Story of Women

Whatever you give a woman, she will make greater.
If you give her sperm, she’ll give you a baby.
If you give her a house, she’ll give you a home.
If you give her groceries, she’ll give you a meal.
If you give her a smile, she’ll give you her heart.
She multiplies and enlarges what’s given to her.
So, if you give her any crap,
be ready to receive a ton of shit!
- Anonymous

Dinihari bersama hingar teriakan Otong KOIL dari headset melepaskan penat saya memelototi ratusan baris terjemahan, proyek kerjabakti bersama seseorang. Agak siang nanti saya berjanji sowan ke rumah perempuan hebat, a newly divorcee, a single mom, dengan seekor labrador betina cantik dan putri pintar. Ia menjanjikan saya Chicken Adobo yang baru saya dengar namanya.

Saya mengenalnya, tidak secara intens, beberapa bulan belakangan. Namun dari pertemuan kami yang baru tiga kali, perempuan usia tiga empat yang sedang rehat dari studi beasiswa S3-nya di Australia ini memiliki aura menyamankan dan damai. Berada di istana kecilnya adalah menyelami sepetak kedamaian di timur Jakarta, dengan suasana teduh dan rapih, tanpa pembantu. Sowan terakhir dua minggu lalu mengisi perut saya dengan semangkuk sup hangat dan dua lembar toast.

"Maaf, aku nggak masak macem-macem dan nggak biasa makan nasi sejak tinggal di apartemen," ujarnya siang itu.

Perempuan satu lagi ada di Semarang, saya kenal lewat fasilitas chatting. Saya lupa bagaimana awal mula kami ngobrol. Namun perempuan dengan dua jagoan ganteng yang sedang melanjutkan studi S2 Bahasa Perancis--yang sangat fasih berbahasa Belanda--ini menikmati hidup walaupun tidak menikmati pernikahan.

"To make the long story short, let's say, after few years, we're just not into each other," jawabnya ketika saya bertanya mengapa.

Ia mengaku tidak bisa masak dan terbiasa dimasakkan Si Bibik atau sekalian beli di luar. Dan dia mengaku, terang-terangan, bahwa kuliah memakan biaya yang tidak sedikit, dan tidak kurang nyali menamatkannya.

Ada lagi seorang single mom multi talenta yang berjuang membesarkan anak semata wayang, Si Mata Hati, sebaik-baiknya. Ibu direktur/PR jagoan/perempuan apik ini menikmati hidup seperti menikmati kecupan kecil pada puncak hidung, hadiah dari si kecil. Jadwalnya terorganisir hingga ke renik, dengan antar-jemput anak menempati prioritas utama. Meeting padat yang sering membuatnya pulang tengah malam tak membiarkan ia melewatkan semalampun tanpa mendengarkan cerita Mata Hati sebelum tidur, walau hanya melalui ponsel. Meski harus menyusun proposal hingga adzan subuh berkumandang, ia akan siap pukul enam, membangunkan sang putri, menyiapkan sarapan, kemudian mengantarnya sekolah, lalu pergi bekerja.

Mereka, perempuan-perempuan itu, menjalankan fungsi sosial di masyarakat tanpa dukungan laki-laki. Apa yang membuat mereka begitu?


"Laki-laki selalu banyak tuntutan dan tidak memegang komitmen. Aku nggak tahan," kata salah seorang diantara mereka. Dan jawaban yang hampir serupa saya dapatkan dari dua perempuan lainnya.

Lalu, untuk (berusaha) menyeimbangkan pendapat antara lelaki dan perempuan, saya bertanya pada seorang bapak baru yang pontang-panting antara studi dan keluarga, ITB Bandung dan Jogja.

Menurutnya, meminta perempuan zaman sekarang untuk selalu bisa memasak adalah keterlaluan, over-expectation dan membuat kaum hawa terbebani. Seperti menyebut perempuan sebagai tiang negara. Dan mengapa kegiatan memasak didominasi lelaki mulai dari ranah tukang nasi goreng hingga chef hotel, karena dunia tersebut keras dan kejam.

"Bayangkan kalo perempuan jadi tukang nasi goreng, Pit. Dia harus terpapar udara malam, dorong gerobak, belom kalo ada trantib. Lha wong mbak-mbak dan ibu-ibu yang jualan makanan mateng daytime aja super repot. Apalagi malem."

Sementara itu, menurutnya, dari cerita seorang temannya yang tinggal di luar negeri, menjadi chef adalah pertarungan sengit seperti dua petinju di atas ring. Ada jegal-jegalan, ada curang-curangan, dan ada intrik busuk mirip politik melibatkan kecakapan kehumasan dan media blowup. Dan sebagaimana teknik acara televisi di Indonesia pada umumnya, mbak-mbak jago masak yang kita lihat di layar kaca itu hanya tinggal senyum sumringah dan memeragakan semua yang sudah diatur bagian properti. Semua hanya buatan. Semua hanya bikinan.

Ada pendapat lain dari seorang lelaki awal tiga puluh yang tidak mencari istri maupun pasangan hidup. Menurutnya, perempuan tidak lain adalah alat bantu seksual yang bisa berpikir, sebagaimana saya menyebut lelaki sebagai dildo berkuping dengan maintenance emosi tinggi. Ketika saya tanya kriteria yang harus dipunyai dari seorang perempuan, cepat ia menjawab 'harus mau dan tidak berhenti belajar apapun.'

Baginya, kemampuan memasak seharusnya dipunyai manusia, bukan prerogatif perempuan. Karena laki-laki dan perempuan sama-sama punya mulut dan perut untuk dipuaskan. Sebagai vegan, terkadang ia kesulitan jika harus bepergian ke luar kota dan tidak ada satu pun makanan yang dapat dia nikmati karena mengandung daging atau ikan. Dan dari sang ibu yang sibuk menikmati pensiun dengan kegiatan sosial di luar, dia paling suka tempe bacem.

Punya ibu pinter masak membuat saya nggak sembarangan makan di luar karena lebih memilih pulang dan menghadap sepiring nasi mengepul lengkap dengan gulai tuna, mendoan, dan tumis kangkung panas dilengkapi sambal segar bersama Babab, Ibu, dan Icha. Masakan beliau pula yang membuat saya rindu pulang dan membuat lingkar pinggang Babab bertambah hampir tiap tahun. Ibu saya juga bisa menjahit dan sedikit kegiatan nyalon, dan lumayan membantu Babab sebagai wedding photographer di masa-masa sulit kami.

Bisakah saya bandingkan ibu saya yang 'produk lama' dengan ibu-ibu yang saya sebutkan sebelumnya? Tidak bagi saya, karena masa dan peran mereka berbeda. Ibu saya murni ibu rumahtangga biasa yang tidak harus membagi waktu mencari nafkah dan membesarkan anak sendirian.

Saya tidak mencibir lelaki yang menempatkan ketrampilan memasak sebagai topmost priority dalam kriteria perempuan idaman yang akan membuatkannya makanan, mencucikan bajunya, dan kemudian bisa dia seret ke tempat tidur. Sama sekali tidak. Saya hanya menyayangkan bagaimana perempuan di'perkecil' hanya sebagai tukang masak dengan peran besar sebagai pemuas keinginan suami, mertua, dan publik.

Gambar disedot dari... lupa dari mana =P

Comments

  1. Mbak Pito saya termasuk ibu-ibu yang biasa saja. Di rumah saja setiap hari. Ada usaha rumahan juga kerajinan khas KalTim. Kadang ada orderan menjahit juga. Tetapi saya nggak merasa diperkecil kok :). Sosok ibu adalah sosok pendidik yang dapat menghantarkan kesuksesan bagi anak-anaknya. Ibu adalah guru pertama. yang mengajarkan sopan santun, kasih sayang, keterampilan, dan juga tempat anak memuaskan rasa ingintahunya tentang dunia dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduganya. Karena itu seorang ibu harus terus belajar, belajar terus. Kalau ibunya seperti Mbak Pito, anaknya tentu tak perlu punya guru les privat untuk bahasa asing, ibunyalah guru privatnya.
    Buat saya inilah karir saya. Tentunya setiap perempuan bebas memilih jalan mana yang akan ditempuhnya. selagi itu adalah jalan yang kita cintai, kita akan merasa bahagia dengan hidup kita.

    Jujur, saya mengagumi Mbak Pito. saya menyayangi Mbak Pito. saudara perempuan yang membuat saya seringkali tersentuh dengan pendirian Mbak Pito yang kokoh itu.

    ReplyDelete
  2. Is this writing intended to be a counter of what julius wrote about women?

    ReplyDelete
  3. Nice post. Banget! Wanita yang pintar di dapur, dan wanita yang lihai di kantor sama-sama super dan istimewa. Dan pada dasarnya, bukankah wanita adalah makhluk yang istimewa?

    ReplyDelete
  4. -- ini balesan postingannya mas Aris yah? :D --

    Saya nggak biasa masak, tapi bukan berarti saya nggak bisa. Dulu saya anggap memasak adalah kewajiban istri, tapi sekarang, mungkin lebih ke "ungkapan perasaan sayang". Mbuh lah, mbak Pit.. dunia masak memasak kalo diadu sama logika kehidupan, buat saya nggak habis misterinya. Padahal urusan lidah doang...

    ~Freaky~
    (btw,Mbak Pit, saya bukan nDaru lho.. ;))

    ReplyDelete
  5. Ummu Kamilah
    makasih udah main2 kesini. euh? saya ga sekeren itu dengan pendirian. bisa berubah kemana arah angin bertiup (=

    Fiizh
    yes, it is.

    Lea
    kalo semua perempuan istimewa, maka yg nantinya jadi istimewa adalah yg biasa aja =P

    Mama Dinda
    i know i'm good.

    Freaky Freak
    iya. mending gini daripada saya mencoba menjelaskan di blog ybs. lagian, saya udah janji mu bikin jawabannya.
    masalahnya ini bukan cuma urusan lidah, tapi perut dan bawah perut: kekuasaan dan nafsu, dua masalah yg bikin dunia carut-marut gontok2an ga berenti. mungkin kalo dua2nya terselesaikan (dengan kata lain terpenuhi), nggak bakal ada lagi perang dan rebutan kuasa.
    maaf, saya udah salah sebut nama. dimaafkan to?

    ReplyDelete
  6. Kalok saya sih endak keberatan saya masak buat suami saya kelak, tapi jika terus saya musti PINTER MASAK dan jadi Farah Quinn-nya suami ya maaf...cari saja orang lain seperti kriteria seorang Farah Quinn itu.

    Toh, berumah tangga bukan persoalan bisa masak ato endak, tapi bagaimana kita "membagi tugas" dengan baek, memang mungkin ada kalanya DEMI CINTA suami masak buat istri, tapi toh saya endak keberatan kalok DEMI CINTA jugak, saya mbenerin genteng bocor dan listrik konslet, toh saya jg bisa ;)

    PS : Saya yang nDaru

    ReplyDelete
  7. beda jaman mbak, kalo dulu kan suami bagian tugas luar, nyari duit dan sebagainya dengan konsekuensi kalo ndak bisa mencukupi ya dibilang lelaki payah. sama halnya dengan perempuan dulu yang kebagian me-manage rumah, kalo ndak sukses ya wanita ndak becus.

    kalo sekarang jaman makin ruwet, saling mendukung saja lah, ndak perlu bikin plot yang saklek. yang penting tujuan berumah tangga tercapai, keluarga bahagia, anak terurus dengan baik, sukur-sukur punya rumah tiga dan mobil sepuluh.

    halah!

    ReplyDelete
  8. nDaru
    hay! maaf, kemaren salah nama =P
    oke, saya mo ngaku. entri ini sebenernya balasan untuk temen saya di sini.
    maaf lagi buat semuanya yg ngerasa ke'sentil'. tapi saya seneng banyak pendapat disini. saya jug setuju sama pendapat mbak nDaru. mungkin kalo emang nanti jalan hidup saya berkata lain dan saya harus jadi istri seseorang, saya juga bakal melakukan itu BASED ON economic thought, NOT based on love and duty.

    Mas Stein
    iya. kalo kata buku 'Why Men Don't Listen and Why Women Can't Read Maps', evolusi sosial manusia emang jauh lebih cepat daripada evolusi fisik. jadi, nggak heran kalo otak manusia juga lebih lambat berkembang daripada peran sosialnya. jangan kwatir, om. anda bukan satu2nya :D

    ReplyDelete
  9. Ya...implikasinya emang gak jauh2 dari motif ekonomi, kalok emang dengan masak sendiri bisa menghemat srebu perak per hari misalnya..ini yang saya maksud demi cinta itu..cinta duit wakakakaka...duty..i don't think so, saya jauh lebih setuju sama mas stein kalok di jaman ini, suami ato istri menjadi se-pangkat, alias mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rumah tangga. Saya kurang setuju kalok ada "switching" istri yang kerja sementara suami di rumah mbabu, tapi saya juga endak sukak kalok ada cewek yang cuman ngandelin tampang kece-sinetron-nya buat nggaet laki-laki tajir biar dia bisa ongkang2 di rumah nungguin kena setrok. 2 ide itu sepertinya pemikiran yang kurang bijak.

    ReplyDelete
  10. ah! jelas2 dikau berlebihan ketika singgung soal aku. i like the way i sound in your story though,,hahah

    haregene sih gak usah pake acara kriteria macem2 lah. hidup ini terlalu indah buat dibikin ribet gak jelas. nurut aku sih, mending masing2 kita lakukan yang terbaik tanpa terlalu ribet soal jenis kelamin.

    setau aku sih, gak ada yang namanya pekerjaan laki ato perempuan. bayi yang baru lahir, baik laki maupun perempuan, gak ada yang secara otomatis langsung bisa masak, nyapu ngepel, cuci piring, benerin genteng, browsing internet,,,you name it lah. semua pekerjaan bisa dilakukan melalui proses pengenalan dan belajar terlebih dahulu.
    hal bawaan lahir yang membedakan kedua jenis bayi ini adalah bahwa bayi perempuan terlahir dengan 'software' yang memungkinkan dia --pada saatnya nanti-- mampu melakukan the only 2 things man can not do, hamil dan menyusui.
    dan seharusnya ya memang tetap begitu. semua pekerjaan menjadi milik kedua jenis kelamin kecuali hamil dan menyusui;)

    ReplyDelete
  11. Mbak nDaru
    bukan saya nggak percaya emansisapi dan semua sapi2 yg ada di seluruh dunia. buat saya, there's no such thing as emancipation, persamaan pangkat dan derajat antara lelaki dan perempuan. bagaimana mau disamakan jika keduanya memang BERBEDA? saya ingin lepas dari pengkotak-kotakkan lelaki dan perempuan kecuali pembedaan ciri fisik bahwa lelaki berpenis dan berjakun sementara perempuan punya vagina dan payudara (dan semua perabotan pendukung di dalamnya). JIKA saya nanti harus bersuami, saya percaya pada domestic partnership karena lelaki dan perempuan adalah mitra; bukan domestic partnershit dimana lelaki = majikan, dan perempuan = budak. jadi, bila nanti mitra lelaki itu memasak untuk saya, bisa jadi, suatu hari nanti, jika lelaki partner saya itu ingin menulis buku, saya bisa jadi editornya. karena saya ga bisa benerin listrik dan genteng =P

    Lady Smartilicious
    couldn't agree more! and yes, you're THAT great =P tapi, tapi, tapi... tidak hamil dan tidak ingin punya anak juga nggak papa to, mbak?




    ps: gwa penasaran, kira2 cemana lekong yg berani propose gwa nanti yes? huahahahahaha!

    ReplyDelete
  12. tidak pengen hamil?
    tidak pengen punya anak?
    ya gak papa toh,,,kan terserah yang punya software, mo dipake ato gak ;)

    ReplyDelete
  13. saya malah yang endak percaya emansisapi2 kekgitu, RA Kartini saya hormati karena dia membuka jalan biar emansisapi itu memungkinkan di Endonesa inih, tapi semua toh masalah mental, meski udah punya hak emansisapi pun kalok mentalnya istri babu, mau ada RA Kartini kembar 20 jg keknya gak nolong

    ReplyDelete
  14. Mbak nDaru
    wahihihihi... kembar 20 ya? dempet ndak?

    ReplyDelete
  15. Sangat setuju dengan pernyataan

    "asal mau dan ga berhenti untuk belajar"

    baik perempuan dan laki-laki

    ReplyDelete
  16. saya belum menikah dan menikmati kehidupan single karena saya memang belum pengen menikah mbak...orang ngomongin saya? so what...hehehehehe

    semua orang punya hidup masing-masing dan punya jalan masing-masing, bagaimana mereka bertahan dalam jalan yg terkadang tidak mudah itu adalah bentuk prestasi sendiri bagi individunya.

    ReplyDelete
  17. Eru & Ria
    counldn't agree more :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?