Tentang Tas dan Mas-mas

PENYANGKALAN: Ini adalah penghakiman, bukan apresiasi. Watch it.


Sejak saya sekolah saya jarang punya teman perempuan. Well, frankly speaking, saya memang jarang punya teman. Saya-you may say-cupu abis. Tanpa TK saya langsung masuk SD, jadi nerd yang buta baca-tulis, badan paling bongsor tapi umur paling muda, dan jadi sasaran bullying teman sekelas dan guru pertama.

Tapi saya percaya what doesn't kill me makes me stronger (though it does feel like a major, fucking hell). What I've gone through shaped me what I am now. So here I am, a bitch and all. Or at least that's the word people stamp on my forehead that I bear indifferently.

Yet, being a bitch, I have my own value. One of those is to be able to depend on myself. Dan ke-bitch-an saya terusik pertama kali saat saya masuk SMP. Dalam perjalanan pulang-pergi sekolah menggunakan angkot, bis atau KRL sering saya dapati mas-mas menenteng tas pacar mereka. Itu tas perempuan. Modelnya feminin sekali. Kebayang nggak sih ada cowok nglanangi abis, berkumis dan berjambang, bertopi, jins dan sneaker, tapi menyandang tote bag merah marun di sebelah pundak? Sementara di sampingnya ada perempuan menggelendot manja dengan tangan kosong (kecuali lengan si mas yang dia dekap erat menyentuh tetek). Komentar sinis saya menyebutnya quid pro quo: you carry my bag, I give you a touch of my tit.

Selama ini saya selalu menafikan pemandangan yang biasa saya pindai dari sudut mata dengan wajah sinis. "Cemen!" teriak saya melalui sebelah alis terangkat dan ujung kiri bibir sedikit naik. Tapi kemarin malam teman serumah saya membicarakannya dalam perjalanan pulang dari warung susu segar ke pagar.

"Menurut gue amat sangat konyol ngeliat ada cowok bawain tas ceweknya. I mean, come on! Elu tuh cowok! Garang dikit kenapa sih?! Terus ceweknya juga kenapa mau tasnya dibawain, coba?!" Begitu komentar teman saya tentang apa yang dia temukan di bis sepulang ngantor. Saya cuma nyengir dan teringat kembali apa yang saya siniskan sejak SMP itu.

Buat saya sikap semacam itu adalah penghianatan terhadap cinta (jika sepasang kekasih itu memang pacaran demi cinta). Mereka melanggar apa yang disebut Gibran sebagai "ruang untuk berkembang", menutup kemungkinan pasangan masing-masing agar tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Masnya membuka peluang untuk melemahkan mbaknya dengan gestur sesederhana itu; sementara mbaknya membuka peluang untuk dicemenkan. Bayangkan, jika dari awal perempuan sudah diberi privilege sedemikian besar seperti ojek/bodyguard pribadi yang rela mengantar-jemput kemana pun; personal porter yang mau membawakan barang seberat apapun; audiens setia yang mengiyakan semua tindakan sesalah apapun. Hey, you're becoming hopeless, girl! Ketika kamu mengalami ketergantungan sedemikian hebat pada orang lain, kamu nggak akan bisa ngapa-ngapain ketika orang itu pergi. Dan ketika duniamu melulu terisi satu orang itu saja, kamu nggak akan punya orang lain bahkan hanya untuk nongkrong apalagi curhat-curhatan ketika satu orang itu minggat. Setelah dapetin apa yang dia mau, tentu. Which is to get into your pants. Vagina.

Okay, call me suudzon, negative-thinking, anything. But that's how I see it from where I sit. Tapi jangan salah. Perempuan-perempuan pintar yang pura-pura helpless menggunakan trik ini to get what they want: a slave. Mereka perlu pemuja, orang yang bisa disuruh-suruh, gaining sympathy to get what they want. Tapi biasanya perempuan-perempuan cerdas ini punya bargaining position tinggi dan punya teman, dunianya nggak cuma masnya doang. Di tangannya, being helpless menjadi semacam senjata. Sayangnya saya nggak punya kenalan yang seperti ini dan dua analisa asal-asalan itu juga hanya berdasarkan apa yang saya lihat.

Tapi dari kesotoyan mata saya, it sure takes two to tango. Ada pelaku, ada korban. Kita juga nggak pernah tau siapa pelaku dan siapa korban setiap ada kejadian mas-mas bawain tas mbaknya. Siapa yang tau jika ternyata mbaknya playing victim dan punya kecenderungan sadis yang menikmati saat-saat "memalukan" di bawah tatapan publik ketika the so-called pacarnya memutus urat (ke)malu(an) dengan membawakan tas perempuan dengan aksesoris rantai atau bandul centil. Atau masnya yang pura-pura jadi korban, rela menanggung malu demi pertunjukan cinta mengenaskan yang dipertontonkan ke khalayak.

Hey, we'll never know.

Comments

  1. Cuma mo bilang, I got a husband, not a slave, hahahahaha....

    ReplyDelete
  2. QOTD : "you carry my bag, I give you a touch of my tit."

    bwahahahahahaa

    ReplyDelete
  3. Nek aku selalu berprinsip: "Wis dikon mbayari, nunggoni, lalu ngangkuti barange? Ogah. Sana belanja sendiri."

    Dan itunya bekerja!

    ReplyDelete
  4. Nyunyu
    rite on!

    Bang Ichanx
    ya? Ada masalah? Eh, wait... ELU KAN SELEBLOG YA?! Njiz! *sisiran* *grogi*

    Maz Ipul
    Haha! Itunya itu apaaa?! ((=

    ReplyDelete
  5. kalo udah kawin kayak gw mah pit gantian gendong anak...yg ga gendong bawa tas perlengkapan bayi yg isinya segambreng...equal :))

    ReplyDelete
  6. Diamput!! Memalukan Buahhhaha

    ReplyDelete
  7. Pepen
    haha! tapi Tian kan ga segitu ngerepotin papanya kan? =P

    ReplyDelete
  8. Mas Ulul
    pelaku ta? ((=

    ReplyDelete
  9. Saya juga barusan ada mengomentari hal ini di blog saya: http://www.hitmansystem.com/blog/gentleman-bawain-tas-kekasih-1752.htm

    Silakan disimak. :)

    ReplyDelete
  10. oh, wow. dikomengin ama Om Lex dari shitmansystem! ((= becanda, om. makasih, anyway. udah dibaca. tulisannya keren!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?