An Insomniac Writes Me A Letter

Hi, Nduk!

Waktu ngetik surat ini rumahku sedang mendengkur halus. Dadanya naik turun dengan lembut. Semua kamar dan ruangan gelap, hanya teras dan dapur yang terang benderang. Aku berada di salah satunya, berkawan segelas kopi dan rokok serta ingatan samar tentang lelaki yang bayangannya menjajah hingga sepersekian nano pelosok otak terdalamku. Sementara sekeliling sedang nyenyak dirundung malam, aku terpekur dengan rindu yang lengas. Rindu Si Mas, rindu kamu, karena aku tau kita sedang berada dalam kondisi (hampir) sama: (almost) need a slightest existence of the opposite sex. (Bahkan aku perlu banyak tanda kurung untuk mengingkarinya. This is the closest thing to my core, Baby.)

Aku kangen obrolan kita di tengah kepulan asap rokok dan bercangkir-cangkir kopi yang pahitnya bisa bikin orang jantungan mati mendadak. Aku kangen sarkas-sarkas kita si Jomblo-Jomblo Bangsat--atau yang bisa kamu sebut Jojoba dengan sangat riang--tentang betapa bodohnya lelaki. Betapa kapasitas otak mereka yang menempati ruang 980 cm3 dalam rongga kepala bisa dikalahkan oleh hasrat kepala penis yang nggak lebih besar dari jempol kaki. Aku mendamba waktu-waktu kita mencerca Bang Adam yang takluk di bawah payudara bersilikon dan wajah berbotox Neng Hawa. Sungguh, dua durjana sundal yang berusaha berenang melawan derasnya arus, kita ini. Dulu.

Padahal kita juga sering menangis diam-diam saat lelaki-lelaki itu menaklukkan kita tanpa mereka sadar. Kita sering terluka namun bisu ketika mereka memperlakukan kita dengan semena-mena. Contohnya ketika Dia menahanmu di resto cepatsaji kapitalis selama 5 jam dengan alasan lupa!

Benar kata pepatah. People change. Kalaupun people nggak change, keadaanlah yang memaksa terjadinya perubahan. Meskipun di dalam sini masih ada sesuatu yang dengan sangat stubbornnya menolak evolusi.
Kemudian--lagi-lagi--jatuh ke dalam 'Jebakan Batman' yang berujung pada luka hati. Lalu siklus setan itu kembali berulang... menangis, meratap, mendendam (tapi tidak pernah menyesal), untuk kemudian bangkit--dalam waktu yang tidak sebentar--meninggalkan torehan dalam yang entah keberapa ribu.

Nduk,
Aku sedang bercinta dengan bayangan. Sosok yang kureka sendiri dalam kepala dan hatiku. Dia yang tanpa bentuk, tapi nyata dalam benak dan indra pendengarku. Haha! Basi kan?! Haregene getoloh?! Kamu pasti ketawa sinis. Aku mengerti betul gimana dirimu itu sampe ke usus, Sayang. Stop that smirk. It was your turn back then. Now, it's mine.

Hanya saja mungkin kasusku lebih parah dibanding kamu. Lelaki itu telah punya belahan jiwa yang terikrarkan dalam sebuah sumpah suci dimana pemisahan mereka dibolehkan namun membuat murka penguasa dunia dan alam raya ini.

Tapi...
Kamu tau kan, Nduk. Aku ini penggoda. Dan dia suka digoda. Aku sungguh merasa jadi setan di pohon pengetahuan yang langsung menawarkan buah ranum itu pada Adam tanpa sepengetahuan Hawa, sekalipun dia tercipta dari tulang rusuknya sendiri. Dan Adam tunduk padaku!

Namun,
Perih juga mendengar sambatnya tentang sang sigaran nyowo. Jujur, aku nggak suka. Siapa sih yang mau denger kebaikan perempuan lain dari mulut lelaki yang kita puja setengah mampus?! Apalagi itu istrinya sendiri! Tapi kupikir aku ingin telingaku berguna untuknya. Juga otak dan waktuku. Hey, it's not that hard. Ternyata terapi kopi pait kita kepake juga ya. Aku jadi kebal dan bebal nerima semua hal getir dan menyakitkan. Atau mungkin kita malah menikmatinya karena kita psikopat masokis?

Tau nggak?
Bagian merah dan putih dalam diriku sering sekali bertempur belakangan ini. Kalau si merah bertanduk pembawa trisula yang menang, dia suka sekali bikin kalimat-kalimat nakal dan berhasil membuat Si Mas mendirikan tenda di selangkangan. Sementara jika si putih bersayap (gwa jadi inget pembalap wanita berperekat. hehe) berjaya, aku dipaksa membuat dia mengingat perempuan yang sudah menemani hidupnya selama 11 tahun.

Yah... *sigh*
Aku manut perkataan Si Mas aja. Sit back, relax, and enjoy the wave. Aku cuma ingin memberinya segala yang terbaik dari diriku--yang bukan milikku ini. Bukan tindakan tercela, kan?

Jadi, Nduk...
Kapan kamu ke Jogja lagi? Mari kita jajah warung-warung kopi dari mulai buka sampai tutup.
Hey, kamu nggak lupa pulang, kan?


Luv,

Anyu
xoxo


Notes:
- Tulisan diedit seperlunya untuk keperluan dramatisasi (halah!).
- Nama diselimurkan, eh, maksudnya disamarkan.

Comments

  1. *mampir, baca, tapi ga tau harus komen apa*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women