun bapuk sekali, Saudara! Teman saya ditolak dengan alasan sanggar tutup karena ingin fokus ibadah.

Cari selamet sendiri sementara ada orang lain yang lebih perlu bantuan dan dia juga nggak diburu-buru? Ada yang lebih nggak punya hati daripada orang yang membiarkan orang lain tidak berdaya?

Mitos:
Mereka yang nggak percaya Tuhan itu miskin imajinasi!

Pernah dengar ungkapan "we are made of star stuff"? Itu Carl Sagan yang bilang, ilmuwan ateis bule yang sama sekali bukan tetangga saya di Jogja. Dan budaya Pagan? Dewi kesuburan berpaha dan bertetek buwesar sekali itu? Vitruvian Man-nya Da Vinci dan semua lukisan dan mural hasil karyanya yang menghias rumah-rumah ibadah? Oh, tapi jangan salah. Memang para teis lebih jago berimajinasi sih...          

Mitos:
Semua orang ateis kaku, sangat rasional, dan bukan pecinta yang baik

SANGAT SALAH! Mereka cenderung periang, suka membantu dan hidup untuk hari ini. Mereka nggak punya tujuan setelah mati, nggak punya kotak tambahan yang membebani mereka dengan larangan--kecuai konsensus moral dan etika masyarakat. Tapi ya itu balik lagi ke karakter masing-masing sih. 

Mitos:
Semua ateis itu pintar

HUAHAHAHAHA! Nyatanya ya nggak lah. Ada juga ateis yang datang dari kalangan sakit hati karena merasa minoritas. Di sini yang seringkali saya dapati ateis-fundamentalis. Ateis klotokan ini yang kadang nggak simpatik dan tiap ngobrol sama beliau bawaannya pengen bawa parang atau ngajak carok. Tapi ya gitu deh. Akan selalu ada fundamentalis untuk setiap -isme. Hihi.

Dan seperti halnya semua pencapaian kesadaran/spiritualitas/matrix/whatchamacallit, begitu juga dengan ketidakpercayaan. Ada yang sampai ke "sana" karena banyak mencari jawaban dan pertanyaan-pertanyaan tepat, ada juga yang ke "situ" karena membeo. Ya kamu bisa tahu lah seperti apa orang-orangnya kalau berkesempatan ngobrol minimal sejam.  

Segitu dulu aja ya. Nanti kalau inget ada apa lagi gitu saya update. Hihi. Tapi intinya itu aja sih, kenapa saya nulis kayak begini. Terkadang orang mengkotak-kotakkan manusia di luar diri mereka dengan hal-hal yang mereka asumsikan sendiri sampai mereka kerap lupa bahwa adanya mulut salah satunya juga untuk bertanya dan minta klarifikasi.

Salam dingin dari Dalung, Bali!
*tarik selimut, tidur*

        

Comments

  1. Anonymous7:17 PM

    Hail pitoism! *sujud

    ReplyDelete
  2. Mitos:
    Atheis itu nggak punya tuhan

    ReplyDelete
  3. Bang Berlin
    rise, mortal. we're equal.

    Bang Ron
    hush!

    Fahmi
    HUAHAHAHAHAHA!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?