Dear Damian...

Sticker Travel Warning di tiang di Gronningen. Gambar diambil dari sini


Nasionalisme adalah cinta yang berhenti di perbatasan negara.

- Pidibaiq


Dear Damian,

Gimana tour de Java-mu? Menyenangkan? Jadi tahunbaruan di Bromo? Apa kabar latihan nari di Padepokan Bagong Kussudioardjo di Jogja kapan hari itu? Masih ingat gerakannya? Kamu mau pentas buat Agustusan di Itria ya? Kan masih lama. Oh, biasanya di sini kalo Agustusan—perayaan kemerdekaan Indonesia—ada pentas seni gitu di tiap wilayah. Asik sih, biasanya ada anak-anak kecil nari atau nyanyi dan anak-anak mudanya nge-band. Tapi beberapa tahun belakangan ini jadi nggak asik lagi. Soalnya jaman aku kecil dulu yang nari masih bocah-bocah lucu pake lagu anak-anak. Sekarang anak-anaknya malah jejogetan pake lagu India atau house music. Idih!

Damian,

Maaf ya nyerocos sembarangan. Aku nggak kenal kamu sama sekali. Tapi aku takjub baca linimasamu. Nggak nyangka aja ada manusia setengah bulé niat banget belajar budaya Jawa, dalam tempo singkat tapi serius, sekaligus terancam istirahat total akibat kondisi fisik menurun. Aku cuma tahu kamu sedang napak tilas, menyambangi tanah tempat leluhur dari pihak bapakmu dan kamu jatuh cinta pada kultur yang sama sekali asing dari yang biasa kamu dapati di pelosok Italia, tempat lahirmu, tempat yang kamu bilang ngademin hati, mirip Batu di Malang. Aku terharu lho waktu tahu kamu punya banyak teman bertangan ringan di sini, melalui percakapan maya bantuin kamu memahami arti kata yang bagimu asing—yaaa.. meskipun nggak sedikit yang usil sih. Semacam “sumuk ra keringeten, susune dimukmuk ora keri kebangeten”. Tapi begitulah kami, orang Indonesia. Selalu ramah membantu orang asing. Setidaknya, seperti itulah sebagian kecil dari kami di sini. Mungkin keramahan itu juga lah yang sempat membuat kami dilindas pemburu rempah dan tanah.

Eh, tapi kata ibuku kebanyakan orang-orang Indonesia itu jahat. Kalau kamu jalan-jalan ke SD Negeri, hampir semua tukang jajanannya nggak ada yang beres. Campuran minyak panas dan plastik untuk bikin gorengan tetap renyah? Oh, itu biasa. Air dekil nggak dimasak untuk buat bikin es mambo? Dari aku sekolah juga udah ada yang begituan. Atau makanan yang pewarnanya secerah lurik ular berbisa mematikan dari pedalaman hutan Amazon? Buwanyaaak. Belum lagi gedung SD-nya yang sejak dibikin pun dananya sudah ditilep. Lalu guru dan kepala sekolahnya yang harus ngobyek bikin les ini itu atau jual LKS ke anak didik karena gaji sedikit nggak cukup menutup kebutuhan harian. Lalu anak-anak yang suka menindas karena tertekan dengan kondisi di lingkungan terdekat, rumah mereka sendiri, yang keluarganya pas-pasan, yang bapaknya cuma buruh atau pegawai pabrik dan ibunya hanya…

Ummm… sepertinya nggak usah diterusin. Kita bahas yang lain aja.

Ngomong-ngomong sudah berapa perempuan lokal yang kamu patahkan hatinya? Haha! Jangan kaget ya kalo mbak-mbak di sini kadang-kadang suka giras lihat bulé. Apalagi yang masih mentah kayak kamu. Bawaannya kepingin banget nenenin, nyodor-nyodorin dada dan bibir. Ya mungkin sama sih pikirannya. Sebagaimana kamu memandang perempuan berambut hitam dan berkulit sawo matang adalah eksotis, kami, perempuan Indonesia dengan orientasi heteroseksual, juga beranggapan bahwa lelaki berkulit pucat dan berambut pirang adalah unik. Dengan berjamurnya shitnetron bertabur wajah-wajah blasteran di layar kaca yang misi mahamulianya adalah pembodohan, sepertinya ternak bayi bulé adalah bisnis menggiurkan untuk investasi jangka panjang. Kalau kamu mau ikutan, nanti aku bikinin business plan-nya terus aku presentasi ke kamu. Soalnya aku juga nggak punya pejantan, sementara nyari cewek doyan bulé mah di sini banyak.

Tapi aku nggak nyalahin mereka kok, perempuan-perempuan doyan bulé itu. Prilaku mereka ini mungkin sama seperti berharap (berdoa?). Ketika mereka punya anak bermuka Indo atau “tentengan” cowok asing, maka nilai mereka akan terdongkrak di muka publik. Sayangnya, belakangan ini omongannya malah sedikit miring. Syahdan menurut konon, perempuan lokal malah harusnya merasa beruntung kalo nggak dilirik bulé. Soalnya bulé itu seleranya yang mukanya mirip-mirip pembantu rumah tangga. Aku sih nggak setuju sama pendapat itu. Soalnya beberapa teman-temanku yang suaminya bulé nggak ada satupun tuh yang tipikal kulit-coklat-matang, rambut-panjang-awut-awutan, keminggris-cuwawakan-nggak-bisa-bedain-kapan-pake-are-dan-kapan-pake-do.

Oh, kamu tahu TKW nggak? TKW itu Tenaga Kerja Wanita. Mereka, perempuan-perempuan hebat dan tabah itu, rela meninggalkan tanah air, orang-orang terkasih dan rumah tempat hati dan jiwa mereka berada, selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, demi periuk nasi yang harus terisi setiap hari dan anak-anak yang harus sekolah. Mereka itu pahlawan devisa. Tenaga dan waktu mereka adalah penggerak roda kapital dan perekonomian terbesar—jika saja pemerintah menggarapnya secara benar. Dulu aku punya tetangga TKW. Dia salah satu yang beruntung. Majikannya orang kaya di Saudi sana. Tugasnya hanya mengurusi nenek renta di kursi roda, yang kebetulan sering diajak jalan-jalan sampai London, Paris, dan Belanda. Kata si tetangga, Kak Fitri namanya, di agensi tempat dia disalurkan dulu banyak perempuan-perempuan yang berangkat membawa obat tradisional untuk menggugurkan kandungan atau jamu perawatan vagina. Yang mana yang akan dipakai, tergantung majikannya. Jika kaya dan ganteng, yang kedua. Jika menyebalkan dan kasar, yang pertama. Dan sering sekali kejadian perempuan-perempuan yang bertahun-tahun tinggal dan bekerja di tanah seberang pulang-pulang berbadan dua atau membawa buntut. Untung saja dulu Kak Fitri sempat ikut bantuin bidan di kampungnya. Jadi, dia sedikit-banyak tahu bagaimana reramuan tradisional tersebut bekerja. Baik yang pertama maupun yang kedua.

Kamu perokok ya, Damian? Aku juga. Tapi sementara harus berhenti dulu seminggu belakangan ini—dan masih seminggu ke depan lagi hingga betul-betul pulih. Sedang flu dan batuk. Dan aku nggak mau bandel maksa ngerokok karena aku nggak tahan tenggorokanku mahagatal dan kepalaku supersakit akibat sinus kambuh.

Tapi aku benci perokok. PEROKOK ya, bukan rokoknya. Orangnya. Bukan produknya. Soalnya mereka kalo ngerokok suka nggak lihat orang lain. Di bis, di kantor, di dalam ruangan berpendingin udara dan tanpa kipas maupun jendela terbuka. Yang paling menyebalkan adalah orang yang merokok di ruang instansi tempat dia bekerja melayani rakyat yang membayar gajinya melalui pajak. Tengok kantor Samsat Bogor kalau mau bukti. Atau kantor kelurahan/kecamatan di mana pun kecuali di Jakarta (karena sejak The Dynamic Duo Jokowi-Basuki merajalela, dengar-dengar para aparat ini jadi ketar-ketir takut disidak sehingga semua alur kerja berjalan secara baik dan benar). Yang paling menyedihkan adalah ketika seorang ayah/ibu sedang merokok sambil menggendong bayinya atau nongkrong bareng teman-temannya yang perokok. Itu bangsat, karena anak berhak dapat udara sehat. Kalaupun dia tinggal di Jakarta yang terlanjur nggak sehat, setidaknya anak berhak untuk tidak ditambahi racun dari asap rokok.

Aku kedengeran kayak orang munafik ya? Mungkin benar. Mungkin memang seperti itu. Tapi aku sendiri nggak suka dengan asap rokok orang lain yang kena mukaku. Dan aku nggak suka bagaimana iklan rokok memberi stigma bahwa siapapun yang kedapatan menghisap batang nikotin adalah keren dan layak tiru. Iya, aku perokok. Tapi aku nggak mau jadi contoh bagi para dedek-dedek yang baru coba-coba merokok karena melihat aku. Iya, aku perokok, tapi aku juga mikir hak mereka yang bukan perokok untuk mendapatkan udara bebas asap rokok. Dan ini bukan sekadar perang antara perokok dan yang bukan. Ada kepentingan lebih besar lagi di balik iklan pabrik rokok yang visualnya maha edan kerennya itu. Kamu sempet kepikiran nggak kenapa di Eropa nggak ada iklan rokok sementara di sini kemanapun kepala menoleh adanya cuma iklan rokok? Karena perusahaan rokok cari pasar di negara-negara dunia ketiga yang kesadaran kesehatan dan pendidikannya rendah. Termasuk di Indonesia. Jadi, kita kelimpahan nggak enaknya. Sudah miskin, penyakitan, dieksploitasi pulak sama perusahaan candu perusak. Halah.

Oh, kamu suka nyimeng nggak? Kalo iya, cari aja berita tentang pemusnahan barang bukti ganja. Biasanya dikasih tau tuh di polres/polsek mana. Dan musnahinnya itu dibakar. Kebayang kan gimana hepinya kita kalo ada deket-deket situ?! Hihi. Di Italia pasti nggak ada begitu-begituan.

Terus, di Indonesia sini yang paling penting adalah moral yang direpresentasikan dalam bentuk agama. Sebagaimanapun kamu berguna dan berfungsi di masyarakat maka kamu dianggap nggak bermoral kalo nggak beragama. Dan apapun profesimu, nggak penting punya kemampuan di bidang keprofesian itu. Karena yang terpenting adalah moral. MO. RAL. Titik. Makanya jobdesc mulai dari RT sampai menteri jadi rada-rada rancu. Ya… gimana ya? Kan biar sesuai Pancasila dan berketuhanan (padahal kita tahu seringkali tuhan dan agama nggak satu paket). Misalnya nih, Kementrian Informasi dan Teknologi. Nggak penting dia punya wawasan tentang gimana pemakaian internet dan kebebasan berekspresi di ranah maya. Nggak penting untuk dia tahu gimana alur kerja dari request koneksi di personal computer sampai website termuat sempurna. Tapi amat sangat maha penting untuk melindungi moral warga negara Indonesia dari pengaruh jelek pornografi. Nggak papa hasut-hasutan dan hate speech selama orang melakukannya dalam koridor agama. Pasti banyak yang dukung. Dan kata kunci adalah kompas penunjuk kebenaran, mana yang harus enyah dan mana yang harus tinggal. Eh, kamu mau tahu nggak kata kunci apa yang orang-orang pakai sampai nyasar ke sini?



Lucu kan? Hihi. Mereka yang pake kata kunci itu pasti kaget tuh. Nyarinya apa, nemunya apa. Padahal aku kan nggak sengaja pake istilah-istilah selangkangan. Beneran deh.

Bikin miris, kalau kamu iseng merhatiin televisi pas lagi ada berita persidangan koruptor, kamu akan lihat bedanya ketika si tersangka baru diciduk atau duduk sebagai saksi di sepanjang proses persidangan. Kamu akan lihat bagaimana terlihat alimnya seorang terdakwa dengan peci dan kerudung, termasuk beberapa pesohor Indonesia yang tersandung kasus kriminal karena berantem cakar-cakaran pulang mabuk dari kafe. Mereka pun mendadak terlihat suci-semuci. Indah dipandang mata. NOT!

Ngomong-ngomong tentang Pancasila… Pak Karno dan Pak Yamin yang merumuskan lima dasar dari akar falsafah Nusantara itu, kepikiran nggak ya kalau buah pikirannya diselewengkan sedemikian rupa sekarang ini? Mereka berdua pasti sedih kalau tahu sila pertama sering dipakai sebagai pembenaran untuk membungkam pendapat dan sila kedua sering diabaikan. Mengutip Rocky Gerung, mengapa bukan “Kemanusiaan yang maha esa” dan “Ketuhanan yang adil dan beradab”?

Asal kamu tahu aja nih ya, di Indonesia tuh tempat babu belagu. Iya, babu-babu yang gajinya dibayar pakai uang pajak hasil keringat rakyat. Mereka tega lho ngeliat majikannya banting tulang cari duit (karena sebagian besar orang Indonesia adalah miskin) dan masih minta naik gaji. Belum lagi kalau pajak itu juga dikorupsi, atau dana bantuan dipotong lalu masuk kantong sendiri. Sudah begitu, kalau mereka mau ke mana-mana di jam sibuk juga nyusahin juragannya lagi, bawa-bawa voorijder buat bikin jalanan lengang supaya mereka bisa lewat dengan nyaman. Padahal majikan-majikan yang membayar mereka harus umpel-umpelan di dalam Kopaja, Metromini, atau bus TransJakarta. Nyebelin kan?!

Indonesia juga negara susah mimpi. Untuk mewujudkan cita-cita standar seorang bocah (yang diarahkan orangtuanya?), misalnya saja jadi dokter, tentara/polisi atau arsitek. Cita-cita pertama uang masuknya SAJA bisa seratus juta. Cita-cita kedua juga. Nah, cita-cita ketiga ini yang mungkin uang masuknya standar kuliah biasa. Tapi ya alatnya nggak ada yang murah. Student loan yang bisa dijadikan motivasi para bibit-bibit tenaga kerja untuk cari duit dan jadi berguna pasca menjadi sarjana berasal dari tetangga atau kerabat kaya yang pembayarannya adalah gunjingan sepanjang hayat dikandung badan.

Dear Damian,

Maaf ya kalau bikin kamu males bacanya. Bukan maksudku kok kayak begitu. Aku cuma mau kamu tahu seperti apa negara yang budayanya kamu pelajari ini, yang sering kamu sambangi demi memuaskan kegatalan kaki menjelajah tempat-tempat baru. Sejujurnya, aku juga males kok nyeritainnya. Tapi kamu masih lebih beruntung, bisa pulang ke Itria, berpaling sejenak dari kebrengsekan sistem yang dipelihara sebuah organisasi besar bernama negara. Lha aku?! Sepertinya aku akan rela membusuk di sini, di tempat yang tanahnya dipatok-patok korporasi minyak Eropa dan Amerika; yang setiap hari adalah petualangan karena kami nggak pernah tahu keapesan apalagi yang menghadang di tikungan jalan (pernah dengar Khaerunisa, anak pemulung yang mati muntaber dan si bapak membawa mayatnya dari rumah sakit dengan KRL karena tak punya biaya sewa ambulans? Itu salah contoh keapesan); yang harus selalu sehat karena sakit sangat mahal sekali; yang dipaksa bodoh karena pendidikan juga mahal sekali; yang memiliki peternakan calo peliharaan instansi (halo, kantor imigrasi!); dan semua hal pembuat mual jika kamu mengalaminya sendiri.

Tapi sebagaimana yang kupercaya selama ini, bahwa cinta adalah penerimaan dalam senyap setelah babak bundas berusaha berbenah, pembebasan maha mutlak dalam segala hal. Termasuk cinta negara. Aku nggak mau cinta yang terbentur batas demarkasi. Dan manusia-manusia yang tinggal di sini—aku yakin benar—punya cinta yang nggak kalah besar dengan kamu si pelancong. Kita punya cara beda-beda. Kamu dengan belajar bahasa dan nari, kami dengan nyelain sistem dan negara salah urus. Hihi. Lho, jangan salah. Kalau kita masih mau buka mulut dan mengkritik hal-hal yang kita anggap salah, itu adalah bukti kepedulian. Dan orang yang nggak sayang, nggak cinta, nggak mungkin mau peduli. Iya kan? 

Tapi aku yakin kok, kamu aku, mereka, kita, punya satu cinta yang sama: pada budaya, pada bentang alam, pada manusia. Pada bangsa. 

Selamat menjadi Indonesia. Selamat menjadi warga dunia. Dan selamat tahun baru, Dear Damian. Ini buat kamu.






















Comments

  1. saospedas12:48 AM

    ayo lanjutkan berhenti merokoknya mbak, saya sudah "berhasil" tidak merokok selama 1 bulan lebih hehe. Demian tokoh rekaan atau benar hidup di alam nyata?

    ReplyDelete
  2. udah pernah sampe 2 bulan kok, Mas Eric. gara2 sinus kumat ((=
    Damian? a little bit of both =P

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women